filosofi-segelas-kopi

Filosofi Hidup dan Sebuah Gerakan Maju

Oleh Elvan De Porres

Tulisan ini terinspirasi dari cerita pendek Filosofi Kopi karya Dee (Dewi Lestari) yang ditulisnya pada 1996. Cerpen yang telah difilmkan dengan judul yang sama ini mengisahkan Ben dan Jody yang terlibat dalam usaha kedai kopi. Ben sebagai seorang barista handal berkeliling dunia untuk mencari ramuan-ramuan kopi terbaik. Namun, yang menjadikan kedai itu istimewa adalah pengalaman-pengalaman ngopi yang ia ciptakan. Setiap jenis kopi selalu mendapat tilikan filosofis dan memiliki pandangan hidup tersendiri. Sebut saja cappuccino yang cocok bagi orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan, ataupun kopi tubruk yang tidak peduli penampilan, kasar, dan tak membutuhkan skill khusus namun berdaya pikat pada aromanya.

Akan tetapi, Ben mendapat tantangan dari seorang pengunjung untuk membuat kopi bercita rasa sempurna. Ia akhirnya penasaran karena kopi suguhannya belum sempurna sesuai permintaan. Sebab cita rasa kopi sempurna hanya ada di sebuah lokasi di Jawa Tengah. Kedua anak muda itu pun tertantang untuk mengunjungi warung reot kopi tiwus termaksud. Dan, alhasil rasa kopi tiwus Pak Seno memang sempurna. Semangat hidup Ben luntur seketika. Ia seolah-olah runtuh dari menara gading kebanggaan akan kopi-kopinya. Namun, pengalaman kopi tiwus itu mengajarkan mereka bahwa sesempurnanya kopi, ia tetaplah kopi. Bahwasannya, selalu ada sisi pahit yang mengitarinya.

Kisah Filosofi Kopi mengajarkan bahwa setiap laku hidup akan bermakna apabila ada filosofinya. Filosofi ini berarti juga pandangan hidup, ideologi diri. Tentang ini, makna hidup menjadi penting sebab di situlah letak arah dan tujuan hidup manusia. Apa yang harus dilakukan? Kemanakah hidup ini digiring? Bagaimana memanajemen hidup?

Makanya, merupakan sebuah kepatutan dan kepantasan bagi kita untuk memiliki filosofi hidup masing-masing. Memiliki filosofi hidup berarti memiliki pandangan tentang diri, prinsip-prinsip hidup yang seyogianya berguna untuk perjalanan ke depan. Di dalamnya, kita mengenal diri; menyadari kelebihan dan kekurangannya. Berkenaan dengan itu, ujaran filsuf Sokrates bahwa hidup yang tak direfleksikan adalah hidup yang tak layak dihidupi bisa memberikan injeksi motivasi. Ya, pada tataran ini, merefleksikan diri juga merupakan berfilosofi itu sendiri.

Jika ingin membuat analogi, saya kira hidup ini sama seperti sebuah kedai kopi. Hal yang ingin dicapai di dalam kedai itu ialah menikmati cita rasa kopi. Setiap orang memilih jenis kopinya masing-masing. Dalam hidup, terdapat juga banyak pilihan yang harus kita ambil guna mencapai tujuan yang saya sebut sebagai kebahagiaan. Idealnya, setiap filosofi hidup akan berujung pada kebahagiaan termaktub. Mencapai kebahagiaan sama seperti berhasil menikmati secangkir kopi. Karena masing-masing kopi memiliki cita rasanya yang khas, pilihan hidup manusia juga sangatlah subjektif namun tetap istimewa. Artinya, filosofi hidup kita pun berbeda satu sama lain. Namun, saya yakin bahwa kebahagiaan tetap menjadi term kunci untuk mengelaborasi tujuan tiap pilihan hidup itu. Meskipun kopi kita berbeda, kita tetap saling tersenyum dan bergirang jemawa karena sudah memilih mana yang terbaik. Di sini, jenis-jenis kopi yang diseruput sama seperti pilihan hidup yang beraneka macam itu.

Selanjutnya, mari berbicara tentang penemuan diri. Penemuan diri menjadi aspek bermakna untuk menegaskan hakikat hidup manusia. Telah dikatakan sebelumnya, ada dua hal yang berkaitan erat dengan ini, yakni kelebihan dan kekurangan diri. Dalam penemuan diri itu, manusia senantiasa berproses dari waktu ke waktu. Sebagai ens rationale tentu telah melewati banyak pengalaman hidup. Pengalaman-pengalaman itulah yang menuntun kita pada aspek penemuan kelebihan dan kekurangan diri. Jika kita telah mengenal diri, menyadari sebagai ciptaan unik, arah hidup akan lebih terarah dalam setiap usaha meraih mimpi dan cita-cita. Dan, saya kira kebahagiaan akan datang dengan sendirinya. Menemukan kelebihan dan terutama kekurangan diri bukanlah sikap minimalis dan pesimistis. Justru inilah bagian dari perefleksian. Kekurangan diri yang telah disadari membantu kita untuk tampil optimistis dan berjuang mengembangkan kelebihan yang ada. Dengan demikian, kita tidak memaksakan apa yang bukan menjadi spesialisasi diri. Saya teringat slogan kedai Filosofi Kopi, yakni temukan diri anda sendiri. Dalam filosofi hidup, saya memperuncingnya menjadi temukan kelebihan dan kekurangan diri jika tak ingin hidup menjadi ringkih dan musykil.

Lalu, bagaimana keterkaitannya dengan gerakan maju seperti yang tertera pada poin judul. Hematnya, Dewi Lestari ingin menunjukkan bahwa sikap Ben merupakan gambaran umum sikap hidup manusia. Pada dasarnya, manusia selalu tidak puas dengan apa yang ada, berusaha untuk mencari yang lebih sempurna. Sifat tidak puas diri seringkali menjadikan diri manusia memiliki ambisi tak terkontrol dan apabila tak terpenuhi, itu hanya akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. Gerakan maju di sini bukan merujuk pada ambisi mencari prestise dan popularitas, melainkan sebuah ajakan supaya senantiasa mengembangkan diri. Pengembangan diri yang sesuai dengan prinsip hidup membuat kita menikmati hal yang dilakukan. Dengan demikian, kita tidak hidup di atas bangunan konsep orang lain.

Gerakan maju sesungguhnya menaruh konsentrasi pada semangat hidup untuk menjadi lebih baik, bukan menjadi sempurna. Frasa “menjadi lebih baik” saya kira lebih tepat untuk mengguratkan semangat hidup terus-menerus dalam pengembangan kualitas diri; bakat dan talenta, daripada “menjadi sempurna” yang bertendensi negatif. Sebab tidak ada yang sempurna dalam hidup manusia. Gerakan maju dalam konteks ini merupakan sesuatu yang positif. Sepakat dengan filosof Driyarkara bahwa cara berada manusia merupakan sesuatu yang khas, gerakan maju ini juga menunjukkan keistimewaan keberadaan hidup manusia. Kedinamisan hidup tampak nyata pada tataran ini.

Dengan demikian, cerita Ben yang langsung drop ketika mengetahui bahwa ada kopi lain yang lebih sempurna dari buatannya bukanlah menjadi esensi gerakan maju. Gerakan maju menunjukkan citra pantang menyerah sembari mengakui kelebihan yang lain. Maksudnya, kita harus menerima dan mengakui kelebihan orang lain. Itulah jalan hidupnya, pilihan yang telah ia ambil. Tak pelak bahwa kita juga memiliki pilihan hidup masing-masing. Hidupilah pilihan itu. Pada satu sisi, belajar dari orang lain demi kemaslahatan hidup merupakan hal baik tetapi mesti dibarengi juga dengan potensi dan kualitas dasar diri. Jangan sampai kita terlalu memaksakan kehendak pribadi. Oleh karena itu, sikap realistis menjadi item penting untuk setiap gerakan maju.

Pada akhirnya, hidup ini sungguh merupakan anugerah terindah dan pantas dinikmati. Menikmati hidup berarti mengisi hidup dengan multifaset aksi positif. Di dalamnya, kita mengembangkan potensi dan kualitas diri. Apabila ada filosofinya; prinsip, kesadaran diri, penemuan diri, juga semangat gerak maju, hidup ini amatlah menyenangkan. Di situlah, letak kebahagiaan itu. Kita tak perlu mencarinya jauh-jauh. Karena walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya (bdk. Dee, 2006, hlm. 27). Selain itu, hidup kita juga jauh lebih berharga daripada sekadar secangkir kopi tiwus, bukan?

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan