corat-coret-di-toilet

Corat Coret di Toilet

Saya mencoba membaca buku ini diawali rasa frustasi. Frustasi karena tak pernah bisa menulis cerpen. “Saya butuh contoh,” begitu tekad saya. Akhirnya, demi keinginan, tekad yang bulat, dan semangat juang 45, kumpulan cerpen Eka Kurniawan ini menjadi bahan pelajaran. Hanya sekali duduk, dua belas cerpen yang disuguhkannya berhasil menyisakan senyum yang segar di wajah yang berminyak.

Sejak lahirnya genre realisme sosial, sastra tidak lagi hanya sebatas ekspresi seni. Sastra kini mengambil peran yang lain, seperti kata Gorky, menceritakan sejarahnya. Demikianlah kumpulan cerpen Eka Kurniawan “Corat – Coret di Toilet” ini hadir.

Lewat kumpulan cerpen ini, Eka Kurniawan mengajak kita untuk menoleh lagi pada sejarah. Disajikan dengan cara yang sinis, satir, dan penuh humor, Eka Kurniawan berhasil menghadirkan ingatan tentang peristiwa masa silam. Dia berhasil menyajikan drama kecil kemanusiaan menjadi sebuah problem sosial. Lewat sudut pandangnya, persoalan-persoalan politik, tradisi, sejarah, dan kemanusiaan dikemas begitu singkat, padat, sekaligus tajam.

Tema paling dominan dari kumpulan cerpen ini adalah kemanusiaan, khususnya kritik terhadapnya. Lewat cerpen pembuka misalnya, “Peter Pan”, berbicara tentang politik. Cerpen itu berhasil mengkritik kegagalan reformasi 98. Perjuangan itu, akhirnya, hanya berhasil mengganti diktator tanpa perubahan yang berarti. “Kami mengangkat penguasa yang baru, tapi ia tak pernah dapat menyentuh kejahatan sang diktator,” demikian kata Tuan Puteri sambil meratapi Peter Pan, kekasihnya, yang “hilang”.

Cerpen “Corat-Coret di Toilet” juga tak kalah pedas. Toilet digambarkan sebagai tempat kebebasan bersuara. Masyarakat dari kelas mana pun, bebas berbicara di toilet. Perbedaan pandangan politik disampaikan lewat coretan di dinding toilet. Namun, dibalik semua perbedaan pandangan politik itu, setidaknya memiliki kesamaan. “Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet,” begitu dinding toilet itu berteriak, sambil disambung ratusan orang yang lainnya, “Aku juga.”

Ada juga cerita tentang kejamnya perang. Hanya tentara yang bisa bernyanyi sumbang di tengah kecamuk perang. Selebihnya, mahluk tak berdosa yang menderita. Bahkan, orang gila (yang tak lagi punya kesadaran) bisa mati akibat perang yang tak akan pernah bisa dimengertinya. Eka Kurniawan bertutur lewat cerpennya, “Hikayat si Orang Gilang”.

Kisah ironis tentang perang juga hadir lewat “Rayuan Dusta Untuk Marietje” dan “Siapa Kirim Aku Bunga?” Perang dan penjajahan hanya akan membuat rasa haus manusia pada cinta menjadi tak terpuaskan. Perang hanya akan menghadirkan derita. Siapa pun tak akan pernah bisa bahagia karena perang.

Lewat caranya yang cerdik, Eka Kurniawan juga bicara tentang feminisme. “Pemujaan” terhadap keperawanan dan anggapan bahwa perempuan adalah mahluk lemah yang harus terus dijaga, hadir lewat cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” dan “Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam”. Keduanya mengambil perspektif dari perempuan yang dicurangi oleh tradisi patriarkis. Tradisi patriarkis memaksa perempuan tak bisa tumbuh jadi manusia mandiri. Mereka terpasung oleh tradisi, adat, norma, dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Gaya menulis Eka Kurniawan dalam kumpulan cerpen ini sangat menggelitik dan jauh dari kesan dramatisasi. Kalimatnya sederhana dan mudah dicerna. Alurnya pun mudah diikuti. Ciri khas novel Eka Kurniawan yang sering menggunakan alur maju-mundur, hampir tidak ditemukan dikumpulan cerpen ini.

Setiap membaca cerpennya, saya dipaksa untuk tidak sabar mengetahui akhirnya karena pasti akan penuh kejutan. Eka tampaknya berhasil menyajikan akhir cerita yang tak mudah ditebak. Ibarat menonton film, kumpulan cerpen ini bisa disebut bergenre twist. Kejutan akan terlihat justru diakhir cerita.

Salah satu kelemahan kumpulan cerpen ini adalah kurang kreatifnya Eka Kurniawan menamai tokoh-tokohnya. Beberapa nama tokoh dalam kumpulan cerpen, ini bisa dikatakan, “dicuplik” dari novelnya yang lain. Sebut saja misalnya nama Edi Idiot dalam cerpen “Kandang Babi” adalah nama preman dalam novel “Cantik Itu Luka”. Ada juga nama Alamanda dalam “Dongeng Sebelum Bercinta” juga nama yang sama dalam novel “Cantik Itu Luka” sebagai anak putri dari Dewi Ayu.

Ada juga pengulangan ide. Misalnya tentang Alamanda. Alamanda dalam cerpen “Dongeng Sebelum Bercinta” menikah dengan laki-laki yang tak dicintainya. Demikian juga dalam novel “Cantik Itu Luka”, Alamanda menikah dengan Sang Shodanco yang juga tak dicintainya. Ide yang berulang adalah cara Alamanda menolak untuk bercinta dengan suami yang tak dicintainya adalah (sama-sama) dengan cara berdongeng. Dongeng yang tak akan pernah bisa habis.

Cerpen yang paling menarik menurut kriteria saya adalah “Kisah Dari Seorang Kawan”. Alasannya cerpen ini berhasil memberitahu kita bagaimana cara kerja kapitalisme. Jauh dari kesan teoritis, cerpen ini berhasil menunjukkan ironi yang dihadirkan kapitalisme itu sendiri. Cerpen ini bercerita bahwa pemujaan terhadap modal hanya akan melahir penindasan, ketidakadilan, dan kekerasan terhadap sesama manusia.

Buku ini menarik. Cerita yang disajikannya dekat dekat dengan keseharian kita. Pesannya pun kuat. Penulisannya tidak bertele-tele. Ada juga nada perlawanan didalamnya. seperti motivasi saya dari awal, kumpulan cerpen ini, sepertinya, bisa menjadi contoh bagaimana cara menyajikan cerpen dengan cara yang sederhana sekaligus menarik.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan