pelangi-di-matamu-sindiran

Ada Hujan Di Matamu

Aku tak begitu paham soal hujan yang selalu hadir di matamu, menghiasi wajah ayumu, yang senantiasa setia menemani ziarah hidupmu. Bahkan setiap hari kuperhatikan hujan itu selalu ada di sana. Mungkinkah ia sudah sebegitu betahnya hinggap di sana? Ada apa dengan hujan yang senantiasa ada di matamu lentikmu itu?

**

Sore itu ada sms masuk darimu. Kamu mau bertemu denganku dan hendak mencurahkan seluruh isi hatimu yang sejak semula topiknnya pasti sama. Tentang hubunganmu dengan Riko yang tidak berjalan begitu mulus. Padahal aku sudah memberikan saran kepadamu agar melepaskan Riko dan pergi mengejar cinta lain yang barangkali masih setia menantimu di luar sana. Akan tetapi, kau tak pernah gubris dengan saranku itu dan bahkan kau justru menyerangku balik. Kau justru berpikiran naif bahwa aku punya niat (sengaja) untuk membuatmu berpisah dengannya. Bagaimana mungkin kau berpikiran seperti itu? Padahal kita sudah berkenalan sejak kecil. Hingga saat inipun rumah kita senantiasa bersebelahan.

“Alfin, kamu udah dari tadi, ya?” sapamu yang membuatku sedikit kaget. Aku pun terhentak dari lamunan panjangku tentangmu.

“Nggak juga sih. Ya, kira-kira 15 menit yang lalu”, jawabku mengelabuhimu agar kau pun tak mempersalahkan dirimu sendiri karena sudah membuatku menunggu selama satu jam. Kau pun mengambil posisi di sampingku. Kudengar tarikan nafasmu yang panjang yang menyiratkan bahwa dirimu sedang dilanda persoalan. Kuperhatikan matamu bengkak dan memerah. Sepertinya kau baru habis nangis. Itu sudah biasa bagiku dan memang kau orangnya seperti itu. Aku sudah yakin bahwa Riko terlibat dalam kesedihanmu saat ini.

“Ada apalagi kamu dengan Riko?” tanyaku lembut.

“Loh, kok kamu tahu? Padahal aku kan,….

“Sudahlah, Cindy. Kamu tak perlu menyembunyikannya dariku. Kita berdua bersahabat begitu lama. Aku sangat mengenalmu. Dan kamu saja yang belum mengenalku sepenuhnya”.

Aku memotong ucapanmu. Kulihat kau tertegun. Sepertinya kau tak berani tuk memandangku lagi. Hampir seperempat jam kami bergeming. Sunyi. Hanya terdengar bunyi jangkrik. Di kejauhan sana, senja terukir indah di kaki-kaki langit. Sebentar lagi malam kan tiba.

Akhirnya kau mengangkat kepalamu dan di bawah remang-remang cahaya lampu taman, kulihat matamu berembun. Ini bukan hal baru bagiku. Sebab, sebentar lagi hujan pasti kan hinggap di matamu itu. Hujan yang senantiasa menemani perjalanan kisah asmaramu yang tak mulus dan juga hujan yang merupakan gambaran seluruh isi hatimu yang kini sedang kacau.

“Al, Riko selingkuh dengan Ririn, sahabatku sendiri. Tadi, aku memergoki mereka jalan berduaan di Mall. Aku,…..

“Sudahlah Cindy. Ini bukan pertama kalinya Riko bertindak seperti itu. Bukankah sudah begitu sering ia bermain di belakang kamu? Aku sudah menasihatimu untuk meninggalkannya kala itu, tapi kau tidak pernah mau mendengarnya. Dan bahkan kau menuduhku yang tidak-tidak”.

Embun itu kini menjadi hujan. Hujan yang tak mampu lagi tuk dibendung. Matamu banjir. Ya, hujan itu mengalir deras di pipimu. Aku pun merasa iba kepadamu. Kurangkul dirimu dan menopang kepalamu di pundakku. Dan segera setelah itu, hujannya berangsur-angsur reda.

“Cindy, mulai sekarang kamu harus bisa move on darinya. Kamu harus mampu menemukan cinta sejatimu, yang senantiasa tidak menghadirkan hujan di matamu. Dan kalaupun ada hujan di matamu, orang itu kan selalu menjadi yang pertama tuk menghapusnya”, ujarku dengan penuh kasih sayang sebagai seorang sahabat.

Tiba-tiba kau mengangkat kepalamu dari pundakku. Kau menyeka matamu. Lalu menatapku dengan tatapan yang tak seperti biasanya. Tatapan itu sangat asing bagiku. Aku…..

“Al, maukah kau menjadi orang seperti yang barusan kau katakan?”

“Maukah kau menghapus hujan yang senantiasa hadir di mataku?”

“Maukah kau…..”

Aku langsung memeluk Cindy. Tiba-tiba hujan besar menyapa dan membuat kami berdua benar-benar basah.

BACA JUGA:

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan