seorang-pendosa-asu-mabuk

Doa Pendosa

Nyatanya, menjadi hantu itu tak mudah. Apalagi bagi hantu pemula seperti Saman. lelaki yang mati kemarin pagi ini berdiri kebingungan. Selain harus beradaptasi dengan dunia lain, dia juga tak menyangka kawan-kawan karib yang dulu disangka baik, ternyata tak lebih dari sekadar serigala yang mengaung tengah malam.

Reno, misalnya. Baru saja Saman tiba di halaman kantor kecamatan, lalu menuju ruang pencatatan penduduk, ia melihat rekan kerjanya itu banyak mengumbar senyum. Setelah melayani seorang warga yang ingin membuat KTP, dan menerima tiga ratus ribu dengan janji kerja tujuh hari, Reno mengumbar aib kalau dirinya lebih hebat dari Saman perihal meminta pungutan. Biasanya, Saman mematok harga dua ratus ribu per KTP. Aish, sudah seharusnya Reno tidak begitu. Apalagi mereka berdua berjuang bersama-sama selama sembilan tahun, demi memungut uang orang-orang.

Tak lama kemudian, Saman beralih ke ruang sebelah. Usai menerabas dinding, ia mendapati Diman melayani masyarakat dengan tenang. Seperti biasa, lelaki yang selalu dibenci Saman itu selalu tersenyum tulus. Bukan apa-apa, Diman selalu menasehati Saman dan Reno perihal pungli. Bahkan, dia mendengar sendiri kalau nanti sore, Diman bakal menyekar makamnya. Benar-benar Saman merasa bersalah selama hidup.

Kedengarannya memang terlalu berlebihan, dengan menyebut Saman sebagai hantu yang tak kerasan di dunia gaib. Selain tak memiliki kawan sesama hantu, dia penasaran keberadaan Marut. Kawan karib sekaribnya kawan. Sejak remaja, keduanya menjalin persahabatan. Dan sudah seharusnya dia menemukan Marut di dunia hantu. Saman bergegas pergi. Cepat-cepat dia menghilangkan diri, menuju rumah reyot di sudut perkumuhan.

***

“Kamu percaya keberadaan Nabi?” tanya Saman sambil menuangkan bir ke gelas plastik.

“Nabi siapa?”

“Semua Nabi lah.”

“Jangankan Nabi. Tuhan pun aku percaya kalau Dia ada,” jawab Marut menyerobot gelas Saman, dan diminum sendiri.

“Kamu kebanyakan minum. Bicara jadi ngelantur.”

“Seandainya tak minum pun, aku tetap percaya Tuhan dan para Nabi itu ada. Suatu saat kita pasti bertemu.”

“Bertemu dengan Tuhan, begitu?”

Marut mengangguk. Panjang lebar dia menjelaskan keberadaan Tuhan. Berjam-jam mereka membicarakan tentang-Nya. Tetap saja, Saman yang meyakini kalau hidup adalah sebuah keniscayaan yang tidak berasal dari Tuhan, bersikokoh kalau Tuhan dan agama hanya hasil ciptaan manusia.

“Akan kubuktikan kalau agama sebatas identitas.”

Lagi-lagi, Marut mengangguk mengiyakan ucapan sahabatnya. Keesokan hari, Saman melancarkan aksi. Dia mendatangi rumah Anisa, perempuan yang dikenal solehah. Beragam alasan dia gunakan untuk membujuk rayu calon istri Gus Ahmad tersebut. Mulai dari belajar agama, sampai soal keadaan di desa. Hingga akhirnya, tersebar kabar kalau keduanya menjalin hubungan baik badan dan batin. Aksi Saman masih berlanjut. Kali ini, dia mendatangi Happy. Wanita muda yang taat ke gereja. Dengan modus serupa, dia berhasil menjalin asmara.

“Kamu lihat? Mereka yang katanya beragama, ternyata bisa aku nikmati begitu saja. Tanpa nikah pula,” sesumbar Saman.

“Agama tak pernah mengajarkan keburukan. Kamu lupa kalau manusia itu memiliki nafsu. Kalau Anisa dan Happy jatuh di pelukanmu, itu bukan karena agamanya, tapi karena nafsu. Mereka yang taat saja bisa jatuh, apalagi yang seperti kita.”

Saman tak jawab. Begitupula Marut. Usai meneguk segelas alkohol, dia mengalihkan pandangan ke pemukiman kumuh di sekitar. Anak-anak kecil yang ingusnya meluber, berlari di antara tiang-tiang penyanggah rumah beratap bolong. Marut memanggil kelima anak tadi, dan membagikan uang hasil copet tadi pagi.

“Untuk makan saja kamu susah, kok, malah dibagi-bagi.”

“Tak apa. Barangkali mereka bisa membawaku ke surga.”

Ndilalah, Rut. Rut. Mbok, yo, sadar kamu ini siapa. Kita ini sama-sama bobrok, kok, minta ke sana. Sudah, jangan sok beragama. Kalau hitam, ya, harus hitam pekat. Putih, kudu putih bersih. Jangan abu-abu. Gak jelas. Pencopet, kok, ngarep surga.”

“Iya, koruptor sebaiknya menyiapkan diri masuk neraka.”

Saman tertawa. Kemarin pagi dia memperoleh jatah dana desa. Bantuan yang katanya berjumlah semilyar setiap desa, nyatanya hanya sampai lima ratus juta di tingkat kecamatan. Setelah itu, dipotong terlebih dahulu sebelum disalurkan ke tingkat desa. Bayangkan, Kecamatan Gumuk Mas memiliki tujuh desa. Dan setiap desa, disunnat dua ratus dikali tujuh desa. Lalu dibagikan ke pegawai kecamatan sesuai fungsinya. Benar-benar makmur para pekerja di Kecamatan Gumuk Masa ini.

“Sebagai sahabat sejati, aku berikan separuh dari jatahku untukmu. Lagipula, kalau dana turun lagi, aku dapat bagian.”

“Apa tak terlalu banyak dua ratus juta itu? Apalagi, kalau kamu sampai terseret kasus, bisa-bisa aku juga tertangkap.”

“Aii, tenang saja. Semua aman terkendali. Mulai sekarang, berhentilah menyasar perempuan-perempuan di angkot. Kamu nikmati saja uang itu.”

Keesokannya, Saman mengantar satu ransel berisi uang hasil korupsi. Marut pun berhenti menjadi pencopet. Dia jarang keluar dari rumah reyot peninggalan orang tuanya itu, kecuali untuk beli makan, pil dan bir. Tak lupa, dia membagi-bagikan uangnya kepada anak-anak kecil di sekitar rumah. Begitu setiap hari, berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Hingga uang pemberian Saman tersisa seratus ribu. Beruntung Saman cepat datang yang bermaksud ingin memberikan sejumlah uang kembali.

“Aku tak butuh uang,” ujar Marut yang tubuhnya kian kurus nan meringkih.

“Kamu mau liburan? Nanti aku pesankan tiket dan hotel. Ke mana saja kamu mau.”

“Aku cuma ingin bertemu Tuhan.”

“Aku saja tak percaya, kok, kamu malah minta bertemu dengan Dia.”

“Kamu mau menolongku, tidak?”

“Asal bukan tentang Tuhan.”

“Kamu juga tak pernah berbuat baik. Setidaknya, kali ini kamu berbuat baik meski sekali.”

“Aku tak tahu bagaimana cara mengantarmu bertemu Tuhan, Rut.”

Marut membanting botol bir ke atas tanah, dan mengambil pecahan paling besar.

“Bunuh aku sekarang!”

“Kamu gila? Bagaimana bisa aku membunuhmu? Kamu itu sahabatku sejak kecil.”

“Setidaknya kamu berbuat baik sebelum mati.”

“Sampai mati pun aku tak sudi membunuhmu.”

“Setidaknya kamu berusaha menjadi malaikat.”

“Malaikat?”

“Iya, malaikat. Kamu tahu, malaikat itu makhluk Tuhan paling taat. Makhluk yang diistimewakan Tuhan setelah Nabi. Malaikat juga perantara Tuhan untuk kehidupan di bumi. Mau mencabut nyawa, misalnya. Ya, tinggal kirim Izrail. Begitu juga kamu yang seumur-umur tak pernah taat pada Tuhan. Kalau kamu membunuhku, setidaknya kamu seperti malaikat si kaki-tangan Tuhan. Kamu bakal jadi orang baik, Man karena mau mengantarku menuju Tuhan. Kalau aku terus menerus hidup, bukankah aku terus minum, copet dan perbuatan keji lainnya. Kalau kamu membunuhku, aku berhenti dari itu semua.”

Agak ragu Saman mendengar penuturan Marut. Tetapi sahabatnya itu, berkali-kali meyakinkan dirinya kalau upaya yang dilakukan Saman adalah yang terbaik. Dengan berat hati, Saman mengangguk setuju. Setelah Marut bersiap-siap, Saman menusuk Marut membabi buta. Dari leher ke perut. Marut pun tersungkur. Saman berdiri ketakutan melihat temannya mengeluarkan banyak darah. Tetiba, polisi yang bermaksud menangkap Saman terkait kasus korupsi, mendapati Saman sedang memegang pecahan botol bir yang berlumuran darah. Saman mati kutu. Dia berusaha melawan petugas namun naas, timah polisi menembus kepala. Sesaat, dia tersungkur sambil menatap Marut yang terlebih dahulu mati.

***

Di tengah-tengah menatap rumah kayu itu, seorang hantu tua berjenggot panjang, muncul lalu memberi kabar kalau Marut tak jadi hantu. Justru dia berada di alam kubur, tidak seperti para hantu yang tak diterima tanah kubur.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan