atika-korban-pelecehan

Atika

Dibandingkan teman sekelasnya, justru Atika paling mahir menggambar. Saat yang lain sibuk melukis dua gunung dilengkapi matahari di tengah, Atika justru menyajikan pemandangan air terjun di dekat sekolah. Sayangnya, akhir-akhir ini Atika menggambar pola serupa. Coretan hitam mirip wortel.


“Apa kamu menggambar wortel lagi?” tanyaku sambil menyodorkan hasil gambarnya. Kertas yang kupegang sekarang, adalah gambar ketujuh dari semua gambar yang sama.
“Itu alat vital lelaki, Bu,” ucapnya menunduk. Dan aku, jauh lebih terpuruk mendengar penuturan Atika. Entah kapan ia melihat milik lelaki itu. Namun sayang, semenjak itu pula aku tak pernah tau kabar Atika. Ia sudah pindah rumah.
Berulang kali aku mencari kabar lewat mulut tetangga. Hasilnya sama. Tak ada yang tahu, kapan ia pergi bersama sang ibu.
“Ingat, Marni. Kamu punya murid lain selain Atika. Tak usah cari tahu keberadaan anak itu.”
“Pak, Atika butuh pendampingan. Saya yakin dia menjadi korban pelecehan seksual.”
“Jangan sok tahu, Marni. Kamu itu hanya guru tidak tetap, yang bisanya hanya meninggalkan murid-murid.”
“Saya tidak pernah meninggalkan mereka. Justru saya ingin Atika tetap belajar meskipun tidak di sekolah.”
Pak Hermawan menatap lekat. Tak pernah kutemui tatapan seperti ini sebelumnya. Ya, belum pernah kepala sekolah ini sesangar sekarang. Tetapi aku jauh lebih menatapnya tajam. Bagaimanapun juga, Atika masih kecil. Dia butuh pendamping agar tetap bisa melanjutkan hidup yang lebih baik.
Semenjak perdebatan itu, pak Hermawan tak lagi berbincang denganku. Biarkan saja lelaki itu. Ya, satu-satunya guru laki-laki di sekolah ini. Bukan apa-apa. Semenjak Atika tak bersekolah dua bulan lalu, kepala sekolah ini tak mau mencari tahu. Terkesan acuh bahkan enggan mendengar nama muridnya itu. Jadilah selepas mengajar, aku selalu berkunjung ke rumah Atika yang berdempetan dengan rumah yang lain. Tentu, kedatanganku tanpa sepengetahuan sang ibu. Sebab, perempuan yang melahirkan Atika ini, tak menginginkan anaknya kembali ke sekolah.
Semenjak mengunjungi Atika ke rumahnya, aku tak melulu mengajari Atika belajar membaca. Aku tau dia paling mahir menggambar dan mewarnai. Sayang, setiap kali aku meminta menggambar, Atika selalu melukiskan pola yang sama. Coretan hitam mirip wortel, yang empat hari lalu disebutnya sebagai alat vital lelaki.
“Atika pergi ke Bawean. Ibunya berasal dari sana,” ujar salah satu tetangga. “Cepatlah pergi! Sebelum ibunya jadi TKI,” imbuhnya kembali.
Aku sendiri tak tau letak Bawean. Hanya pernah mendengar nama ini dari penjual soto Lamongan di taman kota. Baru setelah makan sebentar di warung ini, yang diselipi basa-basi soal tempat asalnya, aku baru tahu kalau Bawean adalah salah satu pulau kecil di Jawa Timur. Letaknya berada di sebelah utara Gresik. Ah, padahal menginjakkan kaki di Gresik saja belum pernah. Hanya sering mendengar sebagai iklan semen di tivi. Tak apa. Demi Atika, bakal kucari sekuat tenaga. Aku yakin, Atika pasti mengalami kekerasan seksual. Sebab berulang kali dia menggambar coretan hitam mirip wortel, lalu di pertemuan terakhir, Atika mengatakan sesuatu setelah kutanyakan hati-hati. “Pak Guru menarik tangan saya ke kamar mandi.” Ya, itu yang diucapkan Atika.
Perjalanan menuju Bawean teramat melelahkan. Dari pelabuhan Gresik, aku menyeberang dengan kapal Gili Iyang. Kapal ini beroperasi setiap hari. Kecuali, saat musim hujan. Mesti pintar-pintar membaca alam dan tak jarang terpaksa ditunda demi keselamatan. Sebenarnya, selain Gili Iyang, terdapat juga kapal Bahari Ekspres atau Natuna Ekspres yang memakan waktu penyeberangan lebih singkat. Tentu, harga tiketnya jauh lebih mahal. Tetapi aku lebih memilih kapal yang turut memuat sepeda motor milik para penumpang ini. Kendati menghabiskan waktu delapan jam di atas kapal, kelelahanku dibayar tuntas dengan pemandangan sekitar.
“Bawean ini diambil dari bahasa Sansekerta. Konon, ada prajurit Majapahit yang diterjang badai, lalu terdampar di pulau ini. Prajurit itulah yang pertama kali menyebutnya Bawean. Yang artinya terdapat sinar matahari. Entah sinar betulan, atau karena harapan hidup si prajurit usai diterjang badai, aku tak tahu,” ucap paman Atika sambil mengajakku menaiki rumah panggung.
Di sepanjang mata memandang, hanya rumah panggung ini yang terlihat berdiri kukuh. Lainnya, terlihat rumah berkeramik layaknya di kota-kota.
“Lelaki di pulau ini lebih banyak yang merantau. Tak hanya luar pulau Jawa, tapi di Malaysia, Singapura, di mana-mana,” ujarnya seakan menjawab kebingunganku. “Kau tau Noh Alam Shah pemain sepak bola Singapura? Dia itu memiliki darah Bawean,” imbuhnya kembali. Sedang aku, yang ingin menanyakan keberadaan Atika, selalu disusupi cerita pulau ini. Konon, bahasa Bawean yang berbeda dengan bahasa Madura, adalah bentuk percampuran suku yang telah menetap selama ratusan tahun silam. Terdapat orang Bugis, Jawa, Madura bahkan Melayu. Jadilah, mereka menyebutnya sebagai orang Boyan. Orang Bawean.
“Maaf, Paman. Saya ingin menanyakan kabar Atika,” akhirnya, aku berhasil menyelipkan pertanyaan, usai lelaki paruh baya itu mengambil rokok klatak. Gulungan tembakau yang dibungkus daun jagung kering.
“Atika tak ada di sini. Dia dibawa ibunya ke ujung jembatan Suramadu. Di sanalah dia bekerja.”
Dengan bekal dari paman, kembali aku berjibaku dengan kapal. Kali ini, aku menuju Bangkalan, Madura. Melewati jembatan yang mur dan bautnya rentan dicuri dan diloakkan. Entahlah, untuk satu ini, aku tak bisa komentar. Sebab, tanpa mur dan baut, jembatan akan mudah goyah. Di dekat jembatan Suramadu, berjejer puluhan rumah makan. Beraneka macam. Ada masakan khas Madura, Padang atau soto Lamongan.
Setelah bertanya ke salah satu warung makan, kudapati ibu Atika tengah mencuci piring. Melihatku yang tengah berdiam diri, ibu Atika menjauh berusaha mengusir.
“Perkenankan saya bertemu dengan Atika, Bu,” ucapku hati-hati.
“Atika tak boleh bertemu dengan siapa-siapa. Pergi!” jawabnya sambil mengangkat sapu, sedang ujung gagangnya diarahkan tepat ke depan mukaku.
“Sebentar, Bu. Saya hanya ingin bertanya kepada Atika.”
“Kamu ini siapa? Aku ibunya! Aku yang melahirkan dia. Bukan kamu!”
Orang-orang yang tengah makan berhamburan keluar. Aku tetap tak mau menyingkir. Aku yakin, Atika pasti menjadi korban pelecehan seksual.
“Atika itu butuh pendampingan. Sampai kapan ibu akan mengurung anak ibu sendiri?”
“Tahu apa kau tentang anakku? Kau tak tahu apa-apa,” jawabnya sambil memegang kerah bajuku. Sedang dua orang yang berusaha melerai, memaksaku keluar. “Dengar! Sampai kapanpun takkan kubiarkan Atika keluar rumah. Lebih baik dia berdiam diri, tanpa melihat kebusukan orang-orang di luar.”
“Saya bisa bantu, Bu. Saya bisa.”
“Kamu tahu, orang sepertimu hanya bisa berbelas kasih, lalu ditunjukkan kepada media telah menolong seorang anak. Lalu dengan bangganya kamu menasbihkan diri sebagai pahlawan. Tak sudi aku bertemu dengan orang sepertimu.”
“Biarkan saya bicara sebentar saja, Bu. Lima menit tak apa.”
“Kurang ajar! Memangnya kamu ini siapa meminta waktu segala. Dia itu anakku. Aku yang mengasuhnya!” Ibu itu berlalu. Pergi ke arah dapur yang dikerumuni orang-orang.
“Kata siapa saya bukan siapa-siapa?” teriakku. “Saya juga mengalami bagaimana di siang hari seorang guru menyeret saya ke kamar mandi, lalu memperlakukan tubuh layaknya binatang,” ujarku lantang tanpa menoleh kembali ke arah ibu Atika. Semua pengunjung menatapku lekat. Termasuk seorang lelaki yang kukenal dekat. Ya, lelaki yang menyeretku siang itu. Lelaki yang menggerayangi tubuhku seenaknya. Dan aku tak pernah cerita kepada ibu. Lelaki itu, juga menatapku tajam. Sambil memeluk seorang perempuan.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan