AKU, PENYAIR TUA DAN WANITANYA

Aku jatuh cinta pada lelaki bermata lancip yang mampu menggoreskan sajak pada kulitnya yang menua. Mataku tak pernah luput dari gurat huruf yang ia torehkan, meski belum kutemui sajak tentangku pada gores kulitnya yang keriput.

“Kau mirip dengan kekasihku,” ucapmu. Aku diam, -tak pernah suka dengan katakekasihku yang sering kali kausebut. Nama seseorang yang katamu mempunyai sifat yang sama denganku. Lantas, kenapa kau memilihku, batinku. Kaupikir aku sudah lupa dengan logika, tak mungkin kau ingin memiliki sebuah benda yang sudah kaupunya, akuilah aku lebih punya nilai plus dari dia.

“Bahkan sifat manja dan marahmu pun sama dengannya.” Aku hanya bisa diam, menahan lambungku yang mulai perih setiap kali aku merasa kesal. Kau selalu saja bungkam, tidak pernah menjawab apa yang kutanyakan. Jika begitu apa bedanya kau berbicara dengan dirimu sendiri, mungkin kau hanya butuh pendengar, lagi-lagi kau tak menjawab pertanyaanku.

Begitu banyak wanita cantik di sekelilingmu, kadang aku tak percaya kau bisa menaruh hati padaku. Aku bukan siapa-siapa, bukan wanita cantik dengan gaun terbuka di bagian dada atau paha. Bukan pula seperti mereka yang bisa saja membuka semuanya di hadapanmu.

“Harusnya kau bersyukur karena aku jatuh hati padamu.”

Mungkin kau benar, harusnya aku bersyukur, tapi mungkin juga kau keliru, karena sesungguhnya aku telah mencintaimu dan merasa cemburu, hal yang paling aku benci, ketika melihat wanita lain yang mencoba menggodamu, lambungku perih lagi, aku tidak bisa tidur, aku minum pil tidur. Aku lupa kita bicara apa tadi malam.

“Kamu lucu, betul kata adikmu kamu memang aneh.”

Suaramu sayup, di sela kantuk aku masih ingin berbicara denganmu, namun kantuk membuat bibirku bungkam, suaramu masih terdengar memanggil namaku, sayup, semakin pelan, kemudian menghilang. Entah harus berapa hari lagi aku menunggu kau mengeratkan sajak tentangku pada kulitmu, sementara lambungku semakin perih.

****

Kau bercerita tentang aku pada sajakmu, sajak yang kaukerat pada keriput kulitmu, tentang suara ombak yang selalu kusebut musik alam. Tentang suara tokek yang kita dengar, yang kautiru bunyi suaranya untuk menggodaku.

“Aku bahagia sayang, itu yang ingin kulihat selama ini.”

Mungkin kau tersenyum, tak dapat kulihat mimik wajahmu, hanya nafasmu yang terdengar memburu. “Tunggu aku, aku pasti datang, percayalah.” Waktu menjadi hening, malam merayap pekat, dalam dekapmu aku larut.

Aku sudah berharap terlalu banyak, hingga aku lupa, terlalu bahagia hingga lengah, limbung, linglung pada jati diri, larut pada setiap kata manis yang kauucap. Aku begitu percaya, padamu yang mengerat sajak tentangku, aku lupa kau adalah seorang penyair handal yang bisa menciptakan ribuan puisi dalam satu malam, tak hanya untukku, tapi juga, untuk para wanitamu. Kurang lebih begitu, ketika dia, entah siapa datang memakiku.

“Jangan tertawakan aku,” bentaknya garang, “Kau hanya mirip denganku, yang dia cintai tetaplah aku!”

Aku hanya tersenyum mendengar semua makiannya, benar-benar lelucon!, menggelikan sekali.

“Maaf saya tidak punya urusan dengan anda.”

Aku tersenyum padanya, padahal lambungku melilit perih. Sial! Aku sakit lagi, dan kau hanya bungkam, tanpa memberitahuku siapa wanita yang memakiku. Kau membuatku seperti penjahat, atau penculik yang sedang bersiap melarikanmu dari wanita itu.

“Pengecut!”

Aku tak pernah mengira semuanya, aku terlempar pada ruang kosong, menahan perih, menahan sakit, menahan lembungku yang semakin melilit. “Aku sanksi, apa benar kau laki-laki?” Makiku padamu. Kau tetap bungkam, bahkan menghilang, membiarkan wanita itu memakiku, menghakimiku. “Aku tak perduli dengan apa yang dia katakan tentang kamu, apa yang kamu katakan tentangku padanya, aku hanya perduli satu hal. Tentang kita, itu saja…” Namun kau masih saja bungkam, tetap tak kutahu siapa wanita itu, dari mulutmu. betapa pengecutnya dirimu, lambungku semakin sakit.

****

Pada malam yang gigil kaudatang menggelitik. “Kenapa jadi bisu?” Seakan tak memiliki dosa bibirmu berucap cakap. Kau sudah amnesia, hingga lupa siapa yang diam di antara kita. “Jangan pura-pura tidak mengerti, ada batas penentuan.” Malas berargumen denganmu. Matamu tak lagi lancip, entah kenapa aku merasa jijik menatap raut wajahmu, aku mulai muak denganmu.

“Sangat ngerti, tapi tidak semudah itu pergi! Enak saja, waktuku sudah banyak terbuang”

“Terus?, Keputusannya?”

“Jangan Pergi!”

“Dua hari lagi kita lihat, apakah kau mampu menepati janjimu!”

20 jam 33 menit, aku memperhatikan jarum jam yang terus bergerak, satu jam kemudian, dua jam kemudian, tiga jam kemudian, aku menghitung, aku menunggu. “Jangan begitulah sama aku, jangan berlaku kejam, aku tidak menginginkan suasana dan kondisi seperti ini, aku memang lemah dan pengecut dalam hal ini, maafkan aku….” Haruskah aku maafkan? Sementara lambungku semakin sakit! Aku bungkam di antara perih dan lilit menahan sakit. “8 Jam 11 menit,” aku sudah terlempar pada sudut kosong, senyap dan pengap. Nafasku tercekik, aku limbung.

****

“Hinga saat ini aku belum pernah mendengar dari mulutnya bahwa dia mencintaimu!”

Akh wanita itu lagi, dia terus saja menggangguku, dan kau seakan bangga dengan pertarungan kami, kutunjukan liontin yang kauberikan padaku, aku sudah malas berucap cakap.

“Dia juga pernah menyematkan cincin di jariku! Dia juga pernah menitipkan Janin di rahimku!”

Nafasku sesak, dunia seakan berputar, “Tuhan selamatkan aku” Aku tertatih mencoba berdiri, mengumpulkan tenaga agar terlihat baik-baik saja. Pada akhirnya aku berdiri pada satu tempat kosong itu lagi, aku lelah.

“Maafkan aku sebelumnya, aku hanya ingin kau menghargai apa yang kami alami, bukan menertawakan, rasanya sakit.”

Sekali lagi, aku tersenyum. Kalian pikir aku tidak merasa sakit? Aku muak! “Jika dia tidak menepati janjinya, aku tidak akan berbicara padanya lagi….” Lelucon, menggelikan sekali, mana mungkin aku menyerahkan hidupku pada laki-laki yang tidak bisa bertanggung jawab dengan apa yang sudah dia katakan, ini perihal janji. Wanita itu menghilang, kau pun pergi, aku kembali pada sunyi, pada kosong itu lagi.

:Teruntuk penyair tua yang menggores kulitnya dengan naskah Mahabharata.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan