petuah-usang-manusia-batu

Pepatah Usang Tentang Buku yang Dinilai Dari Sampul

Idris

Dia berdiri di bawah pancuran matahari, dengan meriam di bawah kaki dan senjata di tangan. Dia adalah patung tetapi hidup. Dia mirip tentara yang sedang berjaga, tetapi tidak tampak menakutkan. Orang-orang yang berkitaran tahu kalau si manusia batu sedang hidup, tetapi tidak ada yang bertanya bagaimana dia bertahan tanpa makan dari pagi hingga malam. Dari semua hal yang dia tampilkan, manusia batu di kota tua itu bisa saja sebuah kritik.

Suatu hari saya bertemu dengannya menjelang sore hari, ketika matahari telah miring dan panasnya hilang di sekitar tangga samping museum seni rupa dan keramik. Saya sedang duduk di anak tangga sewaktu manusia batu itu datang berteduh tepat di samping. Semula saya tidak melihat dia tersenyum karena seluruh tubuhnya dilumuri cat metalik. Lalu dia mengeluarkan sebungkus rokok, sebelum mengambil satu dia tawari saya lebih dulu. Manusia batu itu bilang kalau itu tempat favoritnya, hampir di jam yang sama pada hari-hari sebelumnya ketika matahari sudah turun dia akan berhenti sebentar di bawah bayangan teras museum di samping tangga; sekedar untuk merokok dan menikmati hidup.

Semula penampilan manusia batu mengingatkan saya pada laki-laki bernama Bashmachkin. Dalam novelnya berjudul The Overcoat, Nikolai Gogol menghadirkan si pegawai miskin Akaky Akakievich Bashmachkin yang menabung dalam waktu yang lama hanya untuk membeli jas. Konyolnya, setelah berhasil dibeli, jas itu kemudian dicuri. Tatkala saya melihat sosok Bashmachkin di dalam diri si manusia batu sebenarnya tidak jelas bagi saya apa yang jadi persamaan mereka. Barulah, setelah agak lama baru saya sadar; warna hitam metalik pada pakaian laki-laki itu yang mengingatkan saya pada jas yang diinginkan Bashmachkin. Bukan berarti Bashmachkin merindukan jas warna metalik. Antara kostum manusia batu dan jas Bashmachkin sama-sama memantik perasaan familiar di dalam hati; saya ‘tersentuh’ namun tidak bisa membahasakan rasanya.

Sekitar setengah jam masa rehat si manusia batu, kami berbicara basa-basi yang sebenarnya mengejutkan. Ketika saya mencoba cari tahu berapa jumlah uang yang bisa dia kumpulkan dari berubah bentuk jadi patung, manusia batu itu sumringah menjawab; “Tiap hari paling tidak saya membawa pulang uang dua ratus ribu. Kalau hari lagi ramai, bisa sampai empat ratus. Tapi sesekali, kalau sedang sepi-sepinya saya hanya dapat seratus lima puluh ribuan.” Saya percaya dan tidak percaya. Mengejutkan bukan? Dalam sebulan si manusia batu mengakumulasikan enam juta rupiah perolehannya. Paling tidak, setelah semua pengeluaran (biaya hidup & make up) dan hal-hal yang tidak berjalan lancar, dia masih bisa menghasilkan empat juta rupiah.

Pekerjaan sepele macam itu telah mengalahkan banyak sarjana yang kerja di kantoran dengan gaji UMR. Lagi-lagi, inilah sebuah kritik. Bahwa ijazah tidak menjamin kehidupan seseorang, rasa-rasanya betul. Bahwa pekerjaan remeh-temeh seperti manusia batu yang hanya berdiri mematung menenteng senjata palsu bisa menghasilkan lebih banyak uang bukanlah muslihat.

Di saat orang lain menjual kemelaratan hidup di lampu merah dan di bus kota menggunakan kaleng rombeng dan wajah memelas, manusia batu membuat terobosan baru. Dia mengecat seluruh tubuhnya juga pakaian hansip yang dikenakan setiap hari. Semula menggunakan cat tembok, namun tidak berhasil, lantas beralih pada body painting.

berbagi-petuah-usang“Saya tidak pernah datang kepada orang-orang. Hanya berdiri saja di situ sementara pengunjung bergantian berpose di samping saya. Biasanya usai berpose, mereka meletakan recehan. Saya tidak pernah minta uang, pengunjunglah yang tahu saya berdiri di situ untuk mencari uang. Menjadi patung adalah pekerjaan saya.” Kata si manusia batu, jelas sekali dia ingin memisahkan diri dari para pengemis dan pengamen jalanan.

Di depan tatapan si manusia batu, saya merasa cemburu untuk uang enam juta yang bisa dihasilkan setiap bulan. Melihat saku kiri kostumnya, saya menemukan tulisan “IDRIS”. Bukan Bashmachkin.

Label (Sebuah Kritik)

Di satu sisi yang suram, memberi label pada segala macam hal di dunia ini (mulai dari tusuk gigi hingga kelas manusia) adalah sebuah kesalahan. Label menciptakan ruang dan jenjang yang memungkinkan salah satu mengklaim lebih baik dari yang lain. Si miskin yang mendapat label ‘pengemis’ masuk perangkap yang dipenuhi kemalangan, kemelaratan hidup sehingga terpaksa bertahan hidup dengan menjual berbagai kesedihan. Si kaya yang naik mobil kemana-mana diberi label oleh orang miskin yang putus asa sebagai penguasa atau hartawan atau lebih buruk lagi koruptor.

Di kota tua, profesi si manusia batu sudah tentu diremehkan oleh sarjana yang kerja di kantor karena perbedaan label yang melekat pada kedua pihak. Sarjana merasa karena mempunyai ijazah taraf hidupnya di atas si manusia batu yang harus berjemur matahari dengan menenteng senjata tanpa pernah menembak. Sementara itu, si manusia batu berbesar hati karena dia tahu kenyataan sesungguhnya; banyak sarjana dibayar tidak lebih dari tiga juta per bulan. Diam-diam, dia menertawakan kepongahan hidup akibat label yang dilekatkan.

Label menjebak dan membuat orang tersesat. Banyak kritik dilemparkan terhadap ‘sastra koran’ yang diyakini karena berbagai alasan telah menghilangkan orisinalitas sebuah karya sastra. Pada kesempatan lain, istilah sastra cyber mendapat sorotan tajam karena diterbitkan tanpa seleksi, penilaian, pertimbangan mutu dan konon memelorotkan kesusastraan.

 Kritik Sastra

Di Kota Tua manusia masih tegar berdiri dari pagi hingga petang. Jika di tengah jam sibuknya dia berhenti sebentar di balik bayangan tembok untuk merokok dan minum, itu lantaran dia manusia biasa. Saya sudah bertemu dengannya sekali, mengobrol singkat, dan saya berdoa supaya suatu hari dia menjadi kaya dari pekerjaannya. Karena dengan menjadi kaya kritiknya semakin jelas dan kentara. Supaya dengan menjadi kaya, pengemis belajar untuk tidak mengemis dan sarjana tidak pongah dengan ijazahnya.

Dari Kota Tua menuju ke redaksi koran. Kesusastraan Indonesia butuh kritikan keras. Sastra koran perlu dirongrong kemampanannya, sebab jika kita terus diam maka tidak akan kemana-mana. Saya berdoa, koran-koran akan mempekerjakan seseorang yang mau mengkritik. Seperti si manusia batu yang mengusik profesi lain yang dibayar lebih murah, seorang pengkritik akan mengingatkan bahwa seorang penulis atau sebuah karya sastra jangan pongah di atas yang lain, supaya gerombolan ‘sastra koran’ turun ke jalan untuk menemukan sudut pandang baru. Di hari-hari ini, sastra koran ibaratnya buku bersampul bagus. Dan kehadiran kritikus yang baik, akan menyebut pepatah usang bahwa jangan menilai buku dari sampulnya.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan