alice-munro-cerita-tentang-perempuan

Cerita Alice Munro Tentang Perempuan

            Di negeri ini, ruang untuk cerpen memang tak seperti di luar negeri. Cerita pendek di negeri ini dibatasi oleh ruang (halaman) yang terbatas. Barangkali karena itulah, penulis-penulis kita menjadi ikut terbawa arus tersebut. Meski sebenarnya mereka mampu mengisahkan cerita mereka menjadi lebih panjang, koran atau majalah cenderung menolaknya. Di Indonesia sendiri, ruang cerpen yang cukup panjang biasanya hadir dalam bentuk cerbung (cerita bersambung).

            Tradisi bercerita tak bisa dilepaskan dari kebudayaan kita. Dalam kebudayaan kita, cerita-cerita tak hanya hadir lewat wayang, atau babad, dan dongeng, keluarga kita sendiri pun tak bisa rasanya untuk mengelak dari tradisi bercerita. Bahkan seorang anak kecil sekalipun yang sedang tumbuh dan bisa berbicara, ia akan bersemangat dan senang sekali mengisahkan apa yang dialaminya dan dianggap menarik.

            Keluarga kita adalah memori cerita itu. Ayah, kakek, nenek kita, atau ibu kita itulah pendongeng yang ulung. Bahkan seorang Triyanto Triwikromo memberi pengakuan mengenai biografi keluarganya sebagai pendongeng di bukunya Bersepeda Ke Neraka (2016). Saya rasa, cerita-cerita dari kakek, nenek, atau ibu kita kalau dituliskan akan sama dengan cerita yang dituliskan oleh Alice Munro.

            Kesan saat menghabiskan cerpen pertama di buku  Hateship, Friendship, Courtship, Loveship, Marriage (2016), seolah kita diajak untuk menelisik bagaimana kakek atau nenek kita saat bercerita. Bukan hanya detail cerita yang begitu menonjol, tetapi juga adanya penekanan terhadap peristiwa, tokoh, sampai setting cerita.

            Di cerpen pertama ini, yang juga menjadi judul kumcer Munro, kita menemukan bagaimana Munro tak hanya menyelami dan merasuki sifat si tokoh, tetapi berhasil merajut dan membeberkan kepada kita dengan indah. Kisah ini adalah tentang kecerewetan perempuan tua yang sedang menjalani jatuh cinta dalam istilah kita boleh dibilang sebagai puber kedua. Ia bernama Johanna Perry. Anehnya, ketika jatuh cinta bagi seorang tua ini dilalui surat-suratan yang intim. Johanna harus menanggung patah hati yang mengerikan saat anak-anak Mr. Ken Boudrean yang bernama Sabitha dan Judith mengacaukan hubungan mereka. Melalui cerpen ini, Munro telah berhasil mengangkat tema pernikahan, dan teka-teki keluarga, serta mengangkat cinta yang romantik.

            Cerita Munro ini boleh dibilang terkesan berat bagi pembaca indonesia, hal ini disebabkan karena tradisi lisan (tutur) atau bercerita kita makin ke depan makin hilang. Generasi muda kita lebih sering menumpahkan cerita singkat dalam bentuk status di media sosial, yang membawa dampak pada bahasa mereka menjadi singkat dan monoton.

            Ini saya ketahui saat mendengar pengakuan penerjemah indonesia Luthfi Mardiansyah, ia mengakui bahwa memasuki dunia Munro terlampau susah. Bukan hanya kita diajak untuk menelisik dan menelusuri percakapan yang panjang, tetapi juga detail dan kerumitan ketika harus menyimak kisah yang ditulis oleh seorang perempuan, bertema perempuan pula. Luthfi harus menyerah dan meletakkan buku kumcer Munro ini.

            Ketika membaca cerita Munro kita memang dituntut untuk pasrah terlebih dahulu. Kita mesti pasrah menerima apa yang Munro berikan. Sebab satu cerita, bisa mencapai 70 halaman lebih. Bila pembaca tak sabar, maka ia akan lelah dengan cara Munro yang tak bisa meringkas deskripsi tokoh, percakapan, sampai pada emosi dan konflik yang hendak digali dari ceritanya.

Di cerpen kedua yang berjudul Jembatan Apung, saya menemukan bagaimana keintiman Munro mengaduk-aduk emosi kita begitu kentara. Alur, dalam cerpen kedua ini memang seperti mengajak kita untuk sedikit pening. Bila kita tak cermat, kita terasa dibawa hanyut oleh Munro. Jembatan Apung mengungkap lebih jauh tentang bagaimana perasaan perempuan ketika menghadapi perselingkuhan dan bagaimana lika-liku si tokoh yang memiliki masalah dengan gangguan mental atau berkebutuhan khusus. Munro menggali betul bagaimana perempuan yang satu sisi memiliki kelemahan mental, ia mengisahkan bagaimana kehidupan cintanya, dan perasaan-perasaan emosinya saat merasakan cinta.

            Munro memang jeli mendeskripsikan siapa si tokoh untuk sampai pada pembaca. Mari kita simak bagaimana cara Munro mengangkat si tokoh kepada imajinasi pembacanya. “Gadis itu memang memiliki kulit merah jambu yang lembut. Jinny juga melihat bulu mata dan alisnya yang nyaris putih, rambut pirangnya yang seperti kain wol bayi, dan mulutnya , yang tampak aneh karena begitu transparan, tidak seperti mulut normal yang tidak berlipstik. Penampilannya seperti baru keluar dari cangkang telur, seakan masih ada satu lapisan kulit yang belum jadi, dan satu tahap pertumbuhan yang belum sempurna (h. 83).

            Di cerpen ketiga bertajuk Perabot Keluarga, melalui tokoh Alfrida kita harus sabar menyimak bagaimana si tokoh perempuan ini menjadi misterius dalam cerita Munro. Selain daripada terkesan sebagai perempuan yang memasuki kehidupan rumah tangga orang lain, Alfrida juga menarik karena memiliki kemampuan membuat terpikat lelaki.

            Munro menelusuri konflik tidak dengan cara yang singkat, ia bahkan menuliskan melalui orang ketiga dengan cermat. Melalui tokoh, anak, di dalam cerita ini, ia menuliskan bagaimana perasaan si anak menghadapi dunia ayahnya. “Gara-gara aku, dia menghadapi kesulitan-kesulitan tertentu. Ada bahaya setiap kali aku berada di rumah. Itu adalah bahaya memandang hidupku melalui mata selain mataku. Memandangnya sebagai gulungan kata-kata yang terus bertambah seperti kawat berduri, rumit, membingungkan, tidak menyenangkan—melawan produksi yang melimpah, makanan, bunga, dan kain rajutan, dari kehidupan rumah tangga wanita lain. Makin sulit untuk mengatakan bahwa kerepotan itu layak dilakukan” (h. 155).

            Inilah saya kira kemampuan Munro yang bisa diteladani dari pengarang kita. Godaannya memang tak bisa muncul di koran-koran, atau majalah, tetapi muncul dalam bentuk buku kumcer yang membuat pembaca kita menjadi terbiasa dengan cerita yang tak selalu datar dan terlampau mudah dipahami. Munro memadukan seni bercerita, bahasa, serta kemampuannya mendalami setiap detail tokohnya utamanya : perempuan.

            Deskripsi tokoh misalnya, ia anggap sebagai sesuatu yang penting, tanpa harus menyederhanakannya, termasuk percakapan yang boleh dianggap tak perlu, basa-basi, ternyata dalam dunia perempuan, hal ini tak bisa dihilangkan begitu saja. Karena itulah, cerpen-cerpennya dipuji begitu memukau. The Oregonian misalnya mengatakan : “Tidak ada penulis modern yang dapat masuk ke hati seorang wanita dengan cara seperti yang dilakukan Munro, dan tidak ada seorang pun yang lebih jernih pandangannya dan tidak berlebihan dalam mengemudikan hasrat hati itu”.

            Inilah kumcer tentang perempuan, yang menelisik jiwa perempuan dengan begitu lembut, mengungkapkannya tanpa harus melebih-lebihkan dan apa adanya.   

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan