cerita-si-kabayan-cerita-rakyat-sunda

Cerita Si Kabayan, Lucu Tapi Penuh Paradoks

Membaca buku Paradoks Cerita-Cerita Si Kabayan (2014) garapan Jakob Sumardjo ini, dalam benak pembaca terlintas film Si Kabayan yang pernah dibintangi aktor Didi Petet. Pembaca juga ingat dengan sifat dan sikap tokoh tersebut, yakni pemalas, suka usil, dan terkesan pintar-pintar bodoh.

Gambaran tentang cerita Si Kabayan itu, pada umumnya juga melekat di benak masyarakat kita. Dari pandangan umum masyarakat terhadap Si Kabayan, justru membuat penasaran Jakob Sumardjo—seorang pendidik, penulis, sekaligus budayawan, yang berlatar pendidikan sejarah, dengan pembelajarannya mencakup antropologi, seni, filsafat, sosiologi, dan budaya—untuk menilik dan mengkaji cerita Si Kabayan lebih dalam dan kritis.

Basis pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki Jakob Sumardjo itu pula, membuat dirinya memberikan pernyataan tambahan bahwa cerita Si Kabayan adalah cerita rakyat Sunda, yang tokohnya sendiri merupakan seseorang berkemampuan cerdas, bijak, religius; serta memiliki tautan sejarah, sosial, kultur, dan agama. Dimana, ia merupakan artefak yang sudah sangat familiar di kalangan pesantren.

Ketertarikan Jakob Sumardjo dalam mengkaji cerita Si kabayan justru mempertemukan dengan pelbagai referensi buku (meliputi buku cerita, sejarah, penelitian, agama, dan budaya), yang berkaitan dengan kajiannya, dan saya rasa  memberi kejutan tersendiri bagi Jakob Sumardjo dan pembaca. Sebab, sebelum Jakob Sumardjo mengkaji, cerita Si Kabayan terlebih dahulu telah didokumentasikan oleh Snouck Hurgronje; lalu dikaji oleh Lina Coster-Wijsman untuk disertasinya yang diterbitkan pada tahun 1929; serta ditulis ulang oleh beberapa penulis, salah satunya Achdiat Kartamihardja.

Jakob Sumardjo menyatakan cerita-cerita Si Kabayan bersifat paradoksal, karena cerita tersebut dapat dibaca dari dua sisi. Sisi pertama adalah pembacaan awam seperti kita kenal dalam wujud dan pengertiannya yang umum, yakni cerita Si Kabayan tampil sebagai cerita jenaka, atau cerita jorok, konyol, bodoh, dan kasar; alih-alih cerdas, cerdik, dan pandai—suatu karakter yang paradoksal. Dari sisi paradoksal, maka dilakukan pembacaan secara falsafi, yang merupakan sisi kedua. Dimana, pembacaan ini memerlukan bekal pengetahuan  budaya, filsafat, dan mistisisme. Pembacaan yang rata-rata luput dilakukan masyarakat pembaca cerita Si Kabayan, terutama masyarakat Sunda (hal. 8).

Paradoks

Dari kajian dalam buku ini, Jakob Sumardjo menghasilkan pelbagai tafsiran yang telah dikelompokkan, yakni paradoks metafisika, paradoks pikiran, paradoks perbuatan, dan paradoks nafsu. Adapun, Sumardjo menyebutkan bahwa cerita-cerita Si Kabayan mengandung paradoks metafisika, karena dalam cerita yang kongkret, mudah dicerna itu, Si Kabayan menyuguhkan esensi; dangkal-dalam, permukaan hidup-inti hidup. Suatu cerita yang memiliki pasangan oposisi makna kaum eksoterik (makna umum berdasarkan logika empiris kita) dan makna kaum esoterik (makna khusus berdasarkan logika kaum makrifat).

Salah satu contoh cerita Si Kabayan yang mengandung paradoks metafisika adalah cerita Si Kabayan Menanam Pohon Pisang. Dalam cerita itu dikisahkan Si Kabayan sedang menggali lobang, dan lewatlah Ki Silah. Ia pun bertanya, “Kabayan, buat apa kamu gali lobang?” Jawab Kabayan, “Buat tanam pohon pisang.” Ki Silah bertanya lagi, “Buat apa tanam pohon pisang?” Kabayan menjawab, “Buat dimakan buahnya!” Lalu, Ki Silah masih bertanya lagi, “Buat apa makan buahnya?” Dijawab, “Buat dapat tenaga.” Bertanya lagi, ia: “Buat apa tenaga?” Kata Kabayan, “Buat gali lobang.”

Dari pelbagai pertanyaan Ki Silah, yang pada awalnya menanyakan: “…buat apa kamu gali lobang?”, dan Kabayan menjawabnya dengan pelbagai alasan, yang dapat diterima akal sehat orang (awam), dan pertanyaan akhir Ki Silah, “Buat apa tenaga?”, ‘diakhiri’ dengan jawaban Kabayan, “Buat gali lobang”, sehingga sama seperti pada awal pertanyaan Ki Silah, ditafsirkan bahwa hidup di dunia adalah membosankan. Manusia terperangkap dalam rutinitas duniawinya semata, yakni bekerja. Dimana, jika merujuk pada alur cerita tersebut, bekerja untuk apa? Supaya dapat makan. Untuk apa makan tiap hari? Untuk dapat bekerja. Jadi, hidup manusia itu berkisar antara makan dan bekerja mencari makan. Dan, manusia mati kalau sudah tidak dapat makan (hal. 25).

Tafsir kedua adalah manusia tidak hanya hidup dari makan “pisang”, tapi juga yang lain seperti beras, roti, sayuran, lauk pauk yang lezat. Sebab, hidup demikian sama seperti hidup hewan, yang memang hanya seputar makan agar tetap hidup, dan tetap hidup agar dapat makan. Maka, manusia bukan manusia kalau jawaban hidupnya seperti Si Kabayan. Manusia memerlukan “makanan” lain yang lebih bermakna, makanan rohani. manusia membutuhkan spiritualitas yang tidak harus ditanam. Spiritualitas memerlukan pencerahan meskipun dengan “penggalian” pula (hal. 25).

Paradoks Pikiran

Dikatakan paradoks pikiran, karena dalam cerita-cerita Si Kabayan menyuguhkan percakapan mengarah antara realitas faktual-material. Realitas ini terindera karena memang berada nyata dalam ruang dan waktu manusia. Realitas faktual adalah tunggal adanya. Semua orang bisa melihat, menghayati, mengalami realitas faktual. Perbuatan dan bendanya nyata untuk semua orang. Namun, perbuatan dan benda yang sama itu dapat menimbulkan realitas yang berbeda-beda untuk tiap manusia. Dipandang secara subyektif, yakni realitas kesadaran atau realitas pikiran, benda atau perbuatan yang sama dapat menimbulkan banyak realitas. Dari sudut ini, realitas itu plural (hal. 49).

Dan, cerita Si Kabayan Harus Memilih berikut ini merupakan salah satu cerita yang merepresentasikan adanya kandungan paradoks pikiran. Cerita berawal ketika Kabayan diberi kesempatan untuk memilih uang atau otak, ia jawab, “Dua-duanya”. Namun, jawaban tersebut tidak diperkenankan, sebab harus memilih salah satu. Maka, Kabayan memilih “otak”. Lalu, ia ditanya, “Kenapa otak?” Kabayan menjawab begini, “Karena uang tidak bisa mendatangkan otak, tetapi otak bisa mendatangkan uang.”

Cerita di atas telah jelas bahwa dengan otak atau pikiran, maka ia akan mendatangkan materi (uang). Sedangkan, uang (materi) belum tentu bahkan tidak bisa mendatangkan otak (pikiran). Tafsir yang lebih luas dan mendalam, otak atau pikiran manusia adalah penghubung atau penyatu hidup batin dengan perbuatan manusianya. Pikiran yang akan menentukan bahagia dan deritanya manusia, kaya dan miskinnya manusia, baik dan jahatnya manusia, kalau ketiganya merupakan kesatuan sebab akibat yang otentik. Keinginan baik, pikiran baik, hasil perbuatannya itu baik. Keinginan jahat, pikiran jahat, hasil perbuatannya tentu jahat. Keinginan menjadi kenyataan. Jadi, cerita di atas membalik hukum kausalitas, bahwa kenyataan banyak uang tidak mungkin menyebabkan pikiran menjadi cerdas. Yang terjadi justru sebaliknya (hal. 64).

Paradoks Perbuatan

Dalam cerita-cerita Si Kabayan, perbuatan baik dan perbuatan jahat, perbuatan benar dan perbuatan sesat, dipermasalahkan. Apakah Kabayan itu orang benar atau atau orang sesat? Orang baik atau orang jahat? Apakah perbuatan-perbuatan Si kabayan dalam cerita-cerita ini termasuk jahat dan sesat? Oleh Jakob Sumardjo, itulah masalah yang disodorkan dalam cerita-cerita Si Kabayan kepada kita (pembaca).

Kejahatan dan kesesatan itu masalah perbuatan, tingkah laku yang melibatkan orang-orang lain, maka adakah hubungannya dengan pikiran benar dan pikiran sesat? Dapatkah perbuatan tidak benar itu dibenarkan oleh pikiran. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah, pembaca dapat mengetahui lewat cerita-cerita Si Kabayan, salah satunya direpresentasikan dalam cerita Si Kabayan Mencuri Tuak berikut ini: Si Kabayan memanjat pohon enau untuk mencuri tuaknya. Yang empunya memergokinya. Si Kabayan segera menengok ke bawah dan berseru, “Kang, Kakang tahu, ini apakah jalan ke surga?”

Di sini, dijelaskan bahwa Kabayan sebagai orang baik mencoba berbuat jahat. Si Kabayan sebagai pendusta yang bodoh menyatakan dirinya mau pergi ke surga. Padahal perbuatan mencurinya, hukumannya neraka. Paradoks Si Kabayan ini cermin dari paradoks dalam dirinya. Ia berbuat jahat, tetapi pikirannya mau ke surga. Atau ia berbuat baik, tetapi pikirannya masih pantas dihukum di neraka. Ini paradoks pikiran seorang sufi. Orang lain menilainya baik, namun dirinya menilai bukan perbuatan baik sama sekali. Kebaikan masih tetap jauh meskipun ia berbuat baik.

Lebih lanjut,  cerita tersebut membawa arketip pemikiran Sunda. Pohon enau banyak dijumpai di situs-situs kabuyutan di Jawa Barat. Pohon tersebut termasuk medium manusia berhubungan dengan ‘Dunia Atas’. Dengan demikian, pertanyaan Si Kabayan apakah pohon enau itu jalan ke surga adalah pikiran kolektif masyarakatnya (hal. 78).

Paradoks Nafsu

Setelah pikiran dan perbuatan, yang merupakan kesadaran manusia, nafsu atau kehendak manusia merupakan persoalan bawah sadar yang menjadi hambatan untuk mencapai pesatuan dengan Tuhan. Instrumen manusia ada tiga yang menentukan perbuatannya, yaitu cipta, rasa, dan karsa. manusia memiliki pikiran, perasaan, dan kehendak atau nafsu-nafsunya. Perbuatan manusia menjadi benar atau sesat, baik atau jahat, adalah hasil manajemen instrumen-instrumen dirinya itu. Perkara ini  telah dipahami betul oleh orang-orang terdekat yang mencari Tuhan (hal. 95). Dan, pembaca akan mengetahui cerita Si Kabayan yang mempersoalkan nafsu manusia itu lewat salah satu cerita berjudul Si Kabayan Batal Sembahyang.

Cerita tersebut bermula ketika Si Kabayan hendak melakukan sembahyang maghrib di atas sebuah batu besar di pinggir kali. Namun, baru saja ia mau mulai, lewatlah Nyi Asmi, seorang janda muda, masih cantik. Kabayan yang mau sembahyang dan sudah mengucapkan penggalan niat dalam bahasa Arab “ussali”, tak tahan nafsunya ingin menegur si janda. Lalu, ia berkata: “Ussali fardu Magrib bi bi, bibi! Bibi!” Nyi Asmi menoleh dan berkata: “Kabayan batal sembahyangmu itu, panggil-panggil bibi lagi sembahyang. Lagi pula aku bukan bibimu.”

Dari cerita itu, Jakob Sumardjo menafsirkan sekaligus menunjukkan pada kita (pembaca) bahwa Si Kabayan itu, cerminan diri kita pula. Apabila orang sedang mulai masuk ke hadirat Tuhan, maka pikiran atau imajinasi kita bukannya kepada Tuhan, tetapi sering menyeleweng secara tak sadar ke arah seksualitas.

Dalam banyak cerita-cerita lama di dunia, gangguan terbesar untuk mencapai alam rohaniah adalah seksualitas. Contohnya, Arjuna yang sedang bertapa di hutan, digoda oleh tujuh bidadari cantik, Buddha juga digoda oleh perempuan-perempuan cantik agar batal mencapai pencerahannya. Orang-orang suci di Abad Pertengahan Eropa juga banyak mengalami godaan seksualitas lewat perempuan (hal. 96).

Nafsu seks, eros, adalah daya-daya hidup pada manusia yang berlawanan dengan nafsu tanatos atau kematian, sekurang-kurangnya menurut ilmu jiwa Freudian. Nafsu cinta-erotik adalah yang paling siap bangkit oleh rangsangan luar atau justru dari pikirannya sendiri. Di kala manusia sendirian, ia akan kesepian, dan yang pertama muncul adalah melenyapkan kesepiannya dengan bayangan lawan jenisnya. Itulah, sebabnya nenek moyang Indonesia melarang pasangan sendirian, akan ada setan lewat (hal. 97).

Kabayan, dalam cerita ini memainkan diri sebagai lelaki universal. Dan sebagai lelaki Indonesia, ia lekas berpikiran negatif terhadap janda muda—yang dalam mitos baru Indonesia, janda muda itu, seolah-olah haus seks lantaran lama ditinggal mati suaminya. Dengan demikian mudah dijadikan sasaran nafsu syahwat para lelaki iseng. Tidak mengherankan, dan masuk akal pikiran orang Indonesia, bahwa Si Kabayan tak mampu menahan hasrat seksualnya begitu melihat janda muda lewat, meskipun ia lagi sembahyang Maghrib (hal. 97). Inilah, representasi sajian dan kandungan dalam cerita Si Kabayan, yang dimasukkan Jakob Sumardjo ke dalam paradoks nafsu.

Jadi, dari cerita-cerita Si Kabayan yang ditafsirkan, lalu hasilnya telah dikelompokkan oleh Jakob Sumardjo dalam buku ini, pada dasarnya, selain memberikan pengertian pada pembaca bahwa cerita-cerita Si Kabayan memiliki nilai kearifan lokal, pesan cerita yang universal, dan dijelaskan pula bahwa pengarang cerita Si Kabayan termasuk golongan orang terpelajar, yang mengenal ilmu logika, buku ini mengajak pembaca  untuk tidak hanya berhenti di tingkat tarekat, tetapi juga memasuki tingkat hakikat. Ini berlaku pada pembaca saat membaca cerita rakyat lainnya. Demikian.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan