the-guest-house-kepada-rumi

Belajar Kepada Rumi

 “Tunjukkan padaku sebuah keburukan yang tidak mengandung kebaikan di dalamnya, atau sebaliknya. Seseorang yang hendak membunuh tiba-tiba berhasrat untuk berzina, akibatnya dia tidak jadi membunuh. Benar bahwa zina adalah perbuatan tercela, tapi ia menjadi penghalang bagi terjadinya pembunuhan. Pada sisi inilah zina mengandung unsur kebaikan.”

Ini bukan ucapan saya, tapi ungkapan Maulana Rumi. Filsuf yang terkenal akan kebijaksanaannya memahami hidup. Kalau Anda tak percaya, tanyakan langsung ke makam beliau.

Begini, tulisan tersebut tersemat di cover belakang buku karangan Rumi, Fihi Ma Fihi. Pertama kali membaca sinopsisnya, saya langsung tertarik membeli. Apalagi, dari dulu saya mengagumi sosok satu ini. Sayangnya, saya tak langsung membeli. Masih ada keperluan lain yang jauh lebih mendesak. Akibatnya, ucapan Rumi ini terus memutari kepala siang malam, membuat saya lebih tersiksa akan pertanyaan sendiri.

Bagaimana tidak tersiksa, lah wong jelas-jelas Rumi menceritakan seseorang yang sedang ingin membunuh tapi kemudian memerkosa. Jadilah peristiwa pemerkosaan ini mengandung unsur kebaikan karena menjadi penghalang terjadinya pembunuhan. Sampai di sini saya memahami, kalau membandingkan kategori perbuatannya, tentu hukuman membunuh lebih besar dibandingkan pemerkosaan. Jadi saya pun menyetujui pendapat Rumi jikalau pemerkosaan itu mengandung unsur kebaikan.

Lantas, saya kembali bingung. Kalaupun pemerkosaan tadi mengandung kebaikan, apakah orang tadi tidak berdosa lantaran akibat perbuatannya kepada korban? Sepertinya tidak juga. Mungkin ada hitungan khusus untuk menilai perbuatan tadi. Tapi saya tidak tau kepastiannya. Hanya Lah Ta’ala yang Maha Tau. Hitungan-hitunganNya pun tak sama dengan hitung-hitungan manusia. Di sana sudah ada Departemen Ketuhanan yang sangat adil. Tak sama dengan pengadilan di Indonesia.

Bagaimanapun juga, jangan terlalu memusingkan peristiwa tadi, apakah seseorang yang melakukan pemerkosaan itu mendapat dosa atau sebaliknya, toh dosa-dosa kita juga banyak, apalagi dosa saya, tak kalah besar. Alangkah baiknya tak usah mengungkit-ungkit dosa orang lain. Tak baik. Mengingat dosa sendiri saja rasanya sudah banyak yang lupa.

Terkait dosa, sepertinya, Ia sengaja ada agar manusia bisa memaksimalkan akalnya. Coba bayangkan, bukannya menjadikan seluruh manusia menjadi baik tanpa adanya pembunuhan, dan lain sebagainya adalah hal yang sangat mudah bagi Lah Ta’ala? Tinggal klik satu kali, tak sampai satu menit, jadilah seluruh manusia menjadi baik. Kun Fayakun. Lantas mengapa ada kebaikan dan keburukan di dunia ini?

Ya, untuk memaksimalkan akal tadi. Dibandingkan makhluk lainnya, manusia adalah ciptaanNya yang paling sempurna. Apalagi kalau bukan akal yang menjadi penyempurna. Malaikat misalnya, sampai kiamat pun mereka menjadi makhluk yang taat. Dijamin masuk surga. Sejujurnya, saya sangat iri kepada malaikat. Tak jarang saya menggugat Tuhan mengapa Ia berkenan menciptakan saya sebagai manusia, bukan sebagai malaikat. Menjadi malaikat itu enak, tak usah berpikir dosa. Pasti masuk surga karena pekerjaan mereka sudah dipastikan beribadah siang malam. Takkan ngantuk karena mereka tidak diberi rasa kantuk oleh Tuhan. Tak seperti manusia, makan agak banyak, mata sudah lelah dan ingin tidur. Jadilah saat ingin mendirikan shalat, rasa-rasanya berat sekali buat wudhu’. Mungkin bukan Anda, tapi saya terkadang begitu kalau sudah lupa menakar makanan.

Selanjutnya, binatang dan tumbuhan. Mereka juga tidak diberi akal seperti manusia. Tapi kalau mereka diberi akal sama persis seperti kita, barangkali alam takkan akur. Akan terjadi perselisihan di mana-mana. Sama seperti kita. Sedikit-sedikit tersinggung. Sedikit-sedikit bertengkar. Tak jarang sampai baku hantam dan meninggal. Seandainya para tumbuhan dan binatang seperti itu, tambah runyam isi bumi ini. Tanpa keberadaan akal para tumbuhan dan binatang saja, dunia seakan penuh sesak dengan berbagai perang, apalagi ditambah mereka.

Yang paling saya kasihan tentu kepada iblis dan setan. Seandainya Tuhan memberikan pilihan, apakah saya mau menjadi manusia apa setan, saya tetap ingin menjadi manusia. Tak mau saya jadi setan. Sudah pasti seratus persen masuk neraka. Meskipun menjadi manusia juga ada kecenderungan nyemplung ke sana, tetapi ada nol koma satu persen bagi manusia untuk berbuat baik yang bisa membawanya terangkat dari neraka menuju surga. Nah, nol koma satu persen itu yang saya syukuri daripada menjadi setan.

Kasihan setan. Mau berjalan kaki dari ujung barat ke timur bumi, dia tetap masuk neraka. Jadi, jangan sering-sering menyalahkan setan. Sebentar-sebentar menyalahkan setan karena kita malas shalat. Jangan begitu. Sudah menjadi tugas setan mengganggu kita. Sama seperti tugas kedua malaikat yang mencatat amal kita. Dan tugas kita memaksimalkan kerja akal.

Anda tau, sampai sekarang terkadang saya membayangkan sewaktu saya masih berusia empat bulan dan berada di kandungan, Tuhan menyodorkan pertanyaan, apakah saya mau menjadi malaikat atau manusia? Sebab lelah juga mengalahkan nafsu diri sendiri ditambah adanya setan. Benar-benar menguras semuanya. Sayangnya, angan-angan tadi akan tetap menjadi angan-angan. Takkan bergerak menjadi kenyataan. Pertanyaan sewaktu usia empat bulan itu takkan pernah berubah. Tetap sebuah pertanyaan apakah saya mengakui Allah sebagai Tuhan saya atau bukan. Tentu saya menjawabnya, iya.

Sumber gambar: Pixabay

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan