buya-hamka

Buya Hamka: Peneduh Massa

Hidup ini bukanlah suatu jalan yang datar dan ditaburi bunga, melainkan adakalanya disirami air mata dan juga darah.

-Buya Hamka

 

Hamka, begitu panggilan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Sosoknya melekat dalam karya roman “Di bawah lindungan Ka’bah”, dan “Tenggelamnya Kapal Van derwijck” yang telah digubah dalam sebuah film. Hamka lahir dari Maninjau, Sumatera Barat. Lahir sebagai anak sulung dari pasangan Dr. Abdul Karim Amrullah dan Shaffiah. Hal yang patut diistimewakan dari sosok beliau adalah Hamka menjadi seorang politikus, ulama, sekaligus juga sebagai seorang sastrawan yang tidak diragukan keahliannya.

Buya Hamka, demikian panggilan akrabnya, sebagai politikus terkenal pada rezim Soekarno. Tahun 1955 Hamka diangkat menjadi anggota konstituante mewakili Jawa tengah. Sosok lelaki yang menikahi Hajjah Siti Chadijah ini sempat menuai konflik pada era Soekarno. Hamka yang mempunyai sikap teguh dalam religiusitas, hal tersebut menjadi penyebab sering silang pendapat dengan kebijakan pemerintah. Dalam waktu dua tahun, 1964-1966 Hamka masuk dalam hotel prodeo. Awalnya, Hamka diasingkan di Sukabumi, kemudian ke puncak, dan berakhir di RS Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Hamka dituduh telah melanggar Undang-Undang Anti Subversif Pempres No.11, yaitu merencenakan pembunuhan Presiden Soekarno[1]. Dalam kehidupan di penjara, Hamka tidak lantas terpuruk dengan dkasus tersebut. Alhasil, Hamka yang begitu cerdas, telah mampu menyelesaikan tafsir Alquran 30 juz –tafsir Al Azhar.

Hamka adalah sosok yang pemaaf. Meskipun telah diboikot secara jiwa dan karya pada saat itu, Hamka berbesar hati menerima pesan dari sang nomor satu Indonesia saat itu. Dalam pesan itu tersirat, Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalatku. Dan benar, ketika Bung Karno meninggal, Hamka menjadi imam shalat jenazah Bung Karno meskipun banyak menuai protes dari masyarakat. Beliau berpikir bahwa Sang proklamator telah berjasa untuk umat islam yaitu berdirinya dua masjid besar; Masjid di Istana Negara –Masjid Baitul Rahim, dan Masjid terbesar di Asia Tenggara –Masjid Istiqlal.

Hamka dipercaya oleh para ulama untuk menduduki Ketua Majelis Ulama Indonesia selama empat tahun (1975-1979). Semasa jabatannya Hamka mengeluarkan fatwa berisi penolakan kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal. Meskipun pemerintah meminta untuk menarik kembali fatwa tersebut, Hamka tetap teguh pendirian. Selain itu, elektabilitas yang tinggi, Hamka juga aktif di organisasi Muhammadiyah, dan ketua Yayasan pesantren Al Azhar.

Secara dunia pendidikan formal, Hamka hanya duduk di Sekolah Desa, tetapi tidak tamat. Selanjutnya, Hamka belajar agama islam di Padang  Panjang. Kemudian, tahun 1922 Hamka kembali belajar Agama Islam di Bukittinggi. Itu pun tidak selesai. Hamka kemudian menghabiskan waktunya dengan belajar secara otodidak. Maka takheran, hamka banyak menghabiskan waktunya ddengan membaca buku, belajar dengan para tokoh dan ulama, dari Sumatera Barat hingga Makkah, Arab Saudi.

Dalam dunia sastra, Hamka piawai menjadi seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Hamka pernah menjadi seorang wartawan di surat kabar Pelita Andala, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat pada tahun 1928. Kemudian pada tahun 1932, Hamka juga menjadi editor dan menerbitkan majalah Al Mahdi di Makasar.[2] Sementara itu, karya fiksi yang mampu membawa Hamka ke dunia Asia adalah novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli. Hamka juga pernah mendapat gelar kehormatan pada bidang kesusateraaan dari Universitas Nasional Malaysia. Melalui karya-karyanya, masyarakat saat ini bisa lebih dekat mengenal Buya Hamka. Dan salah satu kebiasaan Hamka yang bisa dijadikan panutan ialah Hamka selalu mencatat hal yang dianggap penting setelah beliau menuntaskan sebuah buku.

Reni Kurniawati. Penulis lulusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bangsa yang hebat adalah pemudanya tidak melupakan sejarah. Maka mengenal tokoh adalah bagian mengenal Indonesia. Aktif mendidik putra bangsa dalam dunia kepenulisan di Bogor.

Ket:

Gambar diambil dari http://sangpencerah.id

 


[1] Hamka, Irfan. (2013). Ayah. Jakarta. Republika.

[2] Hamka, Rusydi. 1983. Pribadi dan Martabat Buya Prof. Hamka. Jakarta: Pustaka Panjimas.

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan