ngaji-di-pondok-pesantren

Cerita Tersembunyi di Balik Pesantren

Perempuan paruh baya itu menatapku lekat. Aku pun tak mau kalah, melihatnya pekat. Kendati saling menatap, tetap saja Mamak berdecak pinggang di pintu kamar. Sosoknya yang amat keras, terwakili dari guratan urat di leher hitam legamnya itu.

“Aku tak mau menyantri, Mak. Tak bisakah Mamak paham kali ini saja?” untuk kesekian kali, kukatakan hal serupa. Namun, Mamak tetaplah Mamak. Teguh berdiri serupa karang dihempas gelombang. Tak bergoyang.

“Ini demi kebaikanmu, Sari. Demi kebaikan dunia akhirat.”

“Ah, Mamak ini. Aku bisa mengaji ke Wak Dar. Tak perlu ke pesantren apalagi sampai ke Madura. Tak lihatkah Mamak aku dapat beasiswa karena marching band? Mamak tak perlu susah payah bayar SPP.”

“Pesantren itu beda, Sari. Kamu bakal punya teman dari berbagai tempat, juga pengalaman yang tak didapat di luar.”

“Pengalaman berharga sebab Mamak malu punya anak macam aku ini. Makanya, Mamak membuangku ke pesantren.”

“Astaga, Sari. Kamu itu merantau. Belajar. Bukan dibuang. Kalau egois, aku tak bakalan rida menyuruhmu pergi. Apalagi uwakmu baru meninggal.”

Tak kujawab ucapan Mamak, apalagi dia menyebut nama Uwa’. Aku tak mau membawa nama orang yang sudah meninggal, apalagi bapakku sendiri.

“Andai kamu tahu, Sari. Aku tak pernah malu memiliki anak sepertimu. Benar kamu piawai main marching band. Kawan-kawanmu kebanyakan lelaki, tetapi Mamak tak malu. Mamak tak pernah malu apalagi kamu dapat beasiswa. Tetapi, Mamak malu, Sari. Malu kalau kamu tak pandai mengaji. Apa yang bakal Mamak pertanggungjawabkan pada Lah Ta’ala saat mati, kalau kamu tak salat, dan tak bisa mengaji?”

Kuakui, ucapan Mamak yang terakhir memang benar. Selain kurang cakap mengaji, salat pun saat aku ingin salat saja. Bukan sebab aku pemain marching band sehingga lalai akan kewajiban. Nyatanya, si Ra’is, kawanku sesama pemain snare drum, taat sembahyang. Hanya saja, aku ingin mengenal Tuhan dengan cara lain. Bukan merantau apalagi menjadi seorang santri.

“Selain ilmu dan agama, apalagi yang bisa aku wariskan untukmu? Mamak bukan anak pejabat apalagi cucu konglomerat.”

***

Pesantren yang kutuju, berada di tepi timur pulau Jawa. Perjalanan yang kutempuh, memakan waktu empat puluh jam lebih menggunakan kapal laut hanya dari Bontang menuju Tanjung Perak, Surabaya. Aku tak tahu, mengapa Mamak memilih pesantren yang jauh ini. Padahal di Kalimantan juga banyak pesantren. Tapi aku tak mau tahu. Biarlah Mamak bahagia meski sekali, dan aku bakal menderita berhari-hari.

Benar saja. Baru dua hari menjadi santri baru, aku sudah disodorkan kosakata bahasa Arab. Sekaligus pelajaran menyambung huruf Arab. Astaga, kalau aku tak ingat tangisan Mamak saat meninggalkanku di pondok, sedari semalam aku kabur. Toh, pesantren ini berada di tepi jalan raya lintas provinsi. Tinggal menyelinap dan menyetop bus, hilanglah jejakku.

Tetapi, bayangan Mamak yang tersedu-sedu, seakan-akan aku mau menyusul Uwa’ pergi, membuatku gamang meninggalkan pesantren. Bayangkan, Kawan. Aku tak bisa menyambung huruf Arab. Aku tak paham pelajaran ini. Tak perlu jauh-jauh, sekadar doa saja, aku hanya hafal doa sebelum makan. Sisanya, nol besar.

Memang aku lancar mengucap basmallah dan hamdalah, tapi aku tak bisa menulisnya dalam huruf Arab. Jadilah aku menjadi murid terbodoh di kelas. Apalagi, sebagian kawanku lulusan Madrasah Tsanawiyah. Sudah terbiasa melihat huruf-huruf hijaiyah dipreteli satu per satu, dan si ustazah menyuruh menyambungnya menjadi kalimat. Dan aku, berhasil menyambung seluruh huruf, tanpa spasi dan harakat.

“Bersabarlah, Sar. Suatu hari nanti, kamu bakal merasakan manisnya perjuanganmu sekarang ini.”

“Ai, Mamak ini. Aku menjadi murid terbodoh, Mak. Paling bodoh. Tak kuat aku di sini. Banyak hafalan. Banyak setoran pula. Kepalaku terasa mau meledak. Pokoknya aku mau berhenti. Tak mau aku dipenjara begini.”

“Tabahlah, Sar. Mamak bakal puasa demi ujianmu. Bertahanlah di sana.”

Gagang telepon kututup. Keinginan minta berhenti tak direstui. Jadilah cepat-cepat kubayar tarif telepon ke penjaga wartel, dan cepat-cepat pula aku duduk di teras depan. Sejenak, aku memikirkan nasib yang rasanya kian buram. Kian kelam.

Jika diperhatikan seksama, bangunan di pesantren ini membuatku takjub. Dalam bayanganku sebelum menyantri, lembaga pendidikan yang kutuju pasti kumuh. Selalu mengaji kitab kuning tanpa pengetahuan umum. Kolot dan ketinggalan zaman. Nyatanya, dugaanku salah kaprah. Di sini, mulai dari supermarket sampai warnet sudah tersedia. Untuk informasi, setiap hari koran dipajang di samping musola. Taman juga ada. Lengkap bin nikmat. Hanya saja, aku tak menemukan kenikmatan menyantri. Berhari-hari aku tersiksa dengan semua rutinitas baru ini. Ah, entahlah. Sepertinya, Tuhan sedang bercanda denganku. sepertinya, Ia mau aku menekuni dunia yang sama sekali tak terlintas di benakku.

“Boleh minta tolong?” pinta Fafa usai penjelajahan alam. “Kakakku ngirim paketan. Tak kuat aku bawa sendiri.”

Aku cekikikan mendengar kepolosan Fafa. Usai menemui petugas di kantor, kami berjalan beriringan sambil menenteng kardus besar. Sepertinya, kardus ini bekas bungkus kulkas. Berat dan perlu bersusah payah menuju kamar. Sialnya, kamar kami berada di lantai dua. Jadilah kardus ini diseret agar cepat sampai. Setibanya di kamar,  kawan yang lain segera mengerumuni Fafa. Begitulah kami di sini. Siapapun yang dimudifah atau sekadar mendapat hiwalah, bakal memperoleh jatah.

“Kamu yang buka, Sar,” ucap Fafa mengagetkan.

“Ai, ini punyamu. Masak aku?”

“Tak apa. Ini,” Fafa menyodorkan gunting. Aku tak bisa menutupi raut muka bahagia. Cepat-cepat aku gunting tali serta isolasi. Dan semua anak di kamar, takjub melihat isi kardus. Selain beragam makanan yang super banyak, juga buku-buku bagus yang membuatku ingin cepat-cepat meminjam. Ada Hitler Mati di Indonesia, Laksamana Cheng Ho, dan lainnya.

“Baca saja. Nanti kita gantian.”

Benar kata Mamak. Di pesantren, aku tak hanya menemukan teman, tapi juga saudara. Fafa buktinya. Buku yang masih bersampul plastik itu, diserahkan padaku agar dibaca. Padahal dia belum menyentuhnya.

Sayangnya, kebahagiaan ini tak berlangsung lama. Seorang ustazah berwajah muram datang ke kamar. Menemui Fafa sambil bicara pelan-pelan. Fafa pun langsung menuju lemari dengan mata berair. Berkali-kali mengusap tangisannya sambil mengemasi pakaian. Kata si ustazah, abah Fafa meninggal dunia. Lengkaplah penderitaan sahabatku ini. Sang ibu sudah terlebih dulu pergi saat Fafa masih bayi, dan sekarang giliran abahnya yang meninggal.

Duh, Ilahi. Seandainya aku yang menjadi Fafa, barangkali aku memilih berhenti. Tetapi tekad berkata lain. Sahabatku ini kembali ke pondok demi mengikuti ujian kenaikan kelas. Dia tetap ingin menyantri kendati kehilangan sosok yang begitu berharga.

Aku dan kawan-kawan yang lain, saling merentangkan tangan demi persahabatan. Kami sadar, kalau bukan kawan sendiri, siapa lagi yang bisa merangkul. Keluarga jauh di seberang, sedang kami sama-sama merantau. Biarlah takdir yang digariskan pada Fafa, menjadi lembaran dalam hidupnya. Setidaknya, kami berusaha menjadi kawan dan keluarga. Setidaknya pula, inilah salah satu cerita yang ada di pesantren.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan