aku-berpikir-maka-aku-ada

Berpikir atau Bertindak, Mana yang Lebih Penting?

“Hidup itu tidak usah dipikirkan, tapi dijalani saja,” (mungkin) adalah pernyataan yang sering kita dengar dalam hidup sesehari. Ada juga ungkapan senada dengan itu, seperti, “Ah, itu kan hanya teori, tidak sesuai kenyataan. Aksi nyata itu yang penting.”

Dua ungkapan ini mewakili paradigma yang berkembang di masyarakat, bahwa berpikir dan berteori tidak lebih penting dari praktik. Praktik yang berorientasi untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan sebelumnya, dianggap lebih jumawa dibandingkan berteori/berpikir.

Kenyataan ini mengajak kita untuk bertanya, “Apakah hubungan antara teori dan praktik? Benarkah praktik lebih penting dari teori? Betulkah berpikir adalah kegiatan yang sia-sia?”

Banalitas Sebagai Tren Masa Kini

Sedarhananya, banalitas bisa diartikan ‘biasa sekali’. Secara umum, banalitas bisa diwakili oleh tiga gejala, yaitu terlalu biasa, kedangkalan, dan kesia-siaan. Khusus dalam artikel ini, istilah banalitas akan diartikan sebagai kedangkalan.

Sudah jadi rahasia umum, kita hidup dalam era digital, dimana Google sudah menjadi sumber “primer” ilmu pengetahuan. Banyak pakar pendidikan menyebutkan, generasi Google adalah generasi yang tahu banyak, tapi tidak mendalam. Generasi ini bisa menyerap informasi seluas-luasnya dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Walau begitu, informasi yang dicernanya dangkal, miskin inovasi, dan tidak kreatif.

Ini bisa dibuktikan dengan mudah. Lihat saja acara-acara diskusi di televisi, yang katanya memiliki rating tinggi. Anda bisa mencoba untuk menganalisa argumentasi dalam diskusi mereka. Betulkah peserta diskusi memberi argumen yang mendalam atau sekedar mengulang apa yang sudah ada di media online?

Perilaku masyarakat di media sosial juga bisa menjadi bukti. Berita bohong dan ujaran kebencian tentang sesuatu mudah menyebar luas. Tanpa mempedulikan validitas informasi, kita mudah sekali untuk bersegera menyebarluaskannya.  Tanpa cek dan ricek, kita bahkan mudah sekali menggunakan itu sebagai alat provokasi.

Perilaku yang lain, masih dari media sosial, juga bisa jadi indikator banalitas ini. Media sosial kita, sesungguhnya didominasi hal-hal yang tidak berguna. Lini masa media sosial hanya diisi oleh foto menu makan siang, baju dengan model terbaru, atau foto tempat di mana kita sedang berlibur. Singkatnya, media sosial tak lebih hanya sebagai tempat untuk mendeklarasikan betapa konsumerisnya masyarakat kita.

Bahkan, jika ingin beralih pada ranah yang lebih serius, banalitas juga terdapat dalam dunia kampus. Banyak mahasiswa yang menulis skripsinya hanya untuk memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Skripsi dikerjakan dengan semangat “yang penting lulus”. Skripsi tidak lagi dilihat sebagai upaya untuk memajukan ilmu pengetahuan, apalagi sebagai bagian dari tri dharma perguruan tinggi. Bukankah ini pertanda akutnya banalitas intelektual kita?

Fenomena terakhir yang saya saksikan sendiri dalam mengenali banalitas ini terlihat di toko buku. Buku-buku dengan konten teori murni jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan buku-buku “how to”. Buku-buku kita masih didominasi oleh tema-tema, “Bagaimana cara untuk menjadi kaya, bagaimana cara untuk menjadi pribadi yang menyenangkan, bagaimana cara menjual yang efektif, dsb”

Fenomena banalitas ini setidaknya pertanda bahwa kita bukan lagi masyarakat yang berpikir. Langkanya kegiatan berpikir dalam masyarakat kita menjadi indikator bahwa berteori pun tidak menjadi pilihan.

Pragmatisme

Pragmatisme adalah sebuah paham yang mementingkan tujuan (kepentingan ekonomi) diatas segalanya. Kebenaran, menurut pragmatisme, adalah sesuatu yang memiliki daya guna ekonomis. Sederhananya, jika sesuatu tidak berdaya guna ekonomis, maka itu bukanlah kebenaran.

Salah satu ciri khas masyarakat pragmatis, menurut Nurani Soyomukti adalah kemalasan dalam berpikir dan berteori (Teori-Teori Pendidikan, 2015). Berpikir dan berteori dianggap sebagai kegiatan mahal. Masyarakat pragmatisme adalah orang yang hanya disibukkan dengan kerja-kerja dan tindakan yang seakan terburu-buru. Max Horkheimer, salah seorang pemikir Neo-Marxisme mengatakan, “Pragmatisme merefleksikan suatu masyarakat yang tak punya waktu untuk mengenang dan merenung.”

Dalam pragmatisme, berpikir dan berteori memang dikategorikan sebagai kegiatan sia-sia karena tidak memiliki daya guna ekonomis. Berpikir bukan bagian dari “cepat dan tepat” –  yang tak lain adalah motto dari pragmatisme itu sendiri. Pragmatisme menuntut budaya cepat saji. Jadi tak heran, jika dalam budaya pragmatisme berpikir dan berteori adalah sebuah kegiatan yang membuang-buang waktu.

Antara Praktik dan Teori

Sokrates pernah mengungkapkan sebuah kalimat penting, “Suatu kehidupan yang tidak dikaji bukanlah kehidupan yang patut dijalani bagi seorang manusia.” (Socrates dalam Tetralogi Plato, 2009). Sokrates menganggap bahwa menyelidiki kehidupan adalah sata-satunya kriteria penting layak-tidaknya seseorang menjalani kehidupannya. Menurut Sokrates, berpikir dengan rasio dan akal sehat adalah satu-satunya cara untuk mengaji kehidupan itu. Pendeknya, menurut Sokrates, hidup yang tidak dipikirkan secara mendalam adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.

Namun, ungkapan ini tidak juga bisa dipahami secara ekstrim. “Batu tidak akan berpindah jika hanya dipikirkan,” begitu kira-kira kata Maxim Gorky, pelopor sastra realisme sosial yang tersohor itu. Artinya, jika hanya mengandalkan pemikiran dan perenungan semata, kehidupan itu sendiri pun tidak akan bergerak kemana-mana. Dia hanya diam. Bukankah kehidupan yang diam adalah kematian?

Pertentangan antara berpikir dan bertindak sejatinya muncul dari pemahaman keliru tentang keduanya. Orang sering menganggap teori tidak penting karena teori tidak mewakili kenyataan. Sementara disisi lain, orang perlu mengubah kenyataan karena perlu untuk kehidupannya. Misalkan, orang tidak akan kenyang jika hanya mengetahui teori tentang makan. Tapi, sebaliknya orang yang bisa mempratikkan cara makan, tanpa perlu memahami teorinya, bisa kenyang. “Kenyataan” inilah yang membuat, pada akhirnya orang tidak menganggap penting teori, selama mahir dalam praktik.

Singkatnya, ada kesenjangan antara teori dan praktik, yang membuat orang lebih memilih untuk berpraktik daripada berteori.

Masih menurut Nurani Soyomukti, “Teori sebenarnya sebuah alat untuk membantu menjelaskan sesuatu. Ia merupakan penyederhanaan dari gejala-gejala kehidupan supaya mudah dipahami dan dijelaskan.” Artinya teori berangkat dari kenyataan hidup. Teori yang benar adalah teori yang berhasil menjelaskan kenyataan itu sendiri. Sebuah teori dinyatakan salah jika dia tidak berhasil mengelaborasi kenyataan hidup itu sendiri. Sehingga, ada korelasi positif antara teori dan kenyataan. Teori yang benar adalah teori yang menggambarkan kenyataan dengan jelas dan terang.

Kesimpulan

Dengan demikian, jika teori dituduh tidak sesuai kenyataan, artinya teorinya yang perlu diganti, bukan kegiatan berteorinya yang dijauhi. Jika teori dituding tidak signifikan pada praktik, maka teorinya yang perlu direvisi, bukan kegiatan berpikirnya yang dimaki.

Oleh karena itu, kita perlu menyeimbangkan segalanya. Beranjak dari korelasi antara teori dan praktik, maka keduanya tidak bisa dilepaskan terpisah. Jika hanya berpikir, maka masyarakat kita hanyalah masyarakat perenung, diam, dan mati. Jika hanya berpraktik, maka masyarakat kita menjadi masyarakat pragmatis yang tak punya arah, instan, dan serba cepat. Dalam situasi seperti ini, keduanya harus bertemu dalam proses dialektia. Inilah hubungan paling ideal antara berteori dan berpraktik.

Dengan begitu, tidak ada hierarki antara berpikir dan bertindak. Keduanya memiliki signifikansi yang sama penting. Keduanya harus dijalani secara simultan. Hanya dengan begitulah maka kehidupan yang dinamis bisa diwujudkan. Teori bisa diganti jika tidak sesuai kenyataan. Sementara kenyataan ditransformasi lewat analisa teoritis yang ketat.

Dengan cara inilah, banalitas itu bisa disingkirkan.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan