mengalir-seperti-sungai

Bersama Paulo Coelho, Sejenak Mengalir

Oleh Elvan de Porres

Paulo Coelho sungguh merupakan salah satu penulis unik di jagad raya ini. Beliau tak hanya tampil sebagai seorang penyair, kolumnis, ataupun novelis dengan kualitas karya high class, tetapi juga merupakan seorang “tukang beri renung kelas candu”. Maksudnya, karya-karyanya menyajikan jalinan cerita menarik sekaligus refleksi mendalam tentang kehidupan. Ada daya magis-spiritual di dalamnya. Tentu, ini suatu keistimewaan bagi penulis kelahiran Rio de Janeiro, 24 Agustus 1947 yang tulisan-tulisannya sarat pula dengan inspirasi biblikal.

Salah satu masterpiece berharga dalam konteks “beri renung kelas candu” itu tampak dalam karyanya Seperti Sungai yang Mengalir. Buah Pikiran dan Renungan. Karya ini terbit pertama kali pada tahun 2006. Bahwasannya, ini bukanlah sebuah novel ataupun kumpulan syair. Ini merupakan himpunan kisah-kisah pendek beserta renungan-renungan yang telah ditulis Coelho pada pelbagai surat kabar dunia. Wow. Dan, “…menjadi buku atas permintaan para pembaca saya”, ujarnya dalam kata pembuka. Laik diapresiasi tentunya. Namun, terlepas dari itu, yang jauh lebih adiluhung ialah bagaimana cerita dan esai-esai reflektif itu menampilkan letupan “katarsis’-nya. Membuat pembaca menemukan kesegaran batin mahadalam.

buku-paulo-coelhoPada prinsipnya, makna umum yang tergurat dalam buku tersebut ialah hidup itu mengalir, melumat setiap titimangsa, dan mengalun dengan ketentuannya. Dengannya, tak ada kegelisahan, kecemasan, syak wasangka ataupun rasa cemas dalam perjalanannya. Hidup yang mengalir itu diibaratkan sebagai sungai. Alirannya melantun takkan kembali. Memang benar, secara empiris tak ada arus sungai yang merajuk dan ngambek ingin pulang dari hilir ke hulu. Bahwasannya hidup pun seperti itu. Sekali terlewatkan, tak ada pengulangan, dan yang tersisa hanyalah kenangan. Tentang ini, seringkali manusia sebagai pejalan kehidupan lupa pada kenangan itu dan lebih fokus pada “kenang-kenangan”. Artinya, kita abai terhadap diri sendiri sebagai suatu fakta induk dan lebih berkutat pada hal-hal di luar keidentitasan kita. Padahal, hidup (aliran) itu mestilah dimaknai secara bijaksana. Setiap momen di dalamnya merupakan anugerah yang tak boleh disia-siakan. Di sini, term “mengalir” mengindikasikan adanya pergerakan, revitalisasi, juga transformasi diri.

Pada satu sisi, penulis mengakui bahwa banyak nilai kehidupan yang bisa didapat dari tulisan Paulo Coelho tersebut. Lebih lanjut, “mengalir” menjadi semacam substrat pendasar pada esai ini. Kemudian, ia mengalami proliferasi (pembiakan), dalam artian menyuguhkan hikmah-hikmah refleksif lanjutan yang dapat kita catut dalam keseharian hidup. Terinspirasi dari buku Paulo Coelho tersebut, ada beberapa poin esensial tentang memaknai hidup yang mengalir itu. Pertama, perihal memperjuangkan aliran. Kedua, mensyukuri anugerah. Dan, ketiga, merapal harapan. Ketiga hal ini berkenaan langsung dengan hidup itu sendiri.

Syahdan, hidup manusia yang mengalir tak boleh dibiarkan berseliweran begitu saja. Manusia mesti menghargainya. Pada titik ini, poin perjuangan pun tampil sebagai salah satu matra khas. Usaha dan keberanian menjadi harga mutlak. Dengan begitu, sikap pasrah, mudah putus asa, dan cepat lelah bukanlah tipikal pejuang kehidupan atau ksatria cahaya seturut bahasa Coelho. Sebab, seorang ksatria cahaya itu mengusahakan hidupnya, membaca setiap peluang dan memanfaatkannya.

Hidup yang mengalir bukan pula diinterpretasikan sebagai kepasrahan, pembiaraan, juga sikap acuh tak acuh. Air sungai, meskipun hakikatnya mengalir, membutuhkan usaha supaya bisa tiba pada hilir. Ia kemudian bisa menyatu dengan laut, menemukan penggenapannya. Namun, sesungguhnya ia bergulat dengan rintangan; jumputan bebatuan, onggokan pasir dan kayu, hingga kotoran-kotoran kecil lain, dan berusaha mencari celah supaya bisa lolos. Hidup pun demikian. Sama seperti aliran sungai, tidak ada hal muluk yang membawa manusia sampai pada tujuan/cita-cita hidupnya.

Oleh karena itu, perjuangan dalam konteks memaknai hidup yang “mengalir” itu mengandaikan ada tindakan/praksis. Menurut Coelho, tindakan adalah pikiran yang mengejawantah. Sebab, setiap laku itu selalu meninggalkan bekas, dan sangat berbahaya jikalau terhenti ataupun menjadi kering. Harus ditegaskan bahwa keberanian untuk menentukan pilihan dan merunut tindakan merupakan ciri sejati seorang ksatria cahaya.

Langgam berikutnya ialah syukur. Telah dikatakan, hidup yang mengalir itu membawa kita menuju cahaya. Cahaya di sini bisa terkatakan sebagai impian, cita-cita hidup. Sebelumnya, kita telah berjuang. Kita mesti juga sadar dan realistis; adakalanya perjuangan itu tak selalu membuahkan hasil maksimal. Kadang, kita terantuk jatuh dalam kegagalan dan boleh jadi larut dalam putus asa, raib harapan, dan menganggap hidup nirmakna.

Hal tersebut sangatlah manusiawi. Artinya, kita turut menegaskan kelemahan dan kekurangan diri. Namun, penegasan itu kiranya tidak dilihat sebagai bentuk minimalistis ataupun rendah diri. Oleh karenanya, manusia mesti bersyukur ketika ada pengalaman terjatuh, ada avontur hidup yang lamur dalam etalase perjalanannya. Mensyukuri tidak hanya sekadar mengucapkan terima kasih kemudian duduk diam tanpa daya. Mensyukuri berarti membangkitkan gairah hidup baru. Kita mencoba membentuk kembali visi hidup, menyalang kembali misi diri. Sampai di sini, akidah alkimiawi ala Coelho turut diafirmasi. Bahwasannya, masing-masing kita menyimpan keseluruhan alam semesta dalam diri, dan karenanya kita bertanggung jawab atas kesejahteraannya. Ini berarti bersyukur membentuk semangat baru. Tidak hanya terjerembab kaku dalam kegagalan sebelumnya.

Poin ihwal yang penting juga diguratkan ialah perefleksian diri. Refleksi membawa manusia pada suatu dimensi spiritual. Di dalam refleksi, manusia melihat setiap jejak langkah hidup selama ini. Kita bertolak ke kedalaman sungai diri (duc in altum). Apabila selama ini hanya berada di atas pusaran air kehidupan, kita pada tataran ini berusaha menyelaminya secara holistik. Soal kehidupan, kematian, cinta, kehilangan, jatuh, bangun, bahagia, trenyuh, semuanya ini bisa masuk dalam dimensi kontemplatif tersebut. Nah, jika dibaca dalam kerangka berpikir Coelho, refleksi itu dapat terujarkan sebagai menyelam sembari mengalir; bersyukur serentak melangkah; dan berjalan sekaligus bertualang.

Pada akhirnya, makna “mengalir” ketiga adalah merapal harapan. Term “merapal” merujuk pada permohonan diri. Ada pengucapan asa hidup. Harapan tersebut sebagai suatu kekuatan utopis yang senantiasa mendorong diri untuk larut dalam perjuangan. Namun, dalam rapalan harapan, kekuatan utopis ini suatu saat bakal terejawantahkan dan termanifestasikan. Di sini, harapan dapat dilihat pula sebagai bentuk doa. Kita berdoa dengan cara dan keyakinan masing-masing. Tentunya, doa sebagai pengungkapan asa itu punya kandungan spiritual tersendiri. Dengannya, kita percaya pada kemustahilan dan meyakini bahwa cita asa mulia akan terwujud.

Akan tetapi, mesti diingat bahwa asa yang terkumandangkan itu mestilah realistis-ritmis. Maksudnya, harapan yang kita pertaruhkan itu sesuai dengan urgensi dan kebutuhan diri. Jangan sampai terlalu mengambang dan melamurkan tujuan-tujuan dasariah. Di dalam rapalan harapan, aspek kesungguhan dilihat sebagai keutamaan, layaknya aliran sungai yang tak jemu-jemunya mengalir.

Berjuang, bersyukur, berharap mesti dijadikan tiga kebajikan hidup dalam setiap arus langkah hidup manusia. Hidup sungguh-sungguh dimaknai sebagai suatu kekuatan yang senantiasa mengalir. Dengan demikian, manusia tidak hanya berenang-renang pada pusaran episentrum tertentu tetapi mengalir bersama kehidupannya menuju cahaya. “Mengalir” mungkin sungguh belum selesai. Ini jadi tugas dan tanggung jawab masing-masing insan kehidupan. Namun, pada relung sebuah akhir, dalam “mengalir” (sejenak bersama Paulo Coelho), saya dan Anda boleh jadi faham. Bagaimana cara berenang tanpa harus menjadi arus; bagaimana cara menikmati arus tanpa harus sampai lupa diri; dan bagaimana mengingat diri tanpa harus melindapkan jalan menuju cahaya. Selamat mengalir.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan