celoteh-kehidupan-agus-budi-wahyudi

Celoteh Kehidupan

Oleh Budiawan Dwi Santoso

Membaca buku Celotah-Celoteh (2015) garapan Agus Budi Wahyudi adalah membaca seorang guru yang pernah mendidik pembacanya (kita)—sebab, pernah muncul di harian koran ternama. Dimana, setiap tulisan Agus Budi Wahyudi menyampaikan dengan bahasa sederhana.

Dalam buku ini, kita membaca realitas sosial, terdapat kandungan nilai-nilai religusitas, moral, sosial, bahkan politik, dan ekonomi, pendidikan. Nilai-nilai tersebut tak bisa terlepas dan kita lepas dalam kehidupan sehari-hari.

Puisi pada hal. 6 berjudul Guru: “Hanya ada kata sederhana yang mampu kuucap/ “Apa adanya adalah makna” menjadi representasi si penulis dan tulisannya. Jika pembaca mengenal penulis, maka kata ini nampaknya merepresentasikan pada penulisnya sebagai manusia biasa. ‘Kata sederhana’, bagi saya (pembaca) merupakan representasi atau malahan sifat asali manusia, yakni sebagai manusia biasa,—meskipun, dilihat dari luar atau membaca biodata penulis, ia menjadi manusia punya titel atau jabatan.

Adapun, bait akhir, berbunyi: “Berguru: guruku adalah kata sederhana/yang melekat di dalamnya makna-makna”. Bila kita membaca nukilan atau keutuhan puisinya dengan tulisan-tulisan dalam buku ini, maka pembaca (kita) akan tahu dan memahami bahwa apa yang ia sampaikan lewat kata-kata itu adalah realitas, peristiwa yang dilihat dan dibaca. Baginya, apa yang ia alami, bukan sekadar tontonan dan pemandangan saja. Tapi, hal itu merupakan ‘teks’, ‘kata kehidupan’, atau tanda yang mengingatkan atau mengajarkan. Dan, penulis menyerap itu, lalu menyampaikan kembali lewat kata-kata.

Saat kita membaca setiap tulisan demi tulisan, kita akan menjumpai seorang tokoh utama bernama Pakde Jibet, dan tokoh-tokoh lain, seperti Bude Jilah, Om Keke. Memang, membaca buku ini, kita disuguhi semacam cerita berbaur antara fiksi dan fakta. Namun, meskipun nampak fiktif atau penulis memberi keterangan “peristiwa dan tokoh diangkat berdasarkan imajinasi penulis dan tidak ditujukan kepada pihak tertentu”, tapi, tulisannya, kata penulis, “bermaksud mencemarkan nama baik.” Dan, menurut saya, buku ini mampu menjadi kaca benggala bagi kita untuk lebih mencermati kehidupan ini.

Banyak tulisan dapat kita baca dan renungi, dan diambil hikmahnya. Seperti, suguhan tulisan berjudul ‘Darah’. Tulisan sederhana, diawali: “Berjalanlah waktu, pagi ke siang lalu sore ke malam. sewaktu-waktu berjalan itulah darah mengalir seperti tiada henti”, merupakan tulisan metaforis-filosofis ini. Meskipun begitu, kesederhanaannya masih dapat dijangkau; ‘berjalan’; dan ‘menjalankan’ pembaca.

Tulisan yang menceritakan Pakde Jibet sedang berjalan-jalan, dan saat itu pun darah mengalir, lalu, dari jalan-jalan, Pakde Jibet, bertemu sapa dengan Om Keke, sampai dengan bercakap, itu dibungkus mulai dari ranah kecil ke ranah luas. Yakni, ‘geraknya’ mereka menyinggung sampai dengan bergeraknya orang-orang yang mengalirkan pertumpahan darah, tawuran, seperti kita lihat dan baca dalam kehidupan ini.

Namun, apa yang Pakde Jibet lihat dan baca dari hal itu, ia tak terjebak pada gerak negatif. Ia tahu mana yang benar dan salah. Dan, ia tahu mana yang baik dan buruk. Maka, ketika ia tahu itu, ia lebih memilih bergerak menuju yang positif, seperti ungkapan akhir esainya ini: “Pakde memilih mengalirkan darahnya setiap hari untuk keperluan sebagai titah Tuhan yang berarti” (hal. 54).

celoteh-kehidupan-agus-budi-wahyudiTulisan-tulisan seperti itulah, yang dapat kita jumpai dan baca lewat buku ini. Dan, jika pembaca menilik lagi biodatanya bahwa Agus Budi Wahyudi hobi menasihati sambil bercerita”, maka tak jauh berbeda antara penulis dan yang ditulisnya.

Judul buku: Celotah-Celoteh

Penulis: Agus Budi Wahyudi

Penerbit: bukuKatta, Solo

Cetakan: I, Agustus, 2015

Tebal: 192 Halaman

*) Budiawan Dwi Santoso, alumnus Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Muhammadiyah Surakarta

Baca resensi lain dari Budiawan Dwi Santoso

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan