sekolah-menengah-kejuruan

Dilema Sekolah SMK dalam Asean Economic Community

Sebagai alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) saya merasa sangat bangga kiranya mendengar bahwa keberhasilan negara Indonesia dalam berkompetisi terbuka dalam kerjasama regional ASEAN di bidang ekonomi sangat tergantung oleh pendidikan kejuruan (vocational high education). Namun di sisi lain saya merasa sangat prihatin ketika teringat beberapa tahun yang lalu saat mengeyam pendidikan keterampilan kecakapan hidup (life-skill) di SMK tempat saya bersekolah bahwasanya proses, tempaan pendidikan, fasilitas sarana pendidikan, kurikulum, dan sistem sertifikasi keahlian nampaknya masih jauh untuk diklaim bahwa lulusan SMK siap menghadapai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Sebagaimana dikutip dari laman resmi ASEAN (www.asean.org) yang menyebutkan bahwa cetak biru dari MEA adalah penguatan kerjasama dengan beberapa karakteristik utama diantaranya adalah (1) Competitive, Dynamic and Inovative Asean, (2) Enhance Connectivity and Sectoral Cooperation, (3) Inclusive, People-oriented and People-centered Asean. Ketiga karakteristik ini mengindikasikan pada penguatan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dan siap bersaing dalam arena single market

Isu strategis ini langsung mendapatkan respon yang cepat dari otoritas yang menaungi pendidikan di Indonesia yakini Kemendikbud. Sebagaimana dikutip dari laman www.republika.co.id 26 April 2015 bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah Kemendikbud telah menyetujui kesepakatan bersama untuk menyetarakan kompetensi SMK di dalam negari sehingga lulusan SMK di Indonesia sama kualitasnya dengan negara-negara lain di Asean. Sebuah langkah yang layak diapresiasi. Namun ironisnya, mengapa kebijakan ini baru dilakukan sekarang padahal isu Asean Economic Community (AEC) ini talah lama muncul sebagai wacana kerjasama futuristik negara-negara kawasan Asian Tenggara. Sangat aneh memang kedengarannya ketika negara kita baru mulai menyaipkan kebijakan untuk menyetarakan kompetensi saat MEA sudah resmi diluncurkan. Akankah kita akan terus-menerus menjadi bangsa yang latah dan kagetan seperti ini? Ataukah kita penganut leterlek pribahasa “tidak ada kata terlambat untuk memulai”. Iya, kali ini kita memang terlambat. Di tengah keterlambatan dalam menyambut MEA ada secerca harapan besar yang dipikul oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam menghasilkan skilled-worker. Namun harapan besar ini juga akan kandas jika tidak dilakukan pembenahan yang cepat dan komprehensif.   

Fasilitas dan Sarana Belajar

Kompetensi adalah hasil asah potensi yang dilakukan dengan latihan secara simultan selama proses belajar. Sangat miris ketika melihat ketersediaan fasilitas baik primary learning tools atau hardware sebagai bahan pratik utama masih banyak yang tidak memenuhi standar kelaikan bahkan tidak tersedia. Masalah ini tidak hanya terjadi di sekolah SMK swasta namun juga negeri. Ketersediaan alat dan bahan praktek utama juga perlu di-upgrade mengingat sebagian besar alat dan bahan praktek utama adalah produk lama. Hampir tidak mungkin untuk menyetarakan atau upgrading kompetensi tanpa didukung oleh upgrading alat dan bahan sarana latihan belajar keterampilan. Ini adalah tugas pemerintah dibantu oleh pelaku dunia kerja dan industri untuk memastikan di tiap unit-unit SMK terdapat lahan dan workshop pelatihan kompetensi sudah memadai dan sesuai jaman.

Kurikulum SMK

Sejak dulu saya selalu bertanya-tanya mengapa harus masuk SMK? Pertanyaan saya terjawab ketika menyandang gelar sebagai alumni SMK serta memperoleh ijazah dan sertifikat kompetensi bahwasanya saya dididik untuk dapat langsung bekerja. Entah mengapa saya merasa kecakapan yang saya miliki belum cukup. Hal ini mungkin disebabkan karena kurikulum saat itu masih terlalu banyak cakupan pelajaran umum daripada kejuruan apalagi prosentase praktek langsung jauh lebih sedikit lebih banyak duduk di dalam kelas mendengarkan pelajaran.

Belajar dari tata kelola kurikulum SMK di Finlandia (Upper Secondary Vicational High School) 75% konten kurikulumnya adalah kejuruan sisanya 25% adalah kurikulum inti.  Siswa SMK diwajibkan selain 6 bulan on-the-job training juga harus menulis final project paper serta minimal mengembangkan satu keahlian dari beberapa kehalian yang telah dipelajari melalui uji kompetensi yang reliabel dan valid. Sebagian dari tata kelola SMK di Indonesia sama dengan di Finlandia namun fungsi pengawasan mutu pendidikan perlu ditingkatkan untuk menjamin lulusan benar-benar memiliki kompetensi yang ditargetkan.  

Selain persoalan tata kelola kurikulum, masalah relevansi juga menjadi faktor penting kontribusi SMK dalam bursa MEA. Relevansi kurikulum penting untuk menjawab apakah kurikulum SMK sanggup untuk menyesuaikan kebutuhan dunia kerja dan dunia industri yang berkembang sangat cepat. Isu ini mengkristalisasi sebuah pemikiran, lembaga/otoritas mana yang bertugas untuk melihat perkembangan pasar tenaga kerja (market outlook) secara obyektif untuk melakukan analisis kebutuhan yang riil dan valid demi difusi dan inovasi kurikulum SMK. Selama ini kurikulum SMK disusun masih sentralistik dan belum sepenuhnya mengakomodir kebutuhan riil pengguna (user). Jika prinsip relevansi kurilulum ini tidak dilakukan maka cita-cita menjadikan SMK sebagai sumber kesitimewaan produk manusia dalam rangka menghadapi MEA akan menjadi isapan jempol semata karena tidak terjadi link and match antara kebutuhan dan produk yang dihasilkan.   

Sertifikasi Keahlian

Hingga saat ini belum ada kerangka (framework) khususnya bagi lulusan SMK tentang bagaimana bentuk pengakuan secara otentik setiap keahlian yang dimiliki. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh kebutuhan di setiap daerah berbeda-beda. Namun, saat ini sangat penting untuk dipikirkan sebuah sistem evaluasi keahlian yang untuk menyelamatkan lulusan SMK dari ancaman pengangguran. Sekali lagi ini tugas pemerintah untuk membentuk sebuah konsorsium  baik level nasional, regional atau internasional untuk menyepakati bentuk evaluasi keahlian yang dapat diakui di semua negara manapun bukan sertifikat kompetensi lokal. Haparan kita bersama semoga upaya penyetaraan kompetensi SMK yang dilakukan nagara-negara Asean yang juga diratifikasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kita, diikuti oleh pemikiran tentang bentuk penerbitan sertifikasi keahlian/kecakapan (certification of comptence) yang diakui di semua negara.

Sebuah kebanggaan jika siswa-siswi SMK yang jumlahnya cukup banyak di seluruh Indonesia dapat menjadi ambassador bangsa kita dengan kehalian masing-masing di dunia pesaingan kerja dan industri. Hal ini sangat relevan dengan semangat revolusi mental yang menjadi tagline pemerintahan Jokowi-JK dalam upaya untuk mengatasi tiga pokok permasalahan bangsa yang salah satunya adalah merosotnya wibawa bangsa. Melalui interkoneksi bidang kerjasama MEA, lulusan SMK diharaokan menjadi bagian dari anak negeri ini yang merepresentasikan jati diri bangsanya di hadapan bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu untuk memperlihatkan wibawa bangsa yang berwibawa, lulusan SMK harus siap bersaing, berkualitas tinggi dan dapat berinovasi. Pekerjaan rumah banyak yang harus diselesaikan oleh stakeholder SMK baik pemerintah, masyarakat, dunia kerja dan industri serta guru. Akankah lulusan SMK akan menjadi kunci keberhasilan persaingan regional atau sebaliknya akan menjadi tumbal MEA? Jawabanya perlu kita renungkan dengan serius. 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan