hujan-pagi-hari

Dibalik Derap Hujan

Pagi ini hujan kembali mengguyur desaku, menyapu seluruh debu yang menempel di muka bumi, menyisakan embun-embun bening yang menempel di jendela. Para petani, termasuk ayah dan ibuku sangat gembira dengan datangnya fenomena satu ini. Maklumlah, air merupakan sumber utama bagi petani untuk dapat menghijaukan kembali ladangnya. Aku tahu persis susah sedihnya mereka tanpa air, tanpa hujan. Bagi mereka hujan adalah anugerah tapi bagiku hujan bagaikan bukti rasa sakit.

Tepat 2 tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama aku begitu bahagia. Hujan dua tahun yang lalu, menghantarkan rintik-rintik suaramu tepat di telingaku. Ya, aku ingat persis itu adalah telepon pertamamu kepadaku.

“Assalamu’alaikum. Halo, Ci.” Suaranya dalam seperti tak pernah kudengar.

“Wa’alaikumsalam. Halo, Rio. Kenapa ? Kok tumben telepon.” Jawabku malu-malu, antara senang dan kaget.

Oh Tuhan, ini adalah telepon pertamanya setelah 5 tahun bersahabat baik. Kami yang sudah akrab sejak kelas XI SMK ini sama sekali tak pernah saling menelepon, hanya bertukar kabar dan berbagi cerita tentang mimpi-mimpi yang ingin kami raih. Dahulu kami memang berbeda sekolah, tapi siapa yang menyangka sebuah sesi latihan bersama untuk menyambut lomba tingkat provinsi telah menjadikan kami sahabat dekat.

“Loh kenapa? Emangnya nggak boleh ya ?” kata-katanya membuyarkan lamunanku.

“Boleh kok, tapi tumben aja, gak biasanya kamu nelpon.” Sahutku dengan terbata-bata.

“Iya ini lagi liburan jadi ada waktu buat telpon. Kamu apa kabar? Sudah lama ya gak ketemu. Bagaimana kuliahnya lancar kan ?” pertanyaannya memberondongku.

Kami memang sudah lama tak saling berjumpa. Setelah dia bekerja di salah satu perusahaan mobil ternama di Jakarta dan aku kuliah di salah satu PTN ujung timur pulau ini, kami memang sangat sulit untuk bisa bertemu satu sama lain.

“Aku baik, kuliahku juga lancar. Kamu di sana baik-baik juga kan ?” aku melanjutkan percakapan.

“Baik alhamdulillah, ini kemarin aku baru pulang dari Singapura”

Percakapan kami terus berlanjut, Rio bahkan menceritakan segala kehidupannya kepadaku. Mulai dari keluarganya, pekerjaannya, hingga rencananya di tahun 2015 diceritakannya kepadaku. Rasanya agak aneh mendengar ini, tapi aku senang, bahkan sofa tempatku berguling-guling rasanya menertawakan tingkahku yang mulai tidak normal ini.

Aku sama sekali tak menyangka laki-laki yang biasanya begitu dingin dan misterius ini begitu banyak bicara. Dia bahkan mengucapkan selamat tahun baru kepadaku. Hal yang sama sekali baru pertama terjadi setelah hampir 5 tahun saling mengenal. Rio yang biasanya hanya mengirimi nasehat bijak sekarang sudah berganti gaya seperti pembawa acara musik pagi, suaranya begitu renyah terdengar.

Entah kenapa hari itu aku merasa begitu bahagia karena dia bercerita banyak kepadaku. “Apakah dia mulai menyukaiku,” pikirku sambil tersenyum ketika telepon sudah dimatikan. Kemudian aku mulai memukul kepalaku, berharap aku segera sadar dari rasa ke-GR-an ini. Mana mungkin dia menyukaiku, sedangkan di luar sana masih banyak gadis yang jauh lebih segalanya dari diriku yang hanya gadis kutu buku ini-aku pesimis.

Tak berapa lama setelah pergantian tahun aku jatuh sakit, aku bahkan tak masuk kuliah selama hampir 2 bulan. Saat itu aku sama sekali tak bercerita kepadanya. Entah kenapa disaat yang sama dia tak sekalipun menghubungiku. Tak ada pesan singkat yang berisi kabar, nasehat, tak ada inbox di facebook, apalagi telepon seperti saat itu. Ah aku mulai khawatir, pikiranku mulai kemana-kemana. Tapi semua itu ku biarkan, aku masih sakit, aku tak punya daya untuk mengkhawatirkannya lebih dari ini.

Bulan April 2015 aku sudah mulai masuk kuliah meskipun dengan kondisi fisik yang belum sembuh sepenuhnya. Aku mulai teringat pada sahabatku yang jauh di sana. Aku mencoba menghubunginya, berharap dia baik-baik saja.

“Assalamu’alaikum, apa kabar?”satu kalimat yang ku kirimkan kepadanya via sms. Ku tunggu beberapa menit, jam, satu hari tak ada balasan.

“Wa’alaikumsalam, alhamdulillah baik, maaf beberapa hari ini aku sibuk banget jadi gak sempat balas pesanmu” balasnya 2 hari kemudian.

Perasaanku lega, akhirnya aku mendapat kabar darinya meskipun tak bertahan lama. Kami hanya mengirim beberapa pesan singkat kemudian dia menghilang lagi selama satu bulan. Aku semakin ragu dengan perasaannya. Dia benar-benar tak menaruh hatinya untukku.

Memasuki bulan Ramadhan dia kembali menghubungiku, menanyakan kabar, kuliah serta liburanku, bahkan satu kalimat yang dia ucapkan membuatku terlonjak, “ Ci, lebaran nanti aku ke rumahmu ya, sekalian mau bicara sama Bapak dan Ibumu,” satu pesan pendek yang tak ada lagi balasannya meskipun kutanya berpuluhkali sampai gratisan sms ku tak bersisa.

“Dia hendak ke rumah saat lebaran untuk menemuiku dan orang tuaku, untuk apa?” bukankah kami tidak sedekat itu.” Jantungku berdegub kencang.

“Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apakah ini lamaran karena aku bilang aku tidak pacaran? Tapi mana mungkin, sejak kapan dia menyukaikaiku? Atau apakah ini hanya kunjungan biasa seperti seorang sahabat? Tetapi kenapa pakai mau bicara dengan bapak dan ibu segala?” aku terus bergumam dalam hati menghujam seribu pertanyaan kepada otakku yang mungkin kepanasan menerima hantaman bola api yang terpancar dari hatiku.

Setelah menghilang dia muncul, setelah muncul kemudian menghilang lagi, muncul lagi dan bilang “aku mau bicara dengan Bapak dan Ibumu”, apa sebenarnya?

***

Menjelang tiga hari sebelum lebaran dia masih belum menghubungiku, “anak ini benar-benar keterlaluan. Masak sudah mau lebaran gak kasih kabar juga? Jadi nggak sih” Aku terus menggerutu dalam hati, yang sebenarnya berharap betul akan kedatangannya.

Aku sengaja membiarkannya, aku tak mau menghubunginya lebih dulu. “Biarkan dia!”

Tapi apa daya, aku benar-benar tak tahan dengannya. Akhirnya aku mencoba menghubunginya lebih dahulu. Kukirim sms untuknya “Assalamu’alaikum.” Tak ada jawaban yang kudapatkan malam itu. Aku terus menunggunya, hingga ada satu sms yang kuterima. Aku harap itu dia, pintaku dalam hati. Kucoba buka sms itu.

Saat terbangun, aku rasa hari sudah beranjak pagi. Matahari sudah mulai bersinar, menembus setiap celah ditempatku berbaring semalam. Ibu yang berada di lantai dasar sudah meneriakiku untuk segera mandi dan membantunya membersihkan rumah.

“Ci, cepat mandi, bantuin Ibu bersih-bersih rumah !” katanya.

Tak ingin berdebat aku mengiyakan saja apa kata ibuku. Aku mulai menyapu dari lantai 2, kemudian lantai 1 sambil terus bersenandung. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu, aku menghampirinya.

“Siapa gerangan pagi-pagi sudah mengetuk pintu,” gumamku dalam hati.

Kucubit tanganku sendiri dan benar itu Rio. “ Hai Ci, assalamu’alaikum ?”, sapanya dengan lembut.

“Rio, kapan kamu pulang ? Kok nggak pernah ngabarin?”, jawabanku masih terbata-bata bahkan salamnya tak sempatku jawab karena kaget-bahkan senang.

“Iya aku pulang untuk beberapa hari, cuma sampai tanggal 1 Syawal aja disini. Hari ini aku sempatkan main kesini ketemu Bapak dan Ibumu juga. Nggak apa-apa kan?” Jelasnya singkat yang kusambut dengan anggukan dan pipi yang kurasa sudah merah jambu.

Hari itu aku memasak menu spesial untuknya dan dia terlihat begitu lahap menyantap masakan yang ku sajikan itu. “ Wah kamu pintar memasak ya ternyata?”

Aku tersenyum, “Kamu bisa aja. Cewek kan memang harus bisa masak”.

Aku selalu mengikutinya kemanapun dia pergi, ya walaupun hanya di dalam rumahku. Aku tak mau lagi kehilangan dia dari pandanganku, jauh tanpa kabar dan berita. Kutatap mata sayu yang meneduhkan itu. Mata yang selama 2 tahun ini tak pernah kulihat.

“Ci, selama ini kamu suka kan sama aku?”tanyanya dengan serius bagai petir disiang bolong.

Pertanyaannya tersebut menghentakkan jantungku, aku memang suka padanya, tapi mengapa dia menanyakan pertanyaan seperti itu. Lidahku begitu kelu untuk menjawabnya, seharusnya dia harus sudah tahu perasaanku ini sejak lama. Aku kembali menatapnya, kulihat dia berjalan menjauh menuju pintu keluar. Apa yang sebenarnya dia pikirkan, sedangkan hari sedang hujan deras. Mungkinkah dia akan melamarku dibawah derasnya hujan, ah aku terlalu berharap.

Rio terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun kehalaman belakang rumahku yang diguyur hujan. Aku mengejarnya, entah kenapa aku malah merasa dia akan benar-benar pergi dariku padahal beberapa menit yang lalu aku begitu bahagia merasa akan dilamar olehnya. Halaman belakang rumahku ini kenapa begitu menakutkan sekarang? Hujan, kabut putih, bahkan petir beriringan mencoba menghentikan langkahku. Aku mengejarnya sekuat tenagaku, tapi tiba-tiba kurasakan sesosok manusia meraih tanganku, mendekapku erat. Wajah itu tak asing,  dia ibuku.

“ Jangan Ci, Rio tidak mau membuatmu sedih. Dia akan bertambah sedih ketika kamu mengejarnya.” Ibu melarangku untuk mengejarnya.

“Kenapa ibu melarangku, bertambah sedih apa yang Ibu maksud?” Aku tetap tak bergeming dengan larangan itu, tapi tangan Ibu masihlah lebih kuat menahanku. Aku tak bisa mengejarmu, Rio.

Mataku kembali terbelalak melihat Rio sudah menghilang diderasnya hujan petir dan kabut putih ini. Kemanakah dia bersembunyi, kemanakah dia pergi. Kucoba sekuat tenaga melepaskan diriku dari Ibu, aku ingin mengejarnya, aku berlari tapi sama sekali tak kutemukan sosok itu. Aku masih terus berlari, meraung, mencoba mengejar dengan sisa-sisa harapan bahwa dia sedang bercanda.

“Aku masih belum menjawab pertanyaanmu, tapi kenapa…..,” airmataku meleleh bersama hujan sebelum akhirnya aku merasa ada yang mengoyang-goyangkan bahuku.

Ku buka mataku, kurasa hari telah berganti pagi dan ada ibu di samping tempat tidurku. Tapi bagaimana mungkin? Lalu dimana Rio ? Apakah dia benar-benar pergi?

Sontak aku memanggil Ibu, “ Bu, dimana Rio, bukankah dia kesini kemarin?”. Wajah Ibu berubah, raut wajahnya membuatku gelisah.

Ibu menjawab pertanyaanku dengan wajah bingung, “Apa maksudmu Ci, ibu dapat kabar pagi ini, temanmu itu akan sampai rumahnya besuk pagi? Pemakamannya akan dilakukan siang”

Tubuhku lemas, aku mulai menyadari bahwa tadi malam sms yang kuterima adalah sms dari adiknya Rio. “Mbak, mas Rio kecelakaan di Bogor tadi sore. Dia udah nggak ada.”

Mataku tak lagi mampu membendung air bah yang terus mengalir, sekelilingku kembali gelap-persis seperti tadi malam.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan