kumpulan-esai-yang-bertutur

Esai Yang Bertutur

            Semula esai memang diartikan sebagai “coba-coba” oleh filsuf Perancis bernama Montaigne. Karena bersifat coba-coba, tentu saja esai tak seserius dan seobjektif yang kita kira. Ini tentu berbeda dengan gagasan atau opini. Ada ruang kontemplatif, personal dan mendalam.

            Kita tak berkehendak mengurusi pengertian esai. Pembaca diperkenankan melacak dan menelusuri pengertian esai lebih jauh baik dari filsuf luar negeri sampai para pemikir di Indonesia. Kita mulai beralih pada pertanyaan sepele, mengapa kita perlu menulis esai? Orang boleh beradu argumen dan berbeda pendapat mengenai ini. Akan tetapi kita bisa merujuk pada buku terbaru berkaitan dengan dunia esai di Indonesia dari buku Inilah Esai garapan Muhidin M. Dahlan. Pengarsip ulung ini jeli mendokumentasikan esai dari tahun ke-tahun yang ditulis oleh para penulis Indonesia.

            Mari kita mencoba menelusuri buku kumpulan esai garapan Fanny Chotimah bertajuk Dongeng Ibu.  Buku berisi 11 esai dengan beragam tema. Puluhan esai dihadirkan, pembaca diajak untuk menyimak dan membaca esai di buku ini satu persatu. Pembaca digoda dan dirayu dengan kalimat awalan yang memikat.

            Kita bisa menyimak bagaimana penulis menuliskan pembuka di esai bertajuk Mega Mendung di Kepala Fitri :”Sebuah rangka dari besi, dua penari lelaki di atas jembatan itu, tubuhnya terlilit kain merah marun. Di bawahnya tujuh penari berdiri di atas wajan, mereka menggerakkan kedua kakinya di atas wajan itu. Suara debur ombak”.

            Pembaca diajak memasuki dunia visual dan ilustrasi yang digambarkan penulis. Barulah di paragraf kedua kita menemukan titik terang ketika penulis melanjutkan dengan kalimat berikut : “ koreografer Fitri Setyaningsih kembali mempresentasikan work in progress  berjudul Mega Mendung, bertempat di Teater Arena Taman Budaya Surakarta, 5 November 2014”.

            Dari kalimat di paragraf kedua, kita bisa melihat bagaimana penulis mencoba gaya reportase jurnalistik ala Linda Christanty. Esai ditulis setelah penulis mengalami peristiwa atau kejadian. Penulis ingin menangkap makna peristiwa. Melalui esai, penulis berharap ada yang dibagikan kepada pembaca setelah penulis mengalami ketakjuban terhadap peristiwa.

            Penulis berlagak jadi wartawan, meski kita melihat reportase bernada esai ini masih berbaur dengan gagasan atau opini penulisnya. Kita bisa menilik pada kalimat berikut “ sebagai seorang creator keberadaan riset sangat penting karena bisa memberi kedalaman pada karya yang diciptakan” (h.7).

            Di sebelas esai yang dihadirkan penulis, kita memang bakal menemui awalan esai yang menarik, meski kita akan menemukan kalimat penutup yang klise. Simaklah penutup esai berjudul “Museum Ingatan” : “mengutip Milan Kundera bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa”(h.17).

            Penulis mencoba untuk memadukan referensi-referensi, memasukkan buku-buku, tapi kurang luwes. Pada esai, kita tak bisa menafikkan peran bahasa. Bahasa yang tak terlalu bertele-tela, tak terlalu serius, bahkan bernada guyon lebih menarik ketimbang esai bernada reportase tapi tampil dengan bahasa yang kaku.

            Kita bisa menaruh dugaan bahwa esai yang ditulis oleh Fanny Chotimah memang cenderung bernada bertutur. Fanny saya kira terlampau mengejar waktu untuk menuliskan idenya. Ia barangkali tergesa-gesa dan ingin cepat selesai menuntaskan esainya. Sehingga kita sebagai pembaca bakal merasakan esai yang ditulis Fanny kurang berkesan.

            Di Esai yang berjudul Museum Ingatan, Merawat Ingatan dalam Senyap, atau di esai berjudul Pedofilia, Predator dan Penganiaya anak,  kita bakal disuguhi esai berbau aktual. Penulis menuliskan esainya disaat momentum dan saat yang tepat di masa itu. Tapi bisakah penulis mempertahankan aktualitas esainya di waktu sekarang?. Inilah tantangannya. Fanny sepertinya gagal meyakinkan pembacanya bahwa suaranya, gagasannya, masih aktual sampai sekarang. Gagasannya cenderung lebih bersifat terbatas pada saat itu. Sebut saja gagasan tentang 65 yang dituliskan di esainya berjudul Merawat Ingatan dalam Senyap misalnya. Ada kesan penulis hanya memotret peristiwa di masa film senyap diputar saja, tanpa bermain tafsis dan subjektifitas dari penulis.

            Di buku ini, ada kesan penulis memadukan gaya reportase bernada prosaik meski  kurang lentur sehingga lebih memunculkan kesan bertutur. Akan tetapi pembaca bakal terobati saat membaca esai yang menjadi judul buku ini. Dongeng Ibu berhasil menyelamatkan penulisnya menghadirkan esai yang personal dan mendalam.

 

 

*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, Pengasuh MIM PK Kartasura

             

           

             

 

            

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan