jalan-raya-daendels

Daendels dan Kisah Sebuah Jalan

Ia seorang pengagum Napoleon, ia bayangkan dirinya sebagai Napoleon kecil. Pernah pada suatu masa, ia malah melakukan cuop terhadap negaranya sendiri, hingga berulangkali gagal. Ia seorang penganut liberte, egalite, fraternite namun perilakunya nampak seperti sebaliknya. Tokoh yang dikagumi, sekaligus dicaci, ia kontroversial.

Dikenal sebagai perombak tata hukum indonesia, tapi ia pelanggar nomor wahid melalui pembunuhan langsung maupun tak langsung. Sebagaimana cerita tentang kehebatan Raffless, yang menutupi keburukannya, kisah Daendels pun seperti itu pula. Ia lebih nampak diceritakan di buku sejarah di sekolah sebagai pembangun jalan paling panjang di Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan. Cerita kolonialisme memang seperti berselimut kabut, agak lama memang untuk melihat yang terang itu, sebelum kabut menghilang rasanya kita belum bisa melihat dengan terang fakta sebenarnya.

Cerita atau sejarah di negeri ini sering membuka diri bukan dari buku pelajaran, tapi dari buku yang lain, salah satunya buku sastra. Saya jadi ingat komentar Pramoedya Ananta Toer ketika diwawancarai oleh Yayasan Lontar dalam film dokumenter ia mengatakan : kalau saya bilang pengarang itu, avant-grade, bukan penghibur. Seorang avant-grade, selamanya berada dalam keadaan berontak terhadap segala sesuatu yang mengurangi harga manusia, yang menindas, yang tidak adil dan melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya, kalau takut?, jangan jadi pengarang.

Sayang, tak semua pengarang seperti Pram. Pram, boleh dibilang menulis dari apa yang dilihat, diresapi, diresahkannya. Ia sendiri memegang prinsip anti penindasan, dan membela kemanusiaan. Dari itulah saya merasa, panggilan untuk menulis sebuah cerita, atau roman bertajuk Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005), merupakan panggilan untuk menulis yang ia lihat, yang ia resahkan. Berbekal buku-buku bacaan, dan laku menelusuri Jalan Raya Pos, ia mengisahkan pelan-pelan latar belakang dan bagaimana jalan raya pos dibangun. Apa yang dilakukan Pram dengan menulis kisah jalan ini seolah membuka mata kita kembali tentang betapa buruk dan bobroknya kolonialisme.

Daendels diangkat di tahun 1808 menjadi gubernur Hindia Belanda pada masa itu. Ia diangkat oleh Louis Napoleon, tugasnya untuk menyelamatkan Jawa, satu-satunya pulau yang belum dikuasai Inggris. Daendels dianggap sebagai orang paling tepat karena sikapnya yang tak kenal kompromi dan dianggap cocok untuk melakukan perombakan-perombakan sesuai dengan yang dihasilkan oleh Revolusi Prancis. Ia diharapkan memerangi penyalahgunaan kekuasaan, membenahi perdagangan, dan pertanian. Untuk menjalankan tugas utamanya yakni mempertahankan benteng kekuasaan terakhir kekuasaan Belanda di Hindia Belanda dari serangan Inggris, ia mendirikan benteng-benteng.

Mula-mula ia mendirikan benteng di Teluk Panaitan di Ujung Kulon. Tenaga kerja diperintahkan pada Sultan Banten untuk memasok. Para tenaga kerja itu pun akhirnya mati, dari kulit putih juga sama. Mereka mati karena kelaparan, kelelahan. Sultan Banten pun menolak, hingga diturunkan dari tahta dan membunuh patih serta merampas sebagian wilayah kesultanan. Sultan baru pun tak mampu memenuhi pasokan tenaga kerja yang diminta, hingga akhirnya muncullah pemberontakan, namun berhasil ia padamkan dengan bengis.

Pram mengajukan cara pandang berbeda tentang riwayat sebuah jalan. Ia ingin mengatakan, bahwa pembangunan Jalan Raya Pos, Jalan Daendels adalah genosida. Ada pembunuhan besar-besaran yang terjadi disana, akibat dari kerja paksa membangun jalan yang terbagus kala itu di zamannya. Pembuatan jalan pos tidak jarang melewati daerah yang sangat berat ditembus. Di Jawa Barat, di daerah Ciherang, Sumedang, yang kemudian terkenal dengan nama Cadas Pangeran, para pekerja rodi harus menetak pegunungan dengan peralatan sederhana seperti kapak dan lain-lain. Untuk berhasilnya proyek pembangunan jalannya, Daendels tidak bergembing melihat ribuan jiwa Pribumi melayang. Sekali lagi laporan orang Inggris pada 1815 itu : seluruh Jalan Raya Pos itu kurban tewas diperkirakan sejumlah 12.000 orang. Jadi Marsekal Gubernur Jenderal itu meneruskan genosida tak langsung itu. Demi pembangunan, dan yang tewas tidak pernah melihat, jangankan menikmati hasil cucuran keringatnya sendiri (h.71).

jalan-raya-daendels

Judul buku : Jalan Raya Pos, Jalan Daendels
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Lentera Dipantara
Tahun: 2005
Halaman: 148 Halaman
ISBN: 979-97322-8-3

Jangankan digaji, mereka justru mengorbankan nyawa mereka untuk menuruti hasrat dan nafsu Daendels membuat jalan terpanjang di Pulau Jawa di masa itu. Ada ajakan untuk mengingat bahwa dari jalan itu, kita diajak untuk mengingat ada monumen atau cerita tentang derasnya darah serta keringat yang mengalir dari para pribumi di masa lampau. Barangkali jalan itu sudah berbeda dari dulu, lebih halus dan lebih baik, meski begitu, rintisan jalan itu dibuat dengan pengorbanan di masa itu. Bila dilihat dari satelit, jalan raya pos terbentang dari ujung jakarta, hingga mencapai ujung jawa timur.

Cerita Pram seperti jadi monumen atau prasasti itu, meski kita tahu, sampai sekarang bahkan belum ada nama-nama siapa yang menjadi korban akibat kerja paksa membuat Jalan Raya Pos yang menjadi cikal bakal jalan trans-jawa itu. Hingga akhirnya Pram pun seperti menyimpulkan dengan kalimat pendek : Indonesia adalah negeri budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa lain.

Di balik populernya Daendels serta keberhasilannya membuat jalan trans jawa di masa itu, serta di balik pembangunan jalan serta perbaikannya dari tahun ke tahun, ada cerita tentang pembunuhan besar-besaran, ada darah dan air mata yang terkubur di dalamnya. Dan kita tahu, sejarah, juga menyimpan kepedihan, sisi kelam yang tak bisa kita lupakan dan selamatkan.

*) Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan