buku-aan-mansyur

Dongeng dan Nostalgia di Puisi Aan Mansyur

            Sebagai karya sastra yang ditulis, puisi bisa dinikmati dengan berbagai macam cara. Bisa saja dengan deklamasi, pertunjukan atau dengan membacanya sembari meresapinya. Tetapi bagaimana bila puisi itu sendiri sudah merupakan bunyi-bunyian yang indah? Barangkali kita hanya cukup untuk mendengarkannya saja dan memasang telinga kita dengan baik-baik.

            Seperti itulah saya kira gambaran bagaimana puisi Aan Mansyur di bukunya ini. Puisi-puisi Aan mansyur sendiri sudah merupakan bunyi-bunyi yang dengan sendirinya saling susun-menyusun nada-nadanya sendiri.

            Membaca puisi-puisinya, kita akan disuguhi oleh—rima yang terjaga rapi dan irama yang teratur—meminjam kata Sapardi. Rima yang rapi dan irama yang teratur ini ditambah oleh bagaimana penyair menyajikan sebuah dongeng seperti sahibul hikayat yang menghadirkannya untuk kita.

            Untuk itulah mari kita telusuri dongeng Aan Mansyur di puisi-puisinya, di puisi yang berjudul Bermain Petak Umpet misalnya kita akan menemukan kisah dan kerinduan antara masa lampau dan masa kanak-kanak. Ada semacam kerinduan yang hampir lepas yang ingin diungkap penyair melalui puisi itu. Rasanya baru dua, tiga bulan / bukan sepuluh/ anak-anak belum sempat meninggalkan diri dari kita. Larik ini menggambarkan betapa penyair tak bisa melepaskan yang lampau, yang ada dalam dirinya, diri kita semua. Kita sadar dengan semakin bertambahnya umur kita, permainan petak umpet seperti jadi nostalgia semata yang terlampau cepat. Karena itulah penyair menutupnya dengan kalimat mengesankan : barangkali kau suka untuk menunggu/ dan aku mulai cemas kehabisan lagu.

            Di puisi yang lain, unsur nostalgia itu ada. Ada kesadaran penyair menghadirkan yang lampau, yang dekat dan lekat di tubuh kita tetapi tak bisa dijangkau. Mari menyimak puisi bertajuk Pulang ke Dapur Ibu : Aku hidup diantara orang-orang yang memilih melakukan usaha lebih keras untuk menyakiti orang lain/ daripada menolong diri sendiri. Aku ingin pulang ke dapur ibuku/ melihatnya sepanjang hari tidak bicara/ aku ingin menghirup seluruh kebahagiaannya/ yang menebal jadi aroma yang selalu membuat anak kecil dalam diriku kelaparan.

            Dapur ibu di sini digunakan penyair untuk mencecap yang lampau. Melalui masakan, melalui dapur, kenangan rumah menjadi sedemikian lekat dan pekat dengan apa yang diolah dan dibuat ibu. Penyair hendak menghadirkan ibu, dan masa lampau, menjadi dekat membawanya ke dalam puisinya hari ini. Kita bisa menyimak bagaimana penyair terasa membuat imajinasi yang liar sekaligus lirih untuk meredam dan mengingat yang lampau dan menampik yang sekarang. Di akhir puisi itulah usaha itu dilakukan : Aku ingin melihat ibuku tetap muda/ dan mudah tersenyum/ aku ingin menyimak seluruh kata yang tidak ia ucapkan/ aku ingin hari-harinya sibuk menebak siapa yang membuatku tiba-tiba / suka bernyanyi di kamar mandi.

            Di puisi lain kita akan melihat Aan berusaha sebaik mungkin untuk menyusun dan menulis puisinya sebagai sebuah upaya untuk berdamai dengan yang lampau atau menghadirkan sosok “ibu” dengan sesuatu yang berbau silam, lampau.  Simaklah puisi betikut ini : Aku memilih untuk tinggal di kota / dan itu adalah hukuman/ jangan pernah mengunjungiku/ agar aku bisa tiba-tiba merindukanmu/ diantara hal-hal yang teratur. Agar aku memiliki satu hal indah/ yang bisa membuat dadaku bersedih / sebelum tidur memeluk diri sendiri/ dan tidak memimpikan apa-apa selain masa silam di rahimmu (Surat Pendek Buat Ibu di Kampung).

            Pada puisi ini jelas sekali ada semacam kerinduan yang mendalam akan masa silam, kerinduan akan kasih sayang ibu. Tetapi kerinduan itu diajaknya berdamai dengan apa yang penyair alami di masa sekarang.

            Melalui puisi-puisi di buku ini, Aan Mansyur memang telah mengajak kita untuk mendengarkan nostalgia dan dongeng masa silam dari puisi-puisinya. Meski kita juga akan disuguhi kisah tragis dan romantik di beberapa puisi lainnya. Tetapi, sebagai karya puisi, tema yang digarap oleh Aan Mansyur sebenarnya tema lama, namun kekuatannya justru pada teknik. Meski demikian, puisi yang lebih menekankan pada estetika, cenderung tak difahami oleh banyak pembaca awam.

*) Penulis adalah Pengasuh MIM PK kartasura, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com 

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan