index

Banalitas Kejahatan Korupsi dan Urgensi Berpikir Kritis

Belakangan ini, selain terfokus pada isu pilkada yang selalu heboh, perhatian publik secara nasional terkonsentrasi pada lembaga Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Sayangnya, perhatian ini mencuat justru karena kabar miring yang menimpa ketua DPD Irman Gusman. Seperti yang diberitakan oleh Tribunnews, pada Jumat (16/9/2016) tengah malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan menangkap DPD RI, Irman Gusman, di rumah dinasnya. Irman terjaring operasi tangkap tangan (OTT) karena diduga menerima uang suap dari dua orang pengusaha yang datang ke rumah dinas. KPK juga mengamankan uang Rp 100 juta sebagai barang bukti.

Kasus korupsi berupa dugaan suap yang menimpa Irman menambah daftar panjang kasus korupsi di Indonesia. Terali laknat korupsi rupanya begitu sulit diputuskan, bahkan terlihat terus menjulur dan memanjang. Masih segar dalam ingatan kita pelbagai kasus korupsi yang mendera para pejabat publik di negara kita: Century gate, fenomena si pegawai pajak Gayus Tambunan, kasus wisma atlet Hambalang, hingga praktik suap-menyuap yang dilakukan oleh mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar dan pencatutan nama Presiden yang dilakukan oleh mantan ketua DPR kita Setya Novanto.

Tampak bahwa pelbagai kasus korupsi yang terus menghiasi ranah publik dan politik kita bukan dilakukan secara individual, tetapi merupakan kejahatan sistemik yang melibatkan banyak orang dan banyak kalangan. Korupsi bahkan dilakukan secara berjemaah. Individu-individu dalam birokrasi-birokrasi dan parlemen kita seolah tidak sanggup dan mampu untuk “berjalan pada koridor yang benar”. Korupsi seakan sudah masuk dalam program kerja harian yang rutin dan wajib untuk dikerjakan bersama. Kolektivitas dalam melakukan korupsi ini seolah mengafirmasi pandangan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan. Kejahatan korupsi oleh para koruptor, bisa diasumsikan sebagai praktik normalisasi atau banalisasi kejahatan bilamana korupsi justru dianggap sebagai perbuatan yang wajar, biasa atau banal.

Banalitas dalam Korupsi

Terminologi banalitas pertama kali dicetuskan oleh Hannah Arendt, seorang filsuf wanita asal Jerman keturunan Yahudi. Dalam bukunya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963) Arendt menggambarkan bagaimana kejahatan holocaust atau pembantaian masal orang Yahudi di Jerman bisa terjadi. Melalui analisisnya terhadap Adolf Eichmann, salah seorang bawahan Hitler, Arendt berpendapat bahwa kejahatan kemanusiaan itu terjadi karena pengaruh kuat rezim Hitler telah menghancurkan kondisi eksistensial dari Eichmann, yaitu kebebasan dan ruang yang memungkinkannya untuk bertindak dan berpikir sendiri. Perusakan kondisi-kondisi eksistensial ini berarti penghancuran kebebasan manusia dan ruang publik dan serentak berarti perampasan kemampuan manusia untuk bertindak dan berpikir. Imbasnya, Eichmann dan para pegawai Nazi lainnya pun menjadi orang yang mengambang sebagai manusia, dirampas individualitasnya sebagai pribadi yang bebas dan berpikir. Sekalipun dia tampak sebagai pribadi normal, nyatanya, dia telah kehilangan kebebasan dan kemampuan berpikir.

Arendt menggunakan terminologi banal untuk menjelaskan kejahatan yang dilakukan Eichmann. Kejahatan kemanusiaan seolah-olah wajar, rutin dan sehari-hari, dalam arti dianggap sebagai pekerjaan administrasi sehari-hari. Eichmann adalah seorang warga negara yang taat pada aturan. Ia menulis, “Sebagaimana hukum dalam negara-negara yang beradab mengandaikan bahwa hati nurani setiap orang berkata ‘Jangan membunuh’, manusia itu cenderung membunuh. Demikian juga hukum  baru Hitler menuntut bahwa suara hati orang berkata ‘Bunuhlah’, yakni dengan asumsi bahwa kecenderungan-kecenderungan normal manusia sama sekali tak mendorongnya untuk membunuh. Dalam rezim Nazi yang jahat telah kehilangan cirinya yang telah dikenali kebanyakan orang – yang jahat tidak lagi mendekati manusia sebagai percobaan.”(Hardiman, 2010:46).

Tesis banalitas ini jika dikonfrontasikan dengan fenomena korupsi di Indonesia, terlihat secara implisit misalnya dalam birokrasi-birokrasi, parlemen, badan-badan politis di negeri kita, manakala korupsi telah kehilangan cirinya sebagai godaan, yakni sebagai dosa, atau berubah wajahnya menjadi semacam “prosedur lazim’ yang diikuti bersama. Dalam sistem birokrasi yang korup, tidak melakukan korupsi justru adalah “kejahatan” di mata para kawanan korup tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan analisis Arendt, kita bisa menyimpulkan bahwa kejahatan korupsi itu lahir karena sistem atau situasi yang dibangun dalam birokrasi atau parlemen kita tidak lagi menganggap korupsi sebagai kejahatan, tetapi sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja, yang wajar. Para koruptor adalah manusia-manusia mekanis yang miskin imajinasi dan tidak mampu berpikir kirtis ketika berhadapan dengan sistem yang sangat tidak kondusif. Argumen ini tentu kontroversial, tetapi bisa memberikan satu alternatif jawaban bagi maraknya praktik korupsi di bumi pertiwi.

Urgensi Berpikir Kritis

Jika korupsi sudah dianggap banal dan kejahatannya sudah pada taraf sistemik, maka pemberantasan korupsi tidak boleh hanya berada pada tataran perubahan organisasi atau reformasi birokrasi dan parlemen. Menurut Yosef Keladu (2016: 26), solusi tersebut niscaya akan gagal menghilangkan praktik korupsi karena mengabaikan salah satu aspek yang sangat mendasar pada manusia yakni kemampuan orang-orang yang berada dalam sistem untuk berpikir kritis dan menghidupkan imajinasi untuk berada dari perspektif korban. Karena itu, solusi paling radikal untuk membasmi korupsi sistemik adalah dengan meningkatkan kemampuan berpikir kritis para birokrat dan wakil rakyat dan terutama para generasi muda yang kelak akan menggantikan estafet kepemimpinan politik dalam negara kita.

Berpikir kritis, menyitir Reza A.A Wattimena dalam Filsafat Anti Korupsi (2012:118), berarti “Orang mampu mengambil jarak dari peristiwa yang dialaminya, bersifat skeptik, lalu membuat penilaian secara tepat atas peristiwa tersebut.” Dengan berpikir kritis, seseorang akan mampu membedah mana keputusan atau kebijakan yang baik dan harus dilakukan. Berpikir kritis mampu membuat seseorang menghidupkan imajinasi tentang akibat keputusan yang diambilnya bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Imajinasi ini memungkinkan dia untuk berpikir dari perspektif orang lain, khususnya dari perspektif orang-orang miskin dan rakyat banyak.

Dengan semakin maraknya praktik korupsi di tanah air, kemampuan berpikir kritis dan representatif serta reflektif sangat urgen dihidupkan. Pola berpikir semacam ini hendaknya sedini mungkin diterapkan di keluarga dan sekolah-sekolah, sebagai upaya untuk mencegah masuknya tumor ganas korupsi kepada tubuh dan jiwa anak-anak kita. Hanya dengan berpikir kritis dan reflektif di pelbagai segi kehidupan bangsa, seluruh rakyat Indonesia dapat bebas dari maraknya praktik korupsi yang hingga kini oleh para koruptor, telah dianggap sebagai sebuah kewajaran dalam sistem.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan