eksploitasi-alam-dan-buku-pertambangan

Eksploitasi Alam dan Deeskalasi Kemanusiaan Pemimpin

Oleh Elvan De Porres

Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibat-akibat tindakanmu dapat diperdamaikan dengan kelestarian kehidupan manusiawi sejati di bumi” (Hans Jonas, filosof Jerman).

Tak dapat dimungkiri, kemajuan zaman dengan bermacam-macam pirantinya menyebabkan manusia semakin memiliki keterbukaan berpikir guna mempertahankan hidupnya. Ini merupakan hal positif, tetapi pada faset lain memiliki dampak negatif yang membawanya pada aksi menguasai sesama dan alam lingkungannya. Manusia dijadikan budak, keutuhan alam pun digarap retak. Di sana-sini, kesewenang-wenangan penguasaan itu menjadi hal yang lazim, tak kenal keder, bahkan memuakkan. Yang dipikirkan manusia hanyalah isi perutnya dan nilai-nilai kemanusiaan dikorbankan begitu saja.

Salah satu kontur negatif ialah eksploitasi alam irrelevan dan tidak bertanggung jawab oleh perusahaan asing atau transnasional, seperti yang seringkali terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Pengaruh neoliberalisme yang begitu kuat dan merajalela menyebabkan negara memiliki intervensi kecil terhadap pelbagai kebijakan yang prorakyat. Pada satu sisi, percaturan bebas semacam ini memberikan keleluasaan kepada korporasi untuk mempolitisasi negara sehingga bisa dengan bebas menancapkan kaki keruknya di suatu daerah/wilayah.

Jika dibaca dalam kacamata politik lokal, pada gatranya, eksploitasi alam irrelevan dan tidak bertanggung jawab tersebut merupakan langgam penjungkirbalikan nilai kemanusiaan para pemimpin/pemerintah daerah. Sebab mereka telah meloloskan proyek-proyek eksploitasi dengan mengabaikan sekelumit pertimbangan dan prinsip kebutuhan rakyat. Menurut Armawi (2007), perilaku manusia yang hanya mementingkan hasrat dan nafsu konsumtifnya dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut akan berdampak pada konflik kepentingan. Realitas menyajikan demikian. Bahwasannya, banyak tindakan eksploitasi berefek destruktif bagi masyarakat lokal dan hanya menguntungkan pengusaha dan penguasa. Makanya, yang menjadi tesis kunci risalah ini ialah eksploitasi alam non-kemaslahatan dan deeskalasi/penurunan nilai kemanusiaan pemimpin.

Kita boleh mafhum bahwa setiap pemakaian hasil-hasil alam, semisal pengelolahan hutan, pertambangan mineral, minyak dan gas, bertujuan untuk kesejahteraan dan pembangunan daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam kepada masing-masing daerah. Namun, kaidah hukum semacam ini mestilah ditilik secara bijaksana oleh pemimpin daerah. Ini supaya kebijakan-kebijakannya sungguh menegaskan jargon bonum commune. Dengan begitu, ketika akan ada upaya eksploitasi, pemerintah bisa memperhatikan kaidah kebergunaan, urgensitas, dan relevansinya dengan kebutuhan rakyat. Jangan sampai landasan konstitusi menjadi rasionalisasi absolut dalam pemulusan proyek-proyek eksploitasi dari pihak luar. Sebab, seringkali kondisi medan dan kebutuhan masyarakat tidaklah memungkinkan terjadinya itu. Berhubungan dengan ini, realitas di tanah Flores-Lembata, Nusa Tenggara Timur misalnya dalam buku Pertambangan di Flores-Lembata. Berkah atau Kutuk? bisa menjadi pembelajaran berharga (Bdk. Jebadu dkk., ed., 2009). Bahwasannya, persoalan seputar eksploitasi menyebabkan kerusakan ekologis, menelantarkan potensi geologis yang lebih relevan, dan tentu mengandung banyak sperma politis-parsial.

Sebuah kecemasan patut dilayangkan apabila pemimpin daerah menjadi boneka para investor. Sungguh miris, ironis, bahkan tragis. Investor (baca: kapitalis perusak alam) yang terjun dalam konstelasi eksploitasi bisa saja bermain licik di atas opera merkantilisme. Para pemimpin lokal kemudian dikendalikan dengan gampang. Salah satu bukti nyatanya ialah penangkapan mantan Bupati Tanah Laut, Kalimantan Selatan, Adriansyah, oleh KPK karena menerima suap dari pengusaha Andrew Hidayat terkait izin pertambangan batubara di daerah itu (bdk. Kompas, 11 April 2015, hlm. 1). Pemulusan hegemoni eksploitatif semacam ini merupakan pencideraan terhadap demokrasi.

Gagasan fisikawan Fritjof Capra dalam The Turning Point (1982) bahwa dunia Barat sungguh dipengaruhi oleh pandangan tentang alam yang mekanistis kembangan Descartes bisa menjadi semacam awasan. Baginya, pandangan Descartes telah memberikan persetujuan ilmiah pada manipulasi dan eksploitasi alam. Makanya tidaklah mengherankan apabila dedengkot perusahaan transnasional cenderung menekankan perbedaan antara perusahaannya dan masyarakat lokal, karena mereka kadang menomorduakan kepentingan negara tuan rumah dan lebih mementingkan negaranya (bdk. Kuin, 1987, hlm. 57).

Selain itu, tendensi penguasaan alam secara brutal sejatinya juga menjadi telaah dalam pemikiran filosof Horkheimer dan Adorno. Max Horkheimer (1895-1973) dalam buku Eclipse of Reason mengkritik apa yang disebutnya “rasio instrumental”, yaitu suatu pendapat sempit tentang rasio, di mana rasio disamakan dengan kemungkinan untuk memperalat dunia (bdk. K. Bertens, 2014, hlm. 266). Pendewaan rasio semacam itu menyebabkan alam pun dipergunakan hanya untuk kepentingan akal budi (baca: ilmu pengetahuan). Padahal, alam sesungguhnya merupakan sesuatu yang terbatas dan butuh konservasi atasnya. Theodor W. Adorno (1903-1969) juga melihat hal yang sama. Baginya, prinsip penguasaan itu sama seperti prinsip rasionalitas. Hal ini dapat dimengerti dalam artian bahwa melalui rasionalitasnya, manusia menaklukkan bumi kepadanya. Namun, dengan menaklukkan alam, manusia belum mencapai kebebasannya. Lebih lanjut, justru keinginan untuk menguasai alam membawa manusia pada sikap menguasai dirinya sendiri (bdk. ibid. hlm. 273). Dapat dikatakan pula, sesama manusia kemudian dijadikan budak.

Pemikiran kedua filosof kontemporer tersebut mewanti-wanti kita sekalian untuk berpikir kritis atas pelbagai ragam eksploitasi yang terjadi selama ini. Celakalah kita apabila memiliki pemimpin yang mendukung usaha eksploitasi termaktub. Sebab ini sungguh bertentangan dengan esensi pemimpin itu sendiri dalam etalase keberdemokrasian bangsa ini. Pemimpin seyogianya harus mementingkan prinsip keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dan, apabila diabaikan, yang terjadi hanyalah gamis contradictio in se, sebab bagaimana mungkin menciptakan kesejahteraan rakyat tetapi dengan menganyirkan variabel kesejahteraan itu sendiri.

Akhirukalam, kebijakan eksploitasi alam haruslah dipikirkan secara bijaksana oleh para pemimpin daerah dengan memperhatikan fakultas kebergunaan, urgensitas, dan relevansinya dengan kebutuhan rakyat. Kebijakan pemimpin mestilah merupakan pengejahwantahan suara rakyat. Pemimpin harus berani keluar dari zona nyaman menara gading kekuasaannya untuk menentang korporasi yang hendak meluluhlantahkan kehidupan rakyat. Jangan sampai ia malah menjadi budak perusahaan asing, mempertegas tesis Adorno, dan membiarkan eksploitasi terjadi secara amburadul dan tidak bertanggung jawab. Maka eksploitasi bukanlah hanya pada sumber daya alam, melainkan juga terhadap diri pemimpin itu sendiri. Sungguh, sebuah deeskalasi kemanusiaan.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan