pendidikan-karakter-untuk-meredam-kekerasan

Meredam Fenomena Kekerasan Melalui Pendidikan Karakter

Oleh Elvan De Porres

Sekolahpun keliru bila ia tidak tahu diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia tak berhak menjadi perumus masa depan.” (Goenawan Mohammad)

Aksi-aksi kekerasan telah menjadi fenomena yang belum henti-hentinya menyurut. Bulan lalu kita menyaksikan kekerasan teror di Turki yang menewaskan puluhan orang. Kini kita kembali dihadapkan tragedi pembantaian manusia tak berdosa di Paris, Perancis. Tentu dua kejadian tersebut tidak lantas membuat kita tutup mata akan kekerasan yang terjadi di belahan dunia lain seperti di Palestina, Suriah, Irak dan di negeri kita sendiri. Satu fenomena yang luar biasa tampaknya sedang kita hadapi, bahwa kekerasan, cepat sekali menular dan terus beranak pinak melahirkan kekerasan baru, entah mengatasnamakan agama atau tidak.

Kita tengok di negeri kita tercinta ini, realitas kekerasan, seperti pembongkaran rumah ibadah, pengucilan sekelompok masyarakat dan konflik-konflik seputar pelanggaran HAM baik berskala nasional ataupun local, tak jarang menelan korban yang serentak melahirkan duka. Menterengnya lagi, tawuran antarkelompok masyarakat, semisal antarpelajar, antarkampung, antarkelompok agama, juga menjadi distorsi khas hampir dalam dua dekade ini. Dekadensi moral tersebut sungguh mengebiri ideologi bangsa, mengangkangi cita-cita para founding fathers, dan merompalkan demokrasi itu sendiri. Konsensus dasar untuk hidup dalam keanekaragaman ternodai. Ini tentu bertentangan dengan Pancasila sebagai kompromi nasional serentak filsafat politik bangsa. Padahal, Pancasila mencita-citakan keharmonisan dalam kerangka pluriformitas.

Poin kekerasan tersebut patut ditangani secara serius. Bagi penulis, memperkuat pendidikan karakter dalam diri anak bangsa merupakan hal ihwal bagi peredaman realitas termaksud. Pendidikan karakter menyuguhkan kesadaran moral serentak konsientisasi untuk membenah diri. Ia merupakan tameng preventif bagi berkembangnya aksi-aksi kekerasan. Atau dengan kata lain, secara ideologis, pembangunan karakter bangsa lewat pendidikan merupakan pengejahwantahan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam artikelnya berjudul Epistemologi Kekerasan di Indonesia (2001), Ignas Kleden mengatakan bahwa meluasnya kekerasan semenjak Orde Baru hampir meyakinkan pengamat bahwa ada semacam mechanics of violence yang dikendalikan oleh semacam hukum mekanika kekerasan dalam masyarakat. Kekerasan telah menggejala dan seolah-olah menjadi suatu fenomena keharusan yang mesti diperagakan. Tak dapat dimungkiri, egoisme kepentingan menjadi sebab-musabab timbulnya kekerasan itu. Norma hidup, agama, adat-istiadat, tata krama, sopan santun, dan hukum tak lagi mampu mengendalikan emosi masyarakat. Respek moral terhadap bangsa mengalami pelempeman.

Berkaca pada sejarah kebangsaan tentang perjuangan gigih para pahlawan, rasa malu seharusnya muncul. Namun, pusara arogansi dan primordialisme telah mengubur semua kenangan bersejarah itu. Perjuangan hanya menjadi artefak tanpa respek. Patut diingat bahwa sejarah bangsa ini ditulis di atas darah para pejuang itu. Sangat diharapkan, realitas kekerasan yang menyebar luas mesti diredam, sebab itu hanyalah merupakan penghinaan terhadap usaha heroik perjuangan kemerdekaan dahulu kala.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 menegaskan, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Terlihat jelas bahwa esensi dasar pendidikan nasional adalah penggemblengan karakter diri setiap anak bangsa. Pembentukan karakter diri sangatlah sesuai dengan cita-cita fundamental bangsa. Tidak hanya inseminasi pada tataran akademis semata.

Pendidikan karakter itu penting sebab ia menekankan nilai dan norma kehidupan. Dengan demikian, pendidikan merupakan proses memahami dan menghargai. Pendidikan mesti dilihat sebagai hal integral akan pemahaman diri terhadap realitas empiris. Ia tidak hanya bergulat pada penjejalan teori-teori pengetahuan belaka, tetapi merupakan pengembangan diri secara holistik sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Pada hakikatnya, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Filosof Indonesia Driyarkara menyebutnya sebagai pengangkatan manusia muda ke taraf insani.

Pendidikan karakter sebagai tameng preventif dalam meredam terjadinya aksi kekerasan tentu membutuhkan proses. Ini menuntut kesabaran bagi setiap agen penyalur pendidikan. Memang harus diakui, pembenaman nilai-nilai luhur yang sejalan dengan dasar hidup negara ini sungguh tak lepas dari rintangan. Dibutuhkan usaha dan pengorbanan sebagai ihwal tak terbantahkan dalam pembangunan bangsa.

Sebelum melangkah lebih jauh, target yang diharapkan ialah tumbuhnya kesadaran diri dalam melihat setiap realitas minor yang terjadi. Poin konsientisasi (penyadaran kembali) menjadi tekanan penting. Maksudnya, hal-hal yang ditanamkan dalam ranah pendidikan, baik formal maupun nonformal, harus mementingkan pendidikan bercorak humanis. Nilai-nilai kehidupan adalah keutamaan. Dan, pendidikan sebagai suatu proses, membutuhkan penyadaran terus-menerus, tidak hanya sekali ujar lalu diam tak berbekas.

Dengan demikian, penanaman nilai-nilai pendidikan karakter menjadi perhatian bersama. Tidak hanya sekolah sebagai lembaga pendidikan saja yang selama ini dianggap memikul tanggung jawab itu. Kata-kata Goenawan Mohammad, dalam salah satu catatan pinggirnya, pada pengantar risalah ini hendaknya menjadi refleksi bagi institusi-institusi pendidikan, juga bagi keluarga dan masyarakat. Sekolah memang memainkan peranan signifikan. Namun, peran serta keluarga dan masyarakat tak boleh diabaikan begitu saja. Nah, apabila ada keseriusan dari semua pihak secara bertanggung jawab, dimensi nurani para generasi muda mampu terbentuk baik dan tergurat pagan.

Pertama, keluarga merupakan agen sosialisasi yang pertama dan utama. Orang tua berperanan besar untuk mentransfer nilai dan norma budaya kepada setiap anggotanya. Pengalaman sosial yang intensif dalam keluarga menciptakan dasar kepribadian yang baik bagi seorang individu. Faktor kedekatan antara masing-masing komponen di dalamnya memberikan keefektifan itu.

Kedua, sekolah sebagai wadah penyalur yang terorganisir mesti menyempatkan diri sebagai ruang pengajaran nilai dan norma, dan tidak hanya fokus pada aspek intelektualitas semata. Persoalan kekerasan dewasa, terutama yang dilakukan oleh para remaja, menunjukkan lemahnya penyaluran aspek humanitas. Sekolah ditantang untuk mampu menelurkan cendekiawan-cendekiawan muda yang tidak hanya berkompeten dalam ranah akademis, tetapi juga cakap bertingkah laku.

Ketiga, tokoh masyarakat dan pemerintah mesti tegas. Masyarakat dan pemerintah dituntut menciptakan situasi yang kondusif dalam ruang lingkupnya. Para elite politik, tokoh masyarakat, dan pemuka agama yang notabene merupakan panutan masyarakat harus benar-benar menunjukkan kualitas dirinya. Kearifan-kearifan yang bisa dijadikan model pijakan pengembangan diri bagi generasi muda mesti ditampilkan. Kebijakan-kebijakan publik yang diambil harus mencerminkan usaha pembentukan karakter bangsa. Tokoh masyarakat dan pemerintah itu juga dituntut tegas menindaklanjuti ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi. Penangannya pun harus serius supaya kesadaran moral bisa terbentuk. Jika ada kasus kekerasan yang diurus secara begitu-begitu saja, maka efek jera takkan pernah bersinar. Harus ada prinsip kokoh bahwa kekerasan adalah masalah bangsa yang harus disikapi secara serius dan bertanggung jawab. Dengan demikian, aksi-aksi kekerasan itu dapat diredam.

Pada akhirnya, para anak bangsa perlu dibentuk kepribadiannya secara baik demi mencegah terjadinya kekerasan-kekerasan. Peredaman tersebut tentu membutuhkan proses. Sodoran optimisme patut dilayangkan demi tercapainya situasi bangsa yang harmonis dan damai. Dengan demikian, Pancasila sebagai ideologi bangsa ini mendapatkan konkretisasi praktisnya. Marilah bersama-sama menyatukan langkah guna mewujudkan penanaman nilai-nilai pendidikan karakter itu bagi generasi penerus bangsa kita.

, , , , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan