dokter-cantik-st-gabriel

Dokter Cantik

Sejak dia berjalan di depanku bersama seorang perawat lain melintasi sebuah koridor menuju ruang para pasien, aku sudah memperhatikannya. Sungguh kehadiranya bagai sebuah hiburan tersendiri bagiku yang dari tadi berdiri tak menentu di depan ruangan di mana temanku dirawat. Ya, aku dan temanku yang lain datang dan berada di Rumah Sakit ini karena satu alasan menemani dan menjaga temanku yang sedang sakit. Temanku itu sedang sakit DBD jadi ia memerlukan orang lain untuk membantunya kalau ada sesuatu yang mau ia lakukan.

          Dari pakaian yang dia gunakan, aku tahu dengan pasti bahwa dia adalah seorang dokter. Dengan menggunakan celana jeans coklat dipadukan dengan baju biru langit-langit dan memakai sepatu ballet serta tambahan jas putih ala para dokter memang membuat dia menjadi bahan tontonan kalau dia lewat. Dokter yang menawan. Dia cantik dan memiliki rambut yang indah. Meskipun aku hanya memperhatikannya dari jauh tapi aku tahu bahwa dia memiliki rambut indah yang dibiarkannya terurai lurus ke bawah. Kalau seandainya dia menjadi seorang model yang berjalan di atas catwalk tentu dia sangat cocok karena dia memiliki gaya berjalan yang juga menarik. Hanya saja dia memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi. Itu bukan suatu masalah bagiku karena memang itu yang kuharapkan. Aku juga memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi seperti pria sejati dewasa ini.

          Aku buru-buru merapikan diriku karena kelihatannya dokter cantik ini akan segera menuju ke ruangan tempat temanku dirawat. Ya benar. Tapi sayang, penampilanku terlihat urak-urakan, belum mandi dan juga sikat gigi. Semalam juga aku terpaksa tidur di lantai karena memang tidak ada tempat bagi kami para penjaga untuk merebahkan kepala kami dengan nyaman.  Aduh bisa jadi penampilanku akan membuat dokter cantik ini jijik melihatku. Ah, tak apalah maklum saja aku memang si buruk rupa yang bila dibandingkan dengan dokter cantik ini sangat beda jauh. Seperti langit dan bumi.

          Sekarang dokter cantik ini sudah berada di ruangan tempat temanku dirawat. Ada empat pasien di ruangan itu. Aku segera merapat ke tempat tidur temanku sehingga nanti ketika dokter syantik ini memeriksa temanku aku bisa menikmati keanggunan dan kecantikannya secara closer. Haha, mencari kesempatan dalam kesempitan. Dia sekarang hendak memeriksa temanku. Mengambil stetoskopnya, memasang ditelinganya kemudian mulai memeriksa dada temanku. Oh, shitt. Itu hal yang sangat kuinginkan untuk terjadi padaku. Bagaimana mungkin aku tak ingin tangan yang lentik dan imut milik dokter cantik ini menyentuh tubuhku. Bila aku jadi temanku aku akan berusaha berakting agar dia bisa berlama-lama memeriksaku dan juga mungkin kami bisa berkenalan lebih jauh. Saat ia memeriksaku, aku akan pura-pura berteriak ketika tangannya menyentuh dadaku.

Pasti dia akan bertanya, “maaf, bagian ini yang sakit?”

“Tentu saja dokter”. Mau kutambahkan lagi satu kata “Cantik” tapi biarlah nanti dia akan begitu tersanjung dan tahu bahwa aku berbohong.

“Coba saya periksa lagi”.

“Aduh”, aku meringis lagi ketika tangannya menyentuh dadaku.

Dia pasti akan kebingungan melihat aksiku tapi aku akan segera berkata bahwa dadaku sakit karena disentuh oleh tangan lentik seorang bidadari. Bidadari itu baru jatuh dari surga dan sekarang tepat dihadapanku.  Kalau dia seorang yang cepat akrab pasti dia akan tersenyum dan tersanjung dengan gombalanku dan perkenalan kami akan berlajut. Dia pasti akan menanyakan namaku, aku akan menanyakan namanya, kami sedikit bercerita tentang diri kami masing-masing. Selanjutnya karena dia merasa nyaman berbicara denganku setiap hari dia akan menyempatkan diri bercerita denganku saat memeriksaku. Karena pekernalan kami mengesankan, saat aku keluar dari rumah sakit kami bertukar nomor hp dan pin bbm. Perkanalan kami berlanjut dan semakin akrab lalu kami saling jatuh cinta, menikah dan memiliki anak laki-laki di tahun pertama pernikahan kami. Dua tahun kemudian kami memiliki anak perempuan dan setelah itu kami memutuskan untuk tidak memiliki anak lagi dan hidup bahagia selamanya.

          Lamunan panjangku bersama dokter cantik ini buyar ketika dia berkata kepadaku supaya memperingatkan temanku banyak beristirahat dan mengkonsumsi anak bebek untuk meningkatkan lagi trombosit darahnya. Aku mengangguk tanda mengerti. Kulirik dari dekat papan nama di jas dokternya, ternyata dokter syantik ini bernama dr. Lidya K. Dewi. Wouh, nama yang begitu menawan seperti orangnya. Aku bisa berfantasi bahwa kepanjangan huruf ‘K’ dalam namanya adalah Katarina. Jadi nama lengkapnya adalah dr. Lidya ‘Katarina’ Dewi, nama yang semakin indah. Sayang, setelah berkata demikian kepadaku, dia langsung pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Itu sebuah pukulan berat bagiku. Aku tak dapat berpikir lagi ketika tubuh dokter cantik itu mulai manghilang dari pandangan wajahku. Aku ingin mengejarnya tapi aku malu dan juga mungkin saja dia tak akan menghiraukan aku. Betapa naasnya diriku merasakan situasi ini.

          Wajah cantik nan indah dokter Lidya terus mengiang dalam pikiranku. Aku tak dapat berhenti memikirkannya. Oh Tuhan, apakah ini rasanya dimabuk asmara? Tidak, itu pikiran yang terlalu norak dan kekanak-kanakan. Aku mulai lapar, maklum sekarang sudah pukul 08.30 pagi dan itu tandannya jam makan pagi sudah lewat jauh. Aku dan temanku ternyata mendapat undangan dari seorang suster untuk makan di biara mereka. Ya, Rumah Sakit itu adalah milik para suster jadi bagi kami sangat mudah untuk mendapatkan bantuan mereka.

          Saat kami sementara makan, aku menyempatkan diri bertanya tentang dokter cantik, Lidya, kepada suster. Suster menjawab bahwa dia berasal dari Semarang dan sekarang sudah memiliki tunangan. Tunangannya seorang pemimpin sebuah hotel ternama di kotaku. Mengetahui fakta kedua ini aku semakin merana dan terpukul. Lihat saja, tunangannya seorang yang berduit, lalu aku? Tak punya apa-apa. Namun menurutku itu adalah hal yang wajar, dia kan sudah memiliki pekerjaan, dokter lagi mana mungkin dia mau menikah atau setidaknya membangun hubungan yang dekat dengan lelaki yang status pekerjaannya di bawah dia.

          Memang dunia sekarang ini begitu rumit. Semua orang berlomba-lomba mencari harta bahkan dalam menentukan jodohpun harta menjadi patokan. Seakan-akan sikap hedonisme sedang mencengkram seluruh manusia di bumi ini. Banyak orang yang dulunya baik mendapat pekerjaan yang baik, menjelma menjadi tikus pencuri uang karena gila harta, memakai topeng rupawan padahal sebenarnya sedang mengincar harta untuk memperkaya diri. Jalan kaya dipilih dengan menghalalkan segala cara. Fakta itu memang sekarang ini selalu kusaksikan di televisi dan kehidupan sehari-hariku.

          Namun aku masih ragu apakah dokter pujaanku memang memiliki sifat hedonis juga seperti orang-orang lain di bumi ini? Tak dapat kupastikan. Hanya saja untuk ukuran seperti dia aku bisa mengerti kalau dia punya impian hidup bahagia bersama pasangannya. Mana ada di dunia ini seorang yang ingin menikah tetapi nanti akan hidup susah karena kekurangan harta. Harta juga penting dan aku dapat mengerti jalan pikiran dokter pujaanku. Menurutku dia adalah sosok yang tak mungkin kusentuh. Dia begitu jauh bagai langit dan aku buminya. Haruskah seperti ini saja? Kurasa tidak. Mungkin aku harus menulis surat cinta untuk dokter syantik. Oh itu cara yang kampungan dan tidak menarik. Kupastikan dokter syantik akan menolak surat cintaku mentah-mentah. Lalu apa yang harus kulakukan. Aku bisa menulis sebuah cerita pendek yang romatis untuk dia. Ya itu cara yang atraktif dan untuk orang seperti dia pasti menyukai hal itu. Itu yang akan kubuat sepulang dari Rumah Sakit ini. Cerita pendek itu aku khususkan untuk seorang dokter cantik yang telah menewan hati dan pikiranku di Rumah Sakit St. Gabriel Kewapante saat pertama kali melihat parasnya. Kuharap dengan cerita pendek romantis setidaknya aku dapat menarik perhatian dokter pujaanku. Kami mungkin bisa menjadi teman. Itu saja.  Semoga dia juga membaca cerita pendekku dengan penuh antusias. I really hope,  it will happen. God help me please, make this real for me.

*Penulis bergiat dalam Komunitas Menulis di Koran Ledalero.

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan