anak-anak-danau-toba-berburu-koin

Anak-anak Danau Toba

Saya pikir, pukul 18.00 sore hari seharusnya mulai gelap. Tetapi agaknya pikiran saya keliru sebab saya sedang tidak di Jakarta di mana jam-jam sore berjalan lebih cepat. Saya sedang berada di tepi danau toba bersama anak-anak danau toba. Di danau toba berbeda dengan di jakarta.

Di Jakarta, pada jam 6 sore orang-orang bergegas berebut menuju angkot dan motor-motor seperti lebah terusir tergesa melayang pergi dari sarang. Di Jakarta, engkau dituntut untuk lebih cepat. Bahkan mungkin kadang terlampau cepat untuk tubuhmu yang melambat.

anak-anak-danau-toba-berburu-koinDi Toba, sore datang lebih lambat. Jika sedikit beruntung, jam enam sore engkau masih bisa menikmati langit biru dan anak-anak yang bermain dengan maut. Tentu saja di mata saya anak-anak danau toba itu bermain maut meski mereka sendiri melakukan aktivitas mereka dengan suka cita. Melompat dari kapal atau batu-batu, bersalto di atas air dan sedikit menyelam untuk kemudian berenang riang di permukaan danau yang tenang. Engkau dapat meminta mereka melakukan hal semacam itu berulang-ulang, cukup dengan recehan dua ribu, lima ribu atau sepuluh ribu jika Engkau ingin meminta aksi yang lebih berbahaya, -seperti misalnya bersalto dari atas kapal feri yang bergerak menuju samosir.

 

Di sela-sela irama kapal feri yang bergerak membelah toba saya berpikir, seharusnya mereka sekolah, menenteng tas dan membaca buku-buku bagus. Atau membaca cerpen di gadget. Toba bukanlah tempat di mana kemiskinan seharusnya berada. Danau yang indah dengan bukit-bukit hijau menyimpan potensi wisata luar biasa. Dan berbagai ikan air tawar hidup berkembang biak di air yang dalam. Tetapi mengapa anak-anak itu bermain maut demi selembar-dua lembar uang ribuan. Kapal terus bergerak, satu penumpang melempar uang sepuluh ribu, satu anak terjun ke dalam danau. Seharusnya mereka menjadi perenang yang hebat, jika pun tidak dapat duduk manis di bangku kelas.

“Anda tahu? Melihat penderitaan orang adalah obyek wisata menarik. Setelah Anda melihat mereka dan melihat Samosir lebih dekat, Anda akan merasa sangat beruntung tidak hidup di Toba,” bisik penumpang di sebelah saya.

Saya diam. Yang mungkin ia tidak mengerti, dan saya juga tidak mengerti; anak-anak Danau Toba melakoni semuanya dengan suka cita.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan