saya-nujood-ali-10-tahun-dan-janda

Di Balik Paradoks dan Tragedi Nujood Ali

Di balik buku Saya Nujood, Usia 10 dan Janda, dikisahkan Nujood Ali dengan Delphine Minoui, kita (pembaca) seakan menelusuri lautan kata-kata di sebuah negeri magis, berada di ujung paling selatan Semenanjung Arab, diempas Laut Merah dan Samudra Hindia, yakni Yaman. Orang-orang tua dahulu sekali menyebutnya: Arabia Felix, Arabia Bahagia.

Saat kita mengetahui itu, kita pun baru menyadari, bahwa negeri itu, dalam tumpukan debu waktu beribu-ribu tahun, ternyata merupakan wilayah kekuasaan Ratu Sheba, seorang wanita perkasa dan cantik, akhirnya luluh dan menjalin tali kasih sayang dengan raja sekaligus nabi, bernama Sulaiman—terdokumentasikan dalam kitab suci Injil dan Al-Quran.

Di negeri itu pula, terhampar rute perdagangan kuno, kerap dilewati para kafilah saudagar dari pelbagai bangsa dengan membawa kayu manis, kain indah, dan rempah-rempah lainnya. Meski begitu, kita tak menampik bahwa sejarahnya juga diliputi perang. Entah dari bangsa Ethiopia, Persia, bangsa Ottoman, bangsa Inggris, Turki, lalu Rusia. Kata Delphine Minoui, “Bagaikan kue yang diperebutkan oleh anak-anak rakus, negeri itu berangsur-angsur terbelah dua” (hal. 3).

Adapun, Yaman, yang kini masih tengah diselimuti pelbagai masalah, terutama pemberontakan Houthi, dan isu bahwa Al-Qaeda tumbuh pesat di situ, lewat buku ini, kita disuguhi kisah tak bisa diabaikan, yakni masalah hak-hak perempuan, salah satunya, pernikahan perempuan usia sepuluh tahun dengan pria yang tiga kali lipat lebih tua darinya, dan setelah menikah, perempuan itu, malahan mendapatkan penyiksaan. Perempuan itu, Nujood Ali.

Nujood Ali dilahirkan di Khardji, sebuah desa—dalam bahasa Arab berarti ‘di luar’ atau dengan kata lain, di ujung dunia, dan barangkali ahli geografi tak mau repot-repot memasukkan tempat sangat kecil itu ke dalam peta. Di situ, kaum wanita tidak diajarkan untuk membuat pilihan. Di situ pula, ia seharusnya masih bisa merasakan permainan petak umpet bersama teman-teman seumurnya; dimana, batang-batang pohon, batu-batu besar, dan gua-gua terpahat seiring waktu masih menjadi sahabat; tapi, seketika, harus rela dilepas, untuk dinikahkan secara terburu-buru dengan pria, telah tersebutkan di atas.

Pernikahan diterima dengan kepolosan seorang anak kecil. Meski di baliknya, faktor ekonomi, kemiskinan, dan percekcokan dalam masyarakat desa Khardji begitu kental. Bila mengaca kehidupan keluarga Nujood Ali, ibunya melahirkan 16 anak. Ayahnya bekerja sebagai tukang sapu untuk dinas kebersihan setempat.

Lanjut mengenai buku ini—kata Nicholas Kristof, termasuk ‘otobiografi yang kuat’, kita disodorkan keberanian seorang gadis kecil telah dipinang dalam menyuarakan kejujuran hatinya, disebabkan tindakan kekerasan keluarga. Dalam hal ini, terkait pula kekerasan seksual, dilakukan suaminya.

Ketika ini terjadi, sungguh tak dinyana, bahwa apa yang dibayangkan sebelum pernikahan, yakni pesta besar, dengan banyak hadiah, cokelat dan perhiasan;  serta rumah baru, kehidupan baru (kenyamanan dan kesenangan) ternyata bertolak belakang. Memang, Nujood tinggal di rumah ‘baru’ dan kehidupan ‘baru’. Tapi, rumah dan kehidupan baru itu membuatnya tertekan dan menderita, dikarenakan pula, kekerasan dilakukan suami serta hasutan dan perilaku kasar ibu mertua yang mendukung perilaku suami Nujood Ali, seperti ketika ia melakukan pekerjaan rumah tangga, setiap kali berhenti sejenak, ibu mertuanya akan menjambak rambutnya. Lalu, ketika ia menolak perintah suaminya ketika malam tiba (dikarenakan fisiologi-sosiologis-psikologis anak), suaminya memulai memukulnya, baik dengan tangan dan tongkat, dilakukan sangat keras, berulang kali (hal.104-106). Dan, saat kekerasan dilakukan suami, berhari-hari tak kunjung reda, maka, sampai tibalah suara kecilnya berkata begini, Ayolah. Kalau kau ingin bercerai, keputusan ada di tanganmu (hal. 119).

Bila menyimak proses perceraian itu dalam buku ini, tak terasa begitu sulit dan dipersulit. Sebab, ini dikarenakan pengacara Nujood (Shada Naseer) yang memiliki pengaruh di kalangan media dan kalangan aktivis, terutama dalam hak-hak perempuan;  hakim-hakim yang memiliki sifat kemanusiawian dan bisa dibilang adil; serta kalangan media sendiri yang cepat merespon peristiwa dialami Nujood Ali, sehingga ‘suara peristiwanya’ menggema sampai di belahan dunia, salah satunya Amerika.

Lalu, dari menyimak proses perceraian itu, bisa dibilang lancar, mungkin, bisa membuat ganjil bagi kita. Dan, bisa jadi bertanya-tanya begini, ‘kalau begitu, mengapa kisahnya, otobiografinya begitu menggema dan menjadi medan magnet bagi orang-orang dari ‘luar’, sampai-sampai Hillary Clinton  menyatakan Nujood Ali sebagai “salah satu perempuan terhebat yang saya kenal. […] Ia menjadi teladan dengan keberaniannya”?’

Sebagai pembaca, kita tahu bahwa semua itu dipengaruhi pelbagai hal. Jika, ada muatan politis, kita juga tak cukup bukti kuat untuk menautkannya dengan hal itu. Namun, sekali lagi, sebagai pembaca, kita, setidaknya tahu dan dimahfumkan bahwa, di balik kisah kehidupan Nujood Ali, ada hikmah dapat kita timba. Ada pengalaman hidup berharga, dapat kita bagi. Seperti, ketika dia membagi kisah kelabunya, ia masih bisa membagi kisah yang mencerahkan kita begini, “Kehidupan kami cukup bahagia, mengikuti ritme matahari. Kehidupan yang sederhana namun damai, tanpa listrik atau air leding. Kamar mandi kami hanyalah sebuah lubang di dalam tembok bata rendah di balik semak-semak” (hal. 28).

Dimana, jika meresapi pengakuan ini, maka, kita dihadapkan pada sosok pribadi—meminjam ungkapan J. Sumardianta, “mampu merealisasikan nilai-nilai luhur sarat pengalaman spiritual”. Dan, di sisi lain, “kemampuannya melucuti paradoks dan tragedi, bisa disebut weapon of the weak (senjata kearifan kaum rudin).”

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan