buku-dongeng-rabindranath-tagore

Dongeng untuk Anak dari Rabindranath Tagore

Alkisah, seorang ayah bernama Subalchandra, dan seorang anak bernama Sushilchandra. Mereka berdua memiliki karakteristik berbeda. Si ayah sudah tua dan sangat ringkih. Ia sering masuk angin dan pegal-linu. Si anak, bersifat bandel, kurang santun, dan larinya bagai kijang.

Lakon hidup mereka memberi keanehan dan kelucuan tersendiri. Bayangkan, si ayah memiliki keinginan untuk jadi anak-anak, karena susah dan jengkel mengatur anak. Si anak, juga memiliki keinginan jadi seorang ayah, dikarenakan ia sering diatur-atur oleh ayahnya.

Kemudian, keinginan mereka berdua didengar dan dikabulkan oleh Peri Harapan. Esok harinya pun, hidup mereka berubah. Subalchandra, yakni si Ayah telah jadi dan melakoni hidup sebagai anak. Lalu, Sushilchandra, si anak juga telah berubah—dan melakoni hidupnya sebagai seorang ayah.

Dalam kehidupan sehari-harinya, mereka mulai mengalami kejadian-kejadian yang begitu ganjil, kaku, dan nampak aneh. Baik bagi dirinya maupun di hadapan orang sekitar. Mereka, sepertinya tak mampu memerankan lakon hidup baru yang diinginkan. Si ayah dan si anak makin kewalahan. Hidup mereka, yang ada dipenuhi duka, tak ada suka.

Akhirnya, mereka mulai berdoa untuk bisa kembali ke wujud semula. Di saat itulah, Peri Harapan pun tiba dan bertanya, “Nah, apakah kalian sudah kapok dengan harapan-harapan kalian?”

“Ya, Bunda, kami kapok. Tolong kembalikan kami seperti sebelumnya!” Kata mereka berdua. Pagi berikutnya, si ayah dan si anak telah menjadi dirinya sendiri seperti semula.

Kisah yang masuk di bagian Cerita lepas itu menyulut pembaca untuk mengidentifikasi ada gejala manusia untuk tak menjadi dan menikmati dirinya.  Pengimajinasian ayah dan anak itu menjadi penghilangan masa yang dilakoni—yang berarti pula menghapus keeksistensian dirinya.

*

Kisah itu ditulis Rabindranath Tagore—sosok sastrawan, pandai membuat syair, melukis, mencipta lagu, dan meraih Nobel Sastra 1913. Kisah/ cerita, terdapat dalam buku Tagore dan Masa Kanak (2011).

Buku ini menyapa pembaca untuk mengetahui seluk-beluk, kreativitas, dan makna yang terkandung dalam karya Rabindranath Tagore. Seperti yang diketahui pembaca lewat judul bukunya, maka isi buku yang berisi 25 cerita pendek itu sebagian besar memang mengisahkan seorang anak dengan orang tua (orang yang lebih dewasa). Kisah-kisah itu pun terbagi menjadi 3 bagian, yakni Cerita lepas; Kakek dan Cucu; serta Masa Kanak.

Pergumulan pembaca pada cerita-cerita di buku ini bisa mengingatkan masa kanak kita. Kisah imajinatif dari Rabindranath Tagore ini menjadi penyadaran kita semua untuk lebih menghargai anak dan merenungi masa kanak. Sebab, anak dan masa kanak menjadi bahan pelajaran yang berharga dalam mengarungi kehidupan ini maupun yang akan datang. Siapa yang acuh tak acuh pada kenyataan yang pernah kita alami itu, maka sebenarnya kita tak menghargai diri sendiri dan mengasingkan diri pula.

Rabindranath Tagore, dalam buku ini mengisahkan tentang hubungan seorang anak dan ayah dengan bernas, segar, jenaka, cerdas, liar, bahkan satire. Ia mengisahkan bagai pendongeng yang mahir dan memikat pendengar maupun pembacanya. Dalam bagian itu, pengarang memosisikan dirinya sebagai pendongeng (pencerita). Dalam dongeng itu pun, tokoh fiktif memerankan sebagai pendongeng pula. Namun, hal yang terpenting dari semua itu, kisah dari tagore ini memberikan deskripsi pada pembaca bahwa anak di hadapan orang dewasa atau orang tua, diibaratkan sebagai “Peri Harapan”.

Lebih lanjut, buku ini sepertinya telah menjadi kisah biografi Tagore kecil, meski terbalut dengan realitas fiktif. Pembaca bisa menilik di bagian akhir, yakni Masa Kanak. Di sinilah, Cerpen biografi ini menjadi babak lanjutan bagi Tagore dan pembaca bahwa permasalahan tentang anak begitu esensial di kehidupan ini.

Kita akan tahu bahwa semua itu menjadi tikungan nasib Tagore kecil dari realitas sosialnya yang dipenuhi intervensi orang tua dan pabrikasi. Bahkan, kritik pada dunia pendidikan yang belum mendidik anak dengan sebenar-benarnya pun menjadi biografi dan resistensi Tagore kecil. Ini dapat diketahui pembaca dari pengakuan yang terselip dalam kumcer tersebut. Begini pengakuannya: “…anak seperti aku tidak bisa dipaksa untuk menjalani mesin giling pendidikan. Para cerdik-cendekia di masa itu belum betul-betul menekankan pentingnya mencetak semua anak dengan cetakan priyayi-sekolahan”. Maka, itu semua yang perlu menjadi tanda seru bagi kita kini untuk tak menganiaya anak dan menyia-nyiakan masa kanak.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan