dokter-cantik

Dokter Haura

“Ayo, bu! Terus bu…terus..! Sebentar lagi, ayo bu..!” Bidan dan perawat terus menyemangatiku yang sudah terlihat berputus asa.

Aku mencoba terus berjuang, mengumpulkan segenap kemampuanku yang kurasa sudah tak bersisa.

 “Ayo bu, terus mengejan…!” Terdengar lagi arahan dari bidan. Dia terus mengingatkan bahwa sebentar lagi bayinya akan segera keluar.

“Hhhhhhhhhhhhhhhh……..” Aku mengejan, berusaha mengeluarkan si jabang bayi. Tapi belum sempat bayi itu keluar nafasku terputus, aku benar-benar tak berdaya. Untuk beberapa detik aku benar-benar lemah, tinggal sisa-sisa nafas lemah.

 “Ayo, bu! Ibu pasti kuat, anak ibu sudah mau lahir.” Samar-samar terdengar bidan menyemangati lagi. Aku yang sudah lemah menggeleng. Dengan suara pelan aku katakan bahwa aku sudah tidak mampu lagi. Namun kepayahanku itu seketika berlalu ketika suamiku membisikan sesuatu di telingaku, “bukankah kamu ingin anak perempuan? Meskipun tanpa USG, tapi aku yakin anak kita ini perempuan, jadi ayo…jangan menyerah!”

Ya, kata-kata itulah yang akhirnya membuatku bangkit. Kepada Tuhan aku meminta dengan sungguh-sungguh agar aku diberikan kekuatan untuk mengeluarkan bayiku dengan selamat. Aku memang telah sangat berputus asa setelah dirasa tubuh ini tak punya daya untuk berjuang mengeluarkan si kecil.

Di dahului oleh ketuban yang pecah dini, kemudian dipacu oleh obat perangsang agar bayi mau berkontraksi, namun setelah dua belas jam menahan rasa sakit yang serasa akan merenggut seluruh nafasku si kecil tak juga mau keluar. Robekan demi robekan  untuk membuka jalan bagi si kecil terpaksa ditempuh para petugas medis. Sementara robekan tersebut sudah dapat memberikan jalan bagi si kecil, tapi aku sendiri sudah kehabisan daya untuk mengejan. Nyatalah pada saat itu hanya keajaiban yang membuatku bangkit dan berhasil mengeluarkan si kecil dengan selamat. Meski pada akhirnya aku kehilangan kesadaranku hingga berhari-hari.

Sembilan tahun kemudian anak kecil yang kulahirkan itu ikut mendorong gerobakku, setelah setengah jam menyusuri trotoar akhirnya kami sampai di depan kantor sebuah bank swasta tempat kami mangkal menjajakan jualan. Anak kecilku sesekali membantuku melayani pembeli, dia menghitung uang kembalian dan menyerahkannya kepada pembeli, sementara aku sibuk menggoreng adonan batagor.

Bertahun-tahun pekerjaan itu kami jalani. Anak kecilku tahu bagaimana aku berjuang setelah ditinggal suamiku berpulang. Dia tidak pernah malu menjadi anak dari seorang pedagang kaki lima, walau ada di antara teman-temannya yang memandang sebelah mata.

“istirahatlah, nak! Biar ibu yang menunggui dagangan.” Pintaku sambil menggelarkan tikar untuknya tepat di bawah pohon mangga yang tumbuh di belakang trotoar.

“Tidak, ibu! Kita istirahat bersama-sama.”

“Tapi kamu capek, besok harus sekolah.”

“Aku masih kuat, selama ibu ada di sampingku aku akan selalu kuat.”

Perkataan anak kecilku sungguh membuatku menangis. Bagaimana seorang anak kecil bisa mengatakan sebuah perkataan yang hanya bisa dilontarkan orang dewasa. Sungguh ini sebuah kepastian bahwa kekuatan anakku ada padaku. Jika aku mengeluh dan berputus asa dalam menghadang setiap hempasan takdirku yang penuh air mata, mungkin saja anakku juga akan menjadi seorang yang rapuh.

Anakku, dia seorang puteri kecil nan cantik. Wajahnya seperti bidadari, terlahir dari segala kepayahanku. Menjalani garis takdir sebagai seorang yatim, menjadi pedagang kaki lima bersamaku, dan saat remaja dimana orang menyebutnya sebagai usia sweet seventeen anakku terjun sebagai buruh paruh waktu. Ya, semua itu dijalani hanya demi membantuku memenuhi kebutuhan hidup. Kami berdua saling berpegang tangan, berikhtiar mengais rezeqi agar periuk nasi tidak terguling. Aku tetap setia dengan gerobak batagorku, sementara puteriku menghabiskan sisa waktu setelah jam sekolahnya usai untuk mengumpulkan rupiah dari membungkus keripik balado. 

Sebagai seorang ibu, sesungguhnya aku tidak pernah merelakan tangan-tangan halus anakku bekerja sebelum waktunya. Kerap kusaksikan bagaimana repotnya dia saat membagi waktu antara bekerja dan belajar. Terlebih beberapa bulan lagi dia akan menempuh ujian akhir. Aku kerap melarangnya untuk bekerja, tapi dia menolak.

“Uangnya akan kutabung untuk membayar biaya kelulusan. Apalagi sekolah kita berencana piknik ke luar kota setelah kelulusan nanti, masak aku tidak ikut. Ini kan terakhir kalinya. Ibu tidak usah khawatir, aku masih bisa membagi waktu. Yang terpenting aku sehat.” Katanya pada satu waktu.

Aku tidak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya menangis dalam hati. Rasanya besar sekali kesalahanku ini. Sejak kecil aku tidak pernah bisa memberinya kehidupan yang layak, kecuali hanya do’a-do’a yang tak pernah putus agar anakku menjadi manusia yang berjaya di dunia dan akhirat.

“Maafkan ibu, nak!” Ucapku lirih seraya kupeluk ia. Perlahan kurasakan hangat air matanya di tanganku. Dia menangis. Dia mengerti kesedihan seperti apa yang ada di dalam hatiku.

Selama Tuhan kasih nafas, maka selama itu pula alur hidup berjalan sesuai sekenario Tuhan. Tapi Tuhan tidak menetapkan semua takdir seseorang secara mutlak. Ada takdir yang berubah karena ikhtiar yang sungguh-sungguh. Seperti hari ini, ketika roda hidupku dan anakku telah berjalan jauh melewati banyak kisah yang mengharu biru, usiaku telah tiba di senja, dan anakku bukan lagi remaja SMA melainkan seorang yang dewasa, aku dan anakku kembali menangis seraya berpelukan. Kurasakan kembali air mata anakku mengalir hangat di tanganku. Aku menciumnya berulang kali, dia pun balik menciumiku.

“Terima kasih, ibu!” Tidak ada kalimat lain selain kalimat itu. Selebihnya hanya air mata.

Tidak hanya air mataku dan air mata anakku, tempat ini memang sedang dipenuhi banyak air mata manusia-manusia lainnya. Ada banyak para orang tua yang menangis, saling berpelukan dan saling menciumi. Mereka berbangga dan berbahagia karena perjuangan anak-anaknya untuk mencapai gelar sarjana telah usai. Terlebih bagi mereka yang sepertiku yang bersusah payah membangun kekuatan demi cita-cita besar sang buah hati, tentu tangis kebahagiaannya akan terasa berbeda. Melihatnya mengenakan toga, berjingkrak ria bersama kawan-kawannya, adalah bagian kecil dari gambaran kebahagiaan puteriku hari ini….

Tanganku sudah siap membuka pintu ruangan ini, tapi dari balik celah pintu sepertinya ada seorang pasien yang datang. Maka kuurungkan niatku untuk memasuki ruangan itu. Dari tempatku berdiri dapat kusaksikan bagaimana Dokter Haura begitu ramah terhadap pasiennya, sehingga pantas saja dia disenangi banyak orang. Dokter Haura sangat cantik, cahaya wajahnya masih seperti dulu, saat aku melahirkannya.

“Aku sudah dapat memenuhi keinginanmu, mas! Sekarang Haura telah menjadi seorang dokter. Aku yakin dari alam sana kau pun pasti senang melihat hal ini.”

Aku tersenyum, tak terasa telaga di mataku tumpah. Aku segera menghapus air mata itu, sebelum Haura datang dan ikut menangis.

BACA JUGA:

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan