kumcer-as-laksana

Cerpen dan Eksplorasi “Kematian” AS Laksana

Oleh Arif Saifudin Yudistira

Kekuatan penulis cerita pendek bukan hanya terletak pada teknik, tetapi juga pada ide cerita dan kemampuan penulis untuk mengolah tokohnya menjadi hidup. Saya kira kemampuan itulah yang ada pada AS Laksana dalam kumcernya di buku ini. AS Laksana mengolah tema-tema kemanusiaan dan hubungan antar manusia ke dalam cerita yang kompleks tapi membuat pembaca nyaman. Di cerpen pembuka ia menampilkan bagaimana pelik dan rumitnya perpisahan. Ia mengisahkan bagaimana tokoh di dalam ceritanya harus berhadapan dengan percek-cokan rumah tangga. Dalam cerita berjudul Dijual: Rumah Dua Lantai Beserta Seluruh Kenangan di Dalamnya, pengarang mahfum mengisahkan perceraian bukan sekadar perpisahan antara anak, isteri, ia justru menyoal urusan kenangan. Kenangan itulah yang membuat kedua pasangan ini harus merelakan tak hanya ikatan perkawinan tetapi juga ikatan batin dan kebersamaan yang telah mereka alami.

Di cerita-cerita AS Laksana, kita juga akan menikmati bagaimana setting cerita dan ilustrasi dalam cerpennya begitu subtil. Dengan penggambaran setting dan ilustrasi yang subtil itulah, kita menjadi asyik dan khusyuk membaca ceritanya. Misal saja di cerpen penutup yang berjudul Perpisahan Baik-Baik. Melalui cerpen ini kita bisa melihat ilustrasi tokoh yang sedang konflik, dan percakapan sepasang kekasih yang akan berpisah. Di sela-sela percakapan itulah, penulis mengajak kita untuk mengingat pengalaman pahit si tokoh yang akhirnya mengakibatkan mereka harus berpisah. Kita bisa mengutip kalimat pendek di akhir cerita itu : “Aku turun dan memberinya lambaian tangan. Kami menyelesaikan tujuh tahun cinta kami hanya dengan lambaian tangan. Aku bahkan lupa untuk sekadar berbasa-basi menawarinya mampir dulu. Ia melanjutkan jalan. Aku masuk ke dalam rumah dengan kepala rusuh, dengan kenyataan bahwa hubungan kami berakhir baik-baik (h.133).

Pengarang mencoba menampik anggapan masyarakat bahwa perpisahan selalu memunculkan masalah dan jalan panjang yang menyakitkan. Disini, pengarang mencoba untuk menangkap sisi yang dianggap musykil bagi kita.

Kematian

Di buku kumpulan cerpen ini, kalau kita baca keseluruhan ceritanya, kita akan menemukan tema pelik yang hampir ada di setiap cerita yakni tema kematian. Pengarang mengajak kita menangkap sisi kematian menjadi sesuatu yang unik dan menghibur. Pada cerita Si Janggut Mengencingi Herucakra misalnya, semula pembaca dibuat agak bingung dengan cara pengarang mengajak pembaca menyusuri tokoh dan pengalaman-pengalamannya, tetapi di akhir cerita kita akan tahu bagaimana kenangan dan kematian diolah menjadi cerita yang memikat. “Tapi jangan pecaya omongan orang” katanya. “Trinil tidak mungkin menjadi hantu. Ia gadis yang baik dan Tuhan mengizinkannya memilih sendiri hari kematiannya. Maka ia memutuskan 26 April dan ia sudah melingkari itu jauh sebelum hari kematiannya” (h.24).

Di cerita lain bertajuk Tentang Maulana dan Upaya Memperindah Purnama, kita akan menemukan bagaimana Ayah, dan anak membuat ritual khusus untuk mengingat ibunya dengan melihat purnama. Sang Ayah harus membuat cara dan upaya agar ia bisa menghidupkan sosok ibu di mata anaknya yang masih belia. Maulana merawat cintanya dan menghidupkan sosok isterinya melalui momen bulan purnama. Pada cerita ini, kita melihat kematian kemudian menghidupkan ritual dan kisah keluarga yang sentimentil.

Tema-tema kematian akan bisa kita dapati di cerita Orang Ketiga di Malam Hari, Rashida Chairani. Di cerita Orang Ketiga di Malam Hari,  kita diajak menikmati kesialan si tokoh yang harus menghadapi istrinya sendiri yang membayangkan orang yang sudah mati. Pada akhirnya si tokoh merasa tidak tahan dan ingin pisah ketika mimpi istrinya benar-benar membuatnya tak berdaya. Yang menarik di cerpen Rashida Charani, kita diajak untuk menyimak kisah dan ketabahan ibu yang harus membesarkan anaknya dengan penuh ketabahan karena kasus perkosaan. Sang ibu lebih kecewa tatkala anaknya perempuan. Tetapi si ibu tetap selalu berpesan kepada anaknya bahwa ia harus membuat perhitungan kepada mereka yang memperkosanya. Di usianya yang tiga belas tahun, Rashida harus menghadapi kenyataan ibunya meninggal dan belum sempat mengatakan apa yang harus Rahida lakukan untuk membalaskan dendam ibunya.

Di cerita lainnya yang berjudul Alit dan Nita dan Kencan Yang Mematikan, kita akan menemukan bagaimana jatuh cinta bisa membuat orang melakukan bunuh diri yang mengerikan. Saat itulah kisah Alit yang ternyata juga Syekh yang membakar diri bersama pengikutnya membuat Nita terkejut saat mendengar kematiannya. Nita tak merasa bersalah tatkala si Alit harus mati karena penolakan cintanya. Di buku kumcernya kali ini, pengarang telah membuat tema kematian menjadi cerita yang mengabadikan kenangan, dendam, dan juga nasib sial si tokoh yang secara riil kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari. Tema kematian ternyata mampu membuat cerita-cerita di kumcer ini menjadi lebih hidup.

Bila di kumpulan cerpen sebelumnya Murjangkung cinta yang dungu dan hantu-hantu (2013) pengarang dianggap meramu dongeng dan cerita yang intim dengan kelakar dan tragisme, maka di kumcernya Si Janggut Mengencingi Herucakra (2015), kita akan melihat tema kematian begitu dominan dalam sebagian besar ceritanya. Pengarang mahfum menggarap tema kematian menjadi tema yang humanis meski tragis.

*)Penyair, Pegiat di Bilik Literasi Solo, buku puisinya Hujan Di tepian Tubuh (2012)

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan