gelap-dan-kelam

Di Balik Kelam

Sepertinya dia akan bangun terlalu siang. Ini tidak pantas dilakukan untuk seorang yang mengaku kaya. Kami para buruh migran bersusah payah membanting tulang, jauh-jauh meninggalkan keluarga untuk mencari nafkah, dan dia, -orang krisis kesadaran malah dilimpahi Tuhan merasakan sisi nikmat hidup. Namanya Muksin, majikanku. Mirip nama orang pribumi, tapi dia orang Arab.

Aku sudah dua tahun bekerja di sini. Kupikir Muksin cukup baik, ia terbiasa bangun pagi dan meminta diantar ke tempat kerja. Sulit mengingat kapan dia mulai jadi seperti ini. Yang jelas itu bersamaan saat Muksin mulai sering menunggak gaji. Di saat istriku di kampung sedang butuh banyak uang untuk melunasi hutang-hutang kami.

Bukan apa-apa, kalaupun dia harus tidur berapa lama bahkan selamanya pun tidak masalah. Asal gajiku dibayar! Terserah  uangnya dari mana, asalkan tanggung jawabnya sebagai seorang majikan bisa terpenuhi.

Sudah lewat jam 12 siang Muksin belum juga beranjak dari atas sofa. TV masih belum dimatikan sejak semalam. Siapa lagi yang ia harapkan melakukan ini kalau bukan aku. Muksin hidup sendiri setelah digugat cerai istrinya. Entah karena apa tapi dugaanku, inilah sebabnya Muksin mendadak jadi kehilangan semangat hidup. Tapi aku tidak mau tahu, apapun alasannya, bagaimanapun aku juga punya keluarga, hidup mereka sangat bergantung padaku, pada penghasilanku, pada Muksin! Aku jauh-jauh meninggalkan negaraku bukan untuk jadi budak Arab!

“Udiiiin”, akhirnya si pemalas itu bangun juga. Ia berteriak seakan aku tidak sedang berada tepat di belakangnya. Muksin pergi begitu saja tanpa berniat untuk menyapa. Ia berjalan bertingkah seperti orang mabuk menuju kamar mandi di samping dapur.

***

“Tidak berangkat kerja Pak?” Tanyaku iseng sedikit ada niat menyentil. Selama dua bulan ia menunggak gaji, aku tidak pernah berani berterus terang. Walaupun sebetulnya ingin, tapi orang-orang memang agak segan berbicara dengannya. Mungkin merekalah yang sudah mempengaruhiku selain kabar-kabar mengerikan yang bilang orang Arab bisa melakukan apa saja di negaranya. Termasuk mengancam keselamatan keluarga. Entah siapa yang pertama membuat isu itu tapi itu cukup populer di kalangan kami para tenaga kerja asing.

Belum sempat menjawab, ponsel Muksin berbunyi. Ada telepon masuk. Dari siapa aku tidak peduli. Muksin bergegas mengambil kunci mobil, ia keluar sendiri meninggalkan aku yang sedang beres-beres ruang keluarga.

Dulu kemana-mana ia selalu minta diantar olehku. Saat melamar di sini niatnya memang ingin jadi sopir saja, entah tidak berapa lama mereka jadi menyuruhku melakukan pekerjaan wanita. Memasak, membersihkan halaman. Istri Musksin melarang ada wanita bekerja di sini. Setauku dia memang terlalu posesif, baik pada anak ataupun suaminya.

Bicara keluarga, aku kembali teringat keluargaku di kampung. Mereka sudah dua minggu tidak menelpon. Mau ditelepon pun kami sama kere nya. Hampir sudah sebulan ini ponselku tidak diisi pulsa.

Pulsa mungin tidak seberapa. Berbanding puluhan kali lipat hutang-hutang kami yang sudah tidak bisa kuhitung. Entah, hanya istriku di sana yang tahu. Dari hutang di perusahaan dana cepat sampai juragan desa, mungkin jumlahnya sudah hampir melebihi gajiku selama setengah tahun bekerja di sini. Belum lagi untuk membiayai hidup sendiri. Mungkin memang terbilang mencukupi jika dirupiahkan, tapi biaya hidup di negara kaya lebih berat.

Aku memendam beban sudah terlalu lama. Tidak ada tempat untuk berbagi, lebih-lebih mengemis belas kasihan. Bagaimana nasib anakku yang masih kecil kelak. Jangankan untuk bersekolah, untuk makan saja untung-untung kalau beras akan cukup sampai malam.

Anak pertamaku memang baru saja menyelesaikan pendidikan perguruan tinggi beberapa waktu lalu. Tapi tidak bisa dipungkiri kalau mencari pekerjaan di sana terlampau sulit. Kadang aku menyesali kami yang sudah mengeluarkan biaya banyak kalau tahu jadinya akan seperti ini.

Mungkin ini terdengar konyol jika akhirnya aku berkata, aku berniat bunuh diri. Setidaknya sekarang, mungkin ini waktu yang tepat. Sedang tidak ada orang di rumah. Hampir dapat dipastikan akan sesuai rencana. Aku ke dapur untuk mencari pisau. Ada yang bilang bunuh diri terbaik itu dengan menyayat urat nadi. Rasa dan tingkat keberhasilannya paling dijamin, asal tidak ada penghalang.

Sejenak aku teringat lagi keluarga di rumah. Kalau aku mati, mereka akan dapat nafkah dari mana. Ah, istriku masih cantik. Pasti banyak pria yang masih menginginkannya. Aku berharap ada lelaki kaya yang menggantikan peran pecundang sepertiku kelak.

Yang aku rasakan? Damai. Lemas, seraya darah terus mengucur dari pergelangan tangan. Penglihatanku kabur. Rasanya benar-benar seperti akan tertidur, perlahan kesakitan luar biasa dari tanganku sedikit demi sedikit mulai memudar. Aku belum melihat malaikat sampai fase ini.

Entah ia sedang berada di mana. Di belakang, di atas, atau bahkan di depan mataku sambil membawa tongkat bermata tengkorak seperti yang sering ku lihat di film kartun dulu. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Kelopak mataku terasa berat sekali, aku sudah menutup mata sekarang.

***

Aku dibawa kembali ke rumah Muksin. Entah oleh malaikat, sinar, atau sejenis apa. Aku sedang melihat Muksin tertidur lelap di atas sofa dengan TV yang masih menyala. Betis dan kakiku yang biasanya akan selalu lemas bisa sebegitu tahan berdiri semalaman. Tidak tahu untuk apa. Sampai pukul 12:15 siang, Muksin bangun dan mematikan TV. Ia berjalan menuju toilet di dekat dapur.

Sontak Muksin berteriak histeris. Ceceran darah yang sebagian masih belum mengering sempurna membasahi lantai yang sudah ku-pel kemarin pagi. Namun sepertinya aku tidak diijinkan untuk menyaksikan ini terlalu lama. Sesuatu menarik tanganku dari belakang.

Ia membawaku menuju sebuah ruangan gelap. Ini entah ruangan atau apa yang jelas hanya ada warna hitam. Mau berjalan pun percuma, sama halnya dengan menggerakkan kaki tapi tidak berpindah ke mana-mana. Suara dan teriakan ku terdengar seperti hanya keheningan. Tidak ada apa-apa selain aku, dan kekosongan.

Sampai aku menyadari sesuatu. Entah sejak kapan ada setitik sinar berada di belakangku. Cahaya putih yang kian membesar dan silau memakan seisi ruangan.

Aku melihat Muksin berbicara dengan seorang dokter rumah sakit umum. Yah, aku dibawa ke rumah sakit sekarang. Letaknya cukup jauh, tapi suaranya amat jelas. Bahkan hanya suara percakapan merekalah yang bisa terdengar.

“Sepertinya akan sulit Pak, tapi kami akan usahakan”

“Lakukan apa saja Dokter, saya bersedia bayar berapapun asalkan bisa sembuh”

Muksin sakit? Yang lebih mengejutkan, ia menderita penyakit yang bahkan seorang Dokter Rumah Sakit besar di negara kaya dibuat pesimis. Ia terlihat sehat selama ini, tidak ada tanda-tanda bahwa Muksin sedang menderita penyakit parah.

“Ada satu pasien kami yang bisa sembuh dari virus ini beberapa saat lalu, Bapak dapat percayakan sepenuhnya pada kami”.

Satu kebenaran yang aku dapat. Ternyata Muksin sedang menyembunyikan sesuatu. Dia pengidap penyakit virus yang kedengarannya amat mematikan. Penyakit yang mungkin akan paling ditakuti sebagai salah satu penyebab kematian terbesar selama ini. Aku tidak tahu apakah ia benar-benar menyembunyikannya atau hanya karena aku yang tidak pernah menanyakan ini.

Seisi rumah sakit berubah, perawat yang berlalu lalang satu persatu menghilang, dokter berubah menjadi sosok seorang laki-laki berkacamata. Namun Muksin tetap pada posisinya, duduk berhadapan dengan laki-laki itu. Cat rumah sakit menjadi keabuan. Ini jadi lebih mirip kantor kemana dulu aku sering mengantar Muksin bekerja.

“Beribu maaf, tapi kami tidak berani mengambil resiko.”

“Beri saya kesempatan, Pak. Saya jamin ini tidak akan mengganggu kinerja saya.”

“Mungkin sekarang memang benar demikian, tapi bagaimana kalau penyakitmu sudah menjalar. Masalahnya ini kan menular. Tenang, kamu akan diberhentikan dengan hormat. Sebagai gantinya saya tambah gaji terakhirmu dua puluh persen dari gaji biasanya.”

“Saya mohon, Pak. Saya masih punya istri dan satu orang anak, mereka akan pergi jika tidak diberi nafkah, pembantu saya sedang sangat butuh uang, nasibnya sangat bergantung pada penghasilan saya.”

Laki-laki yang sekarang sudah ku pastikan sebagai pimpinan Muksin itu membalas dengan gelengan kepala seraya memberi sepucuk surat. Kini aku tahu, Muksin ditinggalkan keluarganya karena tidak mampu lagi menjadi tumpuan, ia dipecat karena penyakitnya. Dan anggapan kalau ia benar-benar tidak memperdulikanku ternyata salah. Atau, kemungkinan lain itu hanya upaya untuk menarik iba pimpinannya.

Meja kantor berubah satu per satu menjadi tumpukan tanah. Meja yang paling mewah berubah menjadi tumpukan tanah bertancapkan batu nisan yang sudah ditumbuhi lumut dan tertulis namaku. Di sampingnya istri dan kedua anakku yang sekarang sudah dewasa. Anakku yang paling besar membawa seorang wanita dan anak kecil. Istriku tampak berbeda, kulitnya sudah keriput. Sepertinya mereka akan segera pulang.

Tunggu, apa yang kulihat ini. Itu mobil Muksin! Mobil yang biasa aku gunakan mengantar ia menuju tempat kerja. Dari mana mereka mendapat uang sampai mampu membeli mobil seperti itu. Jangan-jangan..

“Kenapa harus pakai mobil ini, Yah. Bukannya di rumah ada mobil yang baru,” kata anak kecil yang kupastikan adalah putri dari anak pertamaku.

“Hus, ini mobil kenangan. Dulu kakek yang mengirim mobil ini dari Arab”, kata anakku sambil menengok ke belakang. Menengok tanah dimana jasadku dikubur beberapa tahun lalu.

Di sampingnya berdiri sesosok laki-laki berpakaian rapi dengan wajah bersih tersenyum simpul ke arahku. Yah, itu Muksin. Orang yang selama ini aku anggap sebagai seorang yang buruk. Selama ini ia telah menyembunyikan penderitaan yang tidak pernah aku coba terawang lebih dalam. Dia memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang salah. Atau mungkin, hanya karena mata ku yang selama ini sudah tertutup kabut kelam yang membuatnya buta ketulusan. Ia meninggal karena sakit dan mewariskan semua hartanya pada keluargaku di kampung.

 “Terimakasih saudaraku, kamu memilih untuk menjadi satu-satunya orang yang setia menjadi temanku semasa hidup”, ujar Muksin sebelum sesuatu kembali menarik tanganku dari belakang.

sumber gambar: https://aliveandabound.files.wordpress.com

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan