simbol-ekofeminisme

Ekofeminisme dan Bedak Tebal Kaum Sosialita

Perempuan adalah manusia pertama yang tersentuh peradaban. Hal ini disampaikan oleh Soekarno sewaktu memberikan kursus mengenai Pancasila. Ceramah kursus Bung Karno tersebut dapat kita baca dalam buku “Pancasila sebagai Dasar Negara” (PT Inti Idayu Press Cetakan 1 : 1984). Dalam buku tersebut, Soekarno begitu menghargai jasa perempuan dalam menyumbang kemajuan peradaban. Sebuah patung perempuan pantas didirikan sebagai bentuk penghormatan kepada kaum hawa, terang Soekarno dalam pidatonya.

Meskipun Bung Karno dikenal jago memikat perempuan, pidato di atas bukan sedang bertendensi untuk tebar pesona kepada kaum hawa. Bung Karno mengungkapkan itu semata sebagai sebuah analisis historis perkembangan peradaban manusia. Hal ini tentu tidak sama dengan gombalan berselimut diskusi khas ala mahasiswa aktifis.

Analisis historis tersebut memiliki beberapa fase perkembangan manusia.Tiap fase historis dibedakan dari cara manusia memperoleh makanannya. Berburu hewan dan mengumpulkan biji-bijian merupakan fase awal perkembangan manusia. Pada fase ini manusia berpindah tempat, namun terkadang tinggal di gua dan hutan. Peradaban belum lahir. Pada tahap ini, manusia hanya mampu membuat alat sederhana dari batu dan kayu untuk berburu.

Setelah bergulirnya waktu, perlahan manusia mulai mengerti bahwa kambing, sapi dan ternak lainya bisa dipelihara. Perburuan hewan akhirnya berganti menjadi peternakan. Begitu pula dengan pengumpulan makanan, lambat laun manusia mulai mengenal bahwa biji-biji jagung, padi, dan buah-buahan dapat ditanam. Manusia akhirnya mengenal pertanian.

Dikenalnya pertanian oleh manusia tidak lepas dari jasa perempuan karena dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Beban perempuan untuk mengandung dan melahirkan memaksa ia harus menetap dalam waktu lama. Namun tanpa disangka, beban kodrati yang dipersoalkan oleh feminisme liberal sebagai beban perempuan, justru menjadi kebangkitan rasa kebudayaannya. Selama menetap, naluri hidupnya bangkit memicunya berpikir keras atas jagung-jagung yang tumbuh di tempat penyimpanan. Hal itu memberinya inspirasi. Ia pun mulai menggali tanah sekitar dan menanamnya.

Tidak hanya pertanian, ide tentang rumah, ilmu jahit, ditemukanya periuk, hingga hukum“matriakal” merupakan penemuan perempuan. Semua ini tidak lepas dari faktor beban perempuan untuk merawat anak. Ia melihat bayinya perlu tempat berteduh maka munculah ide membuat rumah. Hawa panas dan dingin yang membuat bayinya menangis memunculkan pikiran untuk menggabungkan kulit binatang menjadi baju yang hangat. Beban kodrat sebagai perempuan membuatnya mampu membukakan gerbang kemajuan kehidupan manusia.

Di Bawah Kuasa Bedak

Cerita Bung Karno di atas mengingatkan saya pada sebuah esai karangan Luxy Nabela Fares yang berjudul “Belajarlah dari Perempuan” edisi Mimbar Mahasiswa Solopos 20 Juni 2017. Esai tersebut membahas peran perempuan dalam gerakan lingkungan. Gerakan perempuan dalam mengkawal isu lingkungan biasanya disebut ekofeminisme. Kenyataan historis bahwa perempuan sebagai makhluk pertama yang beradab membuat saya yakin bahwa ia layak menjadi guru umat manusia. Namun persoalannya apakah perempuan telah mampu menjadi sekolah bagi kita semua saat ini?

Jika perjuangan ibu-ibu kendeng yang perlu diteladani, maka ini tentu menjadi keharusan bersama sebagai manusia. Ibu-ibu kendeng merupakan sekelompok kecil perempuan yang sadar lingkungan di antara ribuan ibu-ibu rumah tangga yang gemar membuang sampah di sungai sembarangan. Begitu pula dengan mahasiswi, calon ibu-ibu di masa depan. Botol maupun gelas plastik minuman sering mereka tinggalkan begitu saja di tempat duduk taman kampus. Hal ini memperlihatkan kesadaran ekologi masih sangat lemah di dunia kampus, tak terkecuali mahasiswi.

Selain pembuangan botol minuman, persoalan gaya hidup hedon menjadi tantangan bagi gerakan ekofeminisme. Sangat sulit menemukan mahasiswi yang gemar menanam bahkan memiliki cita-cita bertani seperti Sri Gunarti. Biasanya, hijaunya alam hanya menghiasi di foto-foto keren nan imut mereka di instagram. Disisipkanya caption “cintailah alam” dalam foto seolah telah menjadi bukti kesadaran lingkungan tanpa perlu tangan menjadi kotor oleh tanah atau sampah.

Ekofeminisme menghadapi persoalan serius pula atas bedak-bedak tebal mahasiswi. Bedak tebal seringkali menghambat perkembangan keilmuan dan kesadaran lingkungan. Belanja kosmetik yang mengalahkan anggaran belanja buku tentu hanya membuat mahasiswi pandai berdandan tapi tidak bisa berdiskusi. Obrolan tentang buku, perkembangan sosial, dan ekologi tentu akan tersingkirkan jika salon kecantikan yang diutamakan. mengikuti ajakan aksi di jalan raya yang panas hingga bakar ban sudah pasti bukan hal penting bagi kaum sosialita kampus tersebut. Apalagi dengan aksi menyemen kaki di depan Istana Negara sebagai bentuk protes atas perusakan lingkungan. Gerakan ekofeminisme memiliki tantangan berat di sini.

Bedak, gincu, parfum dan keahlian berdandan mungkin telah lama dipersiapkan mahasiswi untuk menyesuaikan lingkungan kerja kantoran. Umumnya, pekerjaan kantor telah menjadi impian sebagian besar mahasiswa. Bedak tentu tidak cocok dengan sawah karena akan sia-sia jika terkena lumpur sawah atau keringat sebab terik matahari di ladang. Parfum pun mubazir jika hendak blusukan tempat sampah guna mengkampanyekan gerakan daur ulang sampah. Profesi yang berkaitan dengan lingkungan jarang sekali diminati oleh perempuan. Jika hal demikian tidak segera disadari, maka masa depan ekologi pun akan mati di bawah kuasa kosmetik.

Jika Luxy ingin menempatkan perempuan sebagai tempat berguru, sebaiknya Luxy perlu menyadarkan perempuan agar mampu menjadi “madrasah terbaik” bagi umat manusia. Saya masih percaya terhadap ungkapan Kartini bahwa perempuan adalah guru umat manusia. Oleh karena itu, Kartini sangat getol memperjuangkan kebebasan agar perempuan dapat mengikuti bangku-bangku pendidikan, bukan untuk hanyut dalam pusaran kontestansi kecantikan dan hedonisme kampus.

Baca juga Kuasa Perempuan Jawa

Sejarah perempuan sebagai “Sang Pemula” peradaban seharusnya menjadi semangat serta tanggungjawab agar mahasiswi mulai menggemari buku dan berdiksusi. Jika perempuan terdidik, maka anak-anak yang lahir tentu akan terdidik pula. Anak-anak yang terdidik kelak akan membawa arah bangsa yang memiliki empati besar terhadap alam. Mantap Jiwa!

 

Penulis merupakan Mahasiswa Aktif Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Penulis Merupakan pengelola Toko Buku Online Abjad Rakjad

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan