demokrasi-copet-buku-mohamad-sobary

Bagaimana Jika Copet Berdemokrasi?

Bila mendengar kata demokrasi, rasanya telinga kita sudah jenuh atau capek mendengarnya. Demokrasi lebih sering diucapkan oleh para elit dan birokrat kita, tapi miskin praktek. Di alam demokrasi yang seperti itulah, kita kini berada. Orang-orang yang hidup dan berteriak atas nama demokrasi di negeri ini amat sangat banyak. Sejak Orde Baru bahkan orang-orang ini menggunakan demokrasi sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Lalu mengapa mereka tak merasa malu, dan masih saja merasa benar dengan tindakan mereka yang benar-benar salah. Mohammad Sobary (2015) melalui buku Demokrasi Ala Tukang Copet menuliskan sindiran-sindiran dan permenungannya tentang demokrasi di negeri ini. Menurutnya, praktik demokrasi di negeri ini lebih mirip gaya-gaya tukang copet. Simak misalnya kutipan dari sebuah esainya berikut:

“Demokrasinya tukang copet. Dan mereka bukan sembarang tukang copet. Ini copet besar-besaran, sampai rakyat yang dicopet menjadi miskin, dan akan miskin secara abadi. Tapi, copetnya kaya raya.”

“Sudah sejak Orde Baru, mereka terlatih untuk tidak menggunakan rasa malu sebagai ukuran dalam hidup. Rasa malu mereka sudah dimatikan sejak saat itu”(h.11).

Apa yang bisa kita lakukan ketika menengok dan melongok demokrasi yang sudah sedemikian parah ini? Menurut Kang Sobary, kita tak perlu terlampau ekstrem dan bersusah payah membela demokrasi yang sudah demikian. Mohammad Sobary justru menyarankan bahwa pemimpin mesti menyelamatkan kehidupan, bukan menyelamatkan demokrasi. “Hidup jauh lebih berharga dibandingkan dengan demokrasi, yang hanya berarti prosedur bertele-tele, dan jauh dari semangat membela kehidupan (h.25).

Kang Sobary tak hanya melontarkan kritik kepada praktik demokrasi yang salah, ia juga memberikan sindiran kepada praktik dan ambisi kekuasaan yang salah. Di bagian kedua buku ini, kita akan menemui esai-esai yang menyindir ambisi (nafsu) kekuasaan. Di esai yang berjudul “Kerakyatan Yang Membunuh Merakyat” misalnya, penulis justru menangkap ironi dari suara rakyat adalah suara Tuhan yang sering dikaitkan dengan demokrasi.

Raja (pemimpin) kita ternyata bukan rakyat seperti idiom demokrasi selama ini. Rakyat tak lebih dari “kita” yang ditipu wakil-wakil rakyat. Penulis menangkap ironi ini dengan dialog yang singkat tapi tajam. “Apa makna suara rakyat suara Tuhan itu jadinya?”. “Itu aspirasi. Kenyataan politik berkata lain: suara rakyat, ya suara rakyat. Suara kaum tertindas, yang tak punya pelindung, tak punya pengayom. Rakyat di negeri ini anak yatim piatu” (h.74).

Kita juga diajak untuk menggali kembali khazanah, dan cerita dari wayang. Di kisah pewayangan, kita akan menemukan mutiara berharga dalam kehidupan. Di buku ini, Kang Sobary mengambil contoh sosok Puntadewa yang bisa dijadikan teladan bagi kita semua. “Dia tak menyukai konflik, pertengkaran, dan segenap kericuhan, yang bisa mengakibatkan kekacauan tatanan hidup. Berkat keluhuran budinya, dewa-dewa pun ibaratnya terpesona kepada Puntadewa yang mengagumkan. Kalau kita memiliki banyak orang dengan tipe kepribadian seperti ini, negeri kita yang resah ini niscaya segera berubah total. Konflik-konflik, kekerasan, pertumpahan darah, sikap saling memusuhi dan saling mendengki menjadi tidak relevan” (h.79).

Di bagian akhir buku ini, kita bisa menyimak bagaimana penulis mengisahkan kembali ihwal cerita tentang Nabi Musa. Melalui kisah Musa ini, kita diajak untuk menggali kebenaran yang melampaui urusan rasionalitas semata. Musa adalah seorang yang terbiasa berfikir menggunakan rasionalitas, maka ketika Musa diuji oleh Khidir, ia merasa sadar bahwa rasionalitas ternyata punya keterbatasan. “Rasionalitas itu penting dan hebat. Tapi dia terbatas, dan di luar batas rasionalitas itu, ada kebenaran tingkat tinggi, yang tak terjamah oleh kemampuan dan daya jangkau rasionalitas” (h.103).

Penulis menilai demokrasi yang ada di negeri ini memerlukan pemikiran yang tak hanya mengandalkan rasionalitas, tetapi juga perlu berguru kepada kebenaran. Menurut penulis, kurangnya tradisi bertanya secara mendalam, yang hanya mengandalkan rasionalitas membuat kita menjadi kurang peka melihat kebenaran. Akibat dari kurangnya pemahaman kita yang mendalam terhadap permasalahan berkaitan dengan “demokrasi”, menjadikan kita salah tafsir dan berakibat memahami demokrasi sekehendak kita sendiri.

Membaca 25 esai di buku ini, kita diajak untuk berziarah ke dalam alam permenungan dan pemikiran yang kontemplatif dan reflektif terhadap pelbagai fenomena politik dan demokrasi yang ada di negeri ini. Melalui bahasa yang renyah dan segar, kita diajak untuk menyadari, bahwa demokrasi bukan sekadar teori dan ilmu yang diimpor dari barat semata. Lebih dari itu, demokrasi adalah cara kita untuk memadukan, mengkomparasikan dan mengolah kembali nilai-nilai luhur, kearifan lokal, serta tak mengabaikan kebenaran dalam praktik demokrasi.

Meski dikemas dengan halaman yang ringkas, buku ini mengajak kita lebih arif dalam menafsir dan memaknai demokrasi. Demokrasi bukan sekadar tampilan foto caleg, bukan sekadar perang memperebutkan kursi kekuasaan, demokrasi adalah cara kita untuk memahami, dan terus-menerus memperjuangkan kepentingan rakyat. Menjadi pemimpin yang demokratis berarti menjadi lebih bijak dan arif dalam melayani kepentingan rakyat, bukan sebaliknya. Demokrasi Ala Tukang Copet (2015) adalah cara penulis memberikan tafsir ulang dan sindiran terhadap demokrasi kita yang kebablasan.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan