Solidaritas, Sebuah Harga Mati

Oleh Elvan De Porres

Dalam tatanan hidup kebangsaan, solidaritas merupakan salah satu kemestian prinsip nilai guna memperat persatuan dan kesatuan di tengah maraknya masalah seputar perompalan demokrasi. Harus diakui, dewasa ini solidaritas telah sekadar menjadi jargon warisan budaya ringkih alias rapuh. Egoisme diri sebagai antitesis atasnya menjadikan manusia hidup bumpet dalam pesuk apatisme dan antipati. Bahkan, lebih parah lagi ketika orang justru memanfaatkan organisasi-organisasi sosial, politik, hingga keagamaan untuk mendewakan egoisme diri tersebut.

Sutrisno Mudji, rohaniwan dan budayawan negeri ini, dalam esainya Ketika Makin Sulit Menemukan Guru Bangsa (2009) mengemukakan tiga sumber peretak rajutan solidaritas sebangsa Indonesia. Pertama, ketidaksediaan lagi untuk mau menerima, menghormati dan hidup ikhlas bersama dengan saudara-saudari beda agama, beda suku, beda golongan dalam keragaman perbedaan dengan kekayaan kemajemukan dan kekayaan keberlainannya. Kedua, adanya jurang lebar menganga antara kelompok masyarakat kaya yang semakin kaya dan jutaan masyarakat yang miskin semakin miskin. Ketiga, riuh rendahnya keramaian pada wacana, ritual retorika nilai-nilai yang terekspresi dalam slogan, janji, khotbah-khotbah renungan normatif, namun sepi dalam wujud kepedulian sosial, kemanusiaan lintas agama, lintas identitas golongan ataupun lintas parpol.

Sungguh benar apa yang diungkapkan oleh Sutrisno Mudji, bahwasannya cungkup egoisme sedang menghantui Indonesia. Makanya tidak heran kasus-kasus dalam multifaset sendi kehidupan bangsa berseliweran tak menentu. Kisruh mulai dari elite pemerintahan, politisi, hingga akar rumput menjadi wajah muram bagi semangat ke-Indonesiaan. Apalah daya realitas menyajikan wajah demikian.

Di sisi lain, dewasa ini perspektif tentang makna hidup bersama sebagai ajang harmoni telah menjadi telaah penting filosof Juergen Habermas. Menurutnya, hidup bersama dan keberadaan dengan orang lain pada dasarnya adalah baik; mengandaikan adanya komunikasi sebagai ragam diskursus praktis. Selain itu, filosof Emanuel Levinas lebih runcing lagi membicarakan makna solidaritas pada tataran ini dalam konsep etika tanggung jawabnya. Baginya, keberadaan “aku” merupakan bentuk tanggung jawab terhadap keberadaan “yang lain” sehingga “aku” tidak menjadi pribadi egoistis. Di sini, Levinas mengatakan bahwa eksistensi pribadi seseorang akan bermakna, dalam artian diakui, apabila ia bersosialisasi dan menjalin relasi dengan manusia lainnya.

Hematnya, solidaritas kebangsaan akan terwujud apabila para anak bangsa sungguh menyadari esensi ruang publik, meminjam istilah Habermas, sebagai wadah pembentukan opini dan aspirasi diskursif bersama. Di dalamnya, orang bisa saling bertukar gagasan bahkan berdebat untuk mencapai kebaikan bersama (bonum commune). Dengan demikian, masalah-masalah seputar kehidupan bangsa adalah masalah bersama yang patut ditangani oleh setiap komponen bangsa ini. Tidak ada yang mengerjakannya secara sendiri-sendiri sebab selalu ada orang lain yang bekerja sama, ada yang mengawasi, juga memberikan kritik dan saran konstruktif.

Di samping itu, Indonesia sebagai sebuah bangsa besar tentu memiliki banyak orang yang memiliki ide dan pemikiran brilian untuk gerakan perubahan. Bangsa ini membutuhkan orang-orang seperti ini untuk merangkul dan menggerakkan sesamanya. Artinya, mereka tidak hanya duduk diam dalam menara gading zona nyamannya, tetapi berani turun tangan dan menghimpun sesamanya. Optimisme akan terwujud apabila sekat ingat diri dalam tatanan hidup kemasyarakatan mampu dibongkar dan diberi label baru. Label baru dalam konteks ini merupakan prinsip kesetaraan dan kebersamaan dengan suatu kesamaan visi. Artinya, segala keengganan di balik tameng gengsi diri harus dirobohkan.

Solidaritas kebangsaan dengan demikian menjadi satu harga mati. Dan, ia menyangkutpauti pelbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat kita. Oleh karena itu, segenap rakyat Indonesia patut berbicara, menyampaikan pendapat dan aspirasinya apabila terdapat hal-hal yang menciderai ragam kehidupan termaksud. Apabila para pemimpin dan wakil rakyat sudah lupa tentang makna solidaritas yang berarti juga melingkupi aspek kesetaraan dan persamaan, kita harus berani bersuara. Era keterbukaan seperti sekarang ini mesti dimanfaatkan sungguh untuk memaknai esensi ruang publik.

Namun, saya kira lebih baik menunjukkan rasa solidaritas itu mulai dari ruang lingkup terkecil kehidupan kita. Mulai dari keluarga, lingkungan masyarakat, hingga pada urusan seputar negeri ini secara umum. Karena kita tentu ingat sebuah ungkapan Inggris, Talk Less, Do More (berbicara sedikit, berbuat banyak). Lebih banyak berbuat daripada berbicara adalah sebuah kebajikan. Marilah rakyat Indonesia, kita ajari para pemimpin dan wakil kita di lembaga pemerintahan bahwa solidaritas itu nilai luhur rahim bangsa ini dan mesti dijaga. Bukannya diperjualbelikan, dijungkirbalikan, dikangkangi, dan dilenguhkan.

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan