dunia-di-balik-hijab-antara-seks-dan-hijab

Dunia di Balik Hijab: antara yang Liberal dan Puritan

Burqa dan hijab memiliki kesamaan selalu mengalami perubahan bentuk dan sejarahnya masing-masing. Setidaknya begitulah dunia di balik hijab yang diungkap oleh Shereen (2013) dalam buku ini.  Dunia hijab dikisahkan pelan-pelan oleh Shereen dengan mengurai dan membuka pelan-pelan tirai dunia di balik hijab itu sendiri.

Melalui fenomena kaum muda modern, gaya, mode, hingga trend pakaian remaja. Shereen mengungkap dunia yang ada di balik pakaian itu. Shereen semula menangkap kekaguman dalam dunia anak muda yang berkumpul di lapangan tahrir yang menyuarakan Revolusi di tahun 2011. Shereen juga melihat perubahan dari aspek sejarah, pergolakan, hingga cara kaum muda menghadapi lingkungan masarakatnya sendiri. Melalui revolusi itu pula banyak yang berubah dari kaum muda yang mulai sedikit-sedikit mulai menentang tradisi mereka. Meski pada tahap selanjutnya para pemudi (kaum wanita) di Mesir masih saja tunduk pada keluarga, norma dan tatanan yang ada.

Shereen menelisik perubahan yang terjadi dalam dunia Arab modern itu dengan cara yang selama ini dianggap tabu. Dari urusan tubuh dan sexsualitas, Shereen menyibak yang selama ini tertutupi selama puluhan tahun. Shereen menilai perubahan yang selama ini terjadi memang tak bisa dilepaskan dari arus budaya yang memasuki dunia Arab modern salah satunya teknologi.

dunia-di-balik-hijab-antara-seks-dan-hijabTeknologi seolah menjadi kunci bagi kita (orang luar) memasuki dunia Arab modern dengan lebih intim. Meminjam istilah yang digunakan Shereen— Seks melalui layar—Shereen menuliskan : “Meskipun enggan mengakui sebagaimana dalam survey resmi, banyak kaum muda Mesir, secara mengejutkan, memunguti fragmen-fragmen pengetahuan seksual mereka yang tersebar dari televisi, dan internet—film dan khususnya film porno yang menjadi sumber utama”.

Dunia hijab tak bisa dilepaskan dari alam kebudayaan, masyarakat, hingga tradisi dalam suatu wilayah tertentu
(Dewi Candraningrum, feminis)

Hal inilah yang mengejutkan dan mengundang Shereen meneliti lebih jauh mengenai fakta-fakta yang ada di dalam dunia maya itu. Ternyata, hasilnya mengejutkan dan mengagetkan, Mesir dan Dunia Arab modern seolah adalah dunia yang berada dalam kungkungan adat, tradisi, hingga kuasa patriarchal atau kuasa kepala keluarga yang dalam hal ini tetaplah kaum lelaki.

Meski demikian, kaum lelaki muda yang melakukan perlawanan dan juga pembangkangan terhadap sistem ini belum sepenuhnya berani terang-terangan. Shereen menyebut seks dalam dunia Mesir dan Arab modern sebagai “sesuatu yang ramai dilakukan dalam praktek, tapi selalu diam-diam dan sepi dari perbincangan”.

Tidak hanya itu, mereka kaum lelaki juga seringkali gagap, kaku dan kebingungan menghadapi problem puberitas dan seksualitas mereka. Karena itulah, kaum lelaki Mesir seperti mendapatkan angin segar setelah adanya revolusi 2011 di lapangan tahrir. Tidak hanya urusan seksualitas dan jebolnya dinding adat yang selama ini membelenggu mereka, semangat revolusi seolah juga menggiring mereka untuk meruntuhkan dinding atau tembok kekuasaan yang menindas.

Kebebasan seolah menjadi seruan kaum muda Mesir yang rindu akan kebebasan dan keterhimpitan dari dunia yang begitu kuat dilindungi oleh keluarga, masyarakat hingga aturan Negara. Mengutip pandangan Wilhelm Reich (1946:38) dalam bukunya The Mass Psychology of Fascism, ia mengatakan: “ Tidak ada program kebebasan yang memiliki kesempatan untuk sukses tanpa adanya perubahan struktur seksual manusia” (h. 27).

Sikap Masyarakat

Sikap masyarakat Mesir sendiri melihat persoalan seksual menjadi beraneka ragam. Sedikit banyak mengalami pergeseran, tapi masih banyak arus dominan yang membuat pergeseran ini menjadi lambat. Hampir banyak kalangan skeptis perubahan cara pandang terhadap urusan seksualitas yang ada di Mesir ini akan berubah hingga puluhan bahkan ribuan tahun ke depan. Urusan seksualitas hingga urusan pakaian sudah menjadi urusan yang melekat tak hanya dari lingkungan keluarga, bahkan hingga Negara.

Shereen menyebut “ sewaktu mereka memiliki sedikit pengaruh politik, kaum konservatif Islam seringkali memanfaatkan seks sebagai cara yang mudah untuk menyerang rezim; namun mereka lebih jarang mengkritik tidak bermoralnya penganiayaan, ketidakadilan ekonomi dan korupsi. Diharapkan bahwa kekuatan politik baru, dalam semua bidang, akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk memperbaiki hal ini dan kegagalan mendasar lainnya selama enam puluh tahun terakhir dibanding menangkapi kaum laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, menyensor internet atau membatalkan undang-undang yang memberdayakan perempuan, landasan bagi perubahan sosial” (h.367).

Di sisi lain, orang-orang yang kukuh mempertahankan tradisi dan juga agama sebagai landasan cara pandang mereka, masih memandang seks beserta penyimpangannya perlu diatur, dikondisikan, ditertibkan. Karena mereka melihat penyimpangan, penyelewengan dan juga membiarkan kebebasan seksual berlangsung justru akan mendatangkan kutukan dan bencana bagi wilayah mereka sendiri. Tidak hanya itu, urusan seksualitas di Mesir dan juga Arab modern tak bisa dilepaskan dari cara pandang kaum puritan yang ingin membawa arus agama ke dalam pemahaman jaman Rasulullah, SAW. Karena itulah, burqa’, cadar, hijab adalah cara paling mudah mengkondisikan nafsu seksual mereka, para kaum lelaki. Dengan mengkondisikan pakaian perempuan seperti itu, mereka seolah bisa menundukkan naluri yang sebenarnya ada pada kedua belah pihak laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Harapan-Harapan

Apa yang diungkap oleh Shereen dengan mengurai dan menyibak data-data statistik fenomena seksual, kaum gay, hingga penyimpangan seksual serta pernikahan siri yang ada di dunia Arab modern bukan sekadar untuk motif menelanjangi dan membuka apa yang selama ini tertutup selama puluhan tahun. Melainkan lebih dari itu, Shereen dan kaum muda Mesir lainnya punya harapan akan adanya suatu langkah alternatif, ada lembaga yang lebih terbuka, dan juga suara yang lebih bebas daripada sekadar seksualitas yang ditutup-tutupi, seksualitas yang dikungkung, dibelenggu dan dibiarkan tabu oleh landasan moralitas, hingga atas dasar religi atau kedok agama.

Lebih jauh lagi, dengan terbukanya dinding dan tembok otoritarianisme dan suara kaum muda Shereen mengajak pada para kaum muda dan penguasa Mesir untuk lebih mengurusi ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dan juga akses pendidikan yang dianggap lebih penting ketimbang mengurusi urusan seksual. Meski demikian, provokasi yang diungkap dan disuarakan oleh Shereen tentu saja tidak harus kita penuhi sepenuhnya. Sebab, urusan agama dan juga urusan seksualitas bila diperlakukan dengan bijak tentu akan menghasilkan alternatif yang brilliant. Pada posisi inilah, kita berhak untuk melakukan penolakan penuh pada opsi-opsi Shereen yang lebih mengarah pada arus liberalisasi.

, , , , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan