kumpulan-cerpen-achmad-munjid

Di Antara Yang Biografis dan Yang Fiktif: Tinjauan Atas Kumpulan Cerpen Negeri di Balik Bulan

Berita Buku – Adalah sebuah buku yang mengusik pikiran saya. Buku setebal dua ratus halaman lebih sedikit itu adalah kumpulan cerpen berjudul Negeri di Balik Bulan yang terbit pada tahun 2015 ini. Buku kumpulan cerpen itu karya Achmad Munjid, seorang dosen di Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Tentu saja, Munjid seorang akademisi dan ia pun menyandang gelar Ph.D dari Temple University, Philadelphia.

Dalam buku yang sampulnya berupa lukisan karya Nasirun tersebut terdapat 22 judul cerpen. Cerpen-cerpen itu adalah cerpen-cerpen yang dibuat dari Februari 1995 hingga Juni 2004. Dengan rentangan waktu selama sembilan tahun itu tentu ada perjalanan panjang dan pergumulan hidup yang dialami penulisnya sehingga cerpen-cerpen itu pun akan memiliki perbedaan pemaknaan bagi si penulisnya sendiri. Dalam kasus cerpen “Otak” dan Negeri di Balik Bulan[1], misalnya, peristiwa atau kejadian dilihat penulis dengan makna yang berbeda. Terlepas dari aliran yang dipakainya, pada kasus “Otak”, penulis “menertawakan” kondisi masyarakat yang sudah sangat tergantung pada teknologi sehingga tidak mau lagi berpikir. Padahal, teknologi itu sendiri merupakan hasil pemikiran, jerih payahnya otak. Sebaliknya, pada “Negeri di Balik Awan”, penulis merenungkan hakikat sebuah keluarga sebagai penyempurna perjalanan hidupnya.

Dalam pengamatan saya, cerpen-cerpen pada buku ini dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu cerpen yang bersifat biografi dan cerpen yang benar-benar menekankan fiksionalitasnya. Yang saya maksudkan dengan cerpen yang bersifat biografis adalah cerpen-cerpen yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan penulisnya. Tentu saja, menurut saya, penilaian adanya keterkaitan dengan kehidupan penulisnya dapat terjadi ketika (atau sebab) dibukukan, tetapi ketika cerpen-cerpen itu dipublikasikan lewat media massa yang berbeda, maka sangat sulit melihat keterkaitan itu. Sebagai buku, kita diberi informasi tentang biografi penulisnya, informasi tentang kapan dan di mana cerpen itu dipublikasikannya. Informasi-informasi itu terkumpul pada satu tempat yang sama sehingga mudah untuk dilihat benang merahnya. Cerpen-cerpen yang bersifat biografis pada buku itu adalah “Eyang” (Suara Pembaruan, 21 Januari 1996), “Pernikahan Kami” (Jawa Pos, 21 April 2013), “Sister Aisha” (belum dipublikasikan), “Adikku” (Jurnal Perempuan, 2003), dan “Kakakku” (belum dipublikasikan).

Di antara kelimanya, saya lebih tertarik pada cerpen “Adikku”. Cerpen ini adalah sebuah kritik terhadap kepatuhan mutlak para santri terhadap sang kyai-nya yang kadang bagi orang luar pesantren tidak masuk akal. Sang adik rela dinikahi oleh lurah santri laki-laki kesayangan sang kyai sebab atas perintah sang kyai. Sebaliknya, si suami adiknya itu tidak pernah datang menjenguk saat adiknya sakit sebab belum diizinkan oleh sang kyai. Bahkan, puncaknya sang suami adiknya itu hanya datang untuk melihat jasad adiknya dan langsung balik lagi ke pesantren, tanpa mengikuti proses penguburan jenazah istrinya sebab perintah kyainya juga yang memintanya kembali malam itu juga. Sulit menilai kejadian itu sebagai tragedi atau kepatuhan. Bergantung pada sudut pandang mana kita berdiri. Dunia pesantren memiliki sistemnya sendiri. Sistem yang membangun relasi kyai-santri sebagai relasi kepatuhan dan penghormatan dari santri pada kyai.

Di antara cerpen yang bersifat fiktif, terdapat cerpen berjudul “Bu Guru Sumi”. Membaca cerpen ini mengingatkan saya pada penelitian Daniel Lerner yang dijadikan buku dengan judul “Memudarnya Masyarakat Tradisional”. Masuknya teknologi dan perbaikan infrastruktur telah mengubah masyarakat desa yang kaya dengan nilai-nilai tradisional menjadi masyarakat modern yang bergerak cepat penuh dengan kegelisahan. Perubahan itu sekaligus juga menggeser predikat atau status, seperti guru, menjadi kurang berharga di mata masyarakat.

Saya pun membandingkan dua cerpen yang judulnya sama hanya diberi nomor yang berbeda, yaitu “Nyai Ludirah 1” dan “Nyai Ludirah 2”. Keduanya memiliki kesamaan cerita dan tokoh di dalamnya. Saya meyakini bahwa kedua cerpen itu sebenarnya satu, tetapi dibedakan dalam cara penceritaannya. Tampaknya, penulis memodifikasi satu cerpen menjadi beberapa cerpen, lalu hasil modifikasi itu dikirim ke beberapa media. Kalau kita perhatikan, kedua cerpen itu dimuat di dua surat kabar berbeda, yaitu Minggu Pagi dan Bernas, tetapi dengan waktu yang hampir bersamaan, yaitu Minggu IV Maret 1997 dan 23 Maret 1997. Mungkin cerpen ini juga yang disinggung penulis ketika ia mengisahkan bahwa cerpennya pernah dimuat oleh empat media dalam waktu yang bersamaan (hlm. 191).

Pada akhirnya, saya selalu meyakini bahwa membaca cerpen (cerita fiksi lainnya) akan memberikan pengalaman, tanpa harus mengalami pengalaman itu. Selalu ada amanat di setiap cerita yang akan membuat kita semakin memahami kehidupan ini.

Wallahu a’lam

Mampang Prapatan, 1 Juli 2015

[1] Ulasan yang sangat baik diberikan Faruk H.T. dalam Kata Pengantar buku ini.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan