pidato-bung-karno-soal-sumpah-pemuda

Sumpah Pemuda dan Hal-hal yang Belum Selesai

Oleh Elvan De Porres

Saudara-saudara sekalian,

Ini malam kita di Istana Negara bersama-sama memperingati Sumpah Pemuda; Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Dan peringatan di Istana Negara ini- saya tahu- diikuti oleh semua pemuda di seluruh tanah air Indonesia. Kita semuanya bergembira, bersyukur ke hadirat Allah SWT, bahwa pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi merasa perlu, justru pada saat-saat sekarang ini, mengadakan peringatan Sumpah Pemuda dengan cara sebagai yang kita alami sekarang ini.

(Bung Karno dan Pemuda. Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa, dan Sarjana, hlm. 18)

Pada 28 Oktober 1956, Bung Karno mengawali pidato berjudul “Persatuan, Sekali Lagi Persatuan” itu dengan lantunan nada optimisme. Di mata Bung Karno, peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 merupakan satu merit, satu jasa yang amat hebat sekali. Pada peristiwa yang sungguh patut disyukuri tersebut, setidaknya ada dua perihal yang saling gamit satu sama lain.

Pertama, 28 Oktober 1928 merupakan sebuah persiapan ideologi bagi peristiwa 17 Agustus 1945. Tak dapat disangkal, proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan sebuah usaha ataupun gerakan pendobrak yang sebenarnya telah dikonsepkan pada hari Sumpah Pemuda. Di sini, Sumpah Pemuda tampil sebagai momentum pergumulan dan peleburan konsep-konsep ideologis kebangsaan, dan proklamasi termampatkan sebagai pengejahwantahan gairah ke-Indonesiaan itu.

Kedua, manifesto seperti ini adalah pemersatu yang mengikis sekat-sekat primordialisme dan etnosentrisme, “menanggalkan” ke-Jawaan, ke-Bugisan, ke-Batakan untuk sepakat pada satu tanah air Indonesia, satu bangsa Indonesia, dan satu bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda, tentunya bertolak dari rasa senasib sepenanggungan, mengawetkan berbagai dimensi perbedaan namun berujung pada makna pagan, yang artinya kuat, kukuh, tak mudah lenguh.

Kobaran lain dari makna Sumpah Pemuda adalah sukma unitas dalam raga pluralitas. Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) mendefinisikan sukma sebagai jiwa atau nyawa. Sukma unitas menunjukkan daya juang yang sama, kesatuan visi, gerakan kolateral (berdampingan), dan kemanunggalan cita-cita. Sukma unitas ini lahir dari keanekaragaman, muncul dari multivalensi, berkembang dari pluralitas, lalu berkembang dan mekar di atas bumi persada ini.

Para pemuda menjadi satu bukan karena secara substansial latar belakang mereka itu sama, tetapi justru karena mereka berbeda satu dengan yang lainnya. Tentu mereka memperjuangkan suatu nyawa, jiwa yang kemudian menjadi pendasar bagi perjalanan bangsa. Makanya, sangat miris dan mengecewakan apabila dewasa ini orang hidup lecek, penuh friksi dan kebencian hanya karena adanya perbedaan dan kesalapahaman.

Merunut perjalanan sejarah tersebut, gerakan kaum muda memegang peran signifikan dalam perjalanan sejarah Indonesia pada masa-masa selanjutnya. Kaum muda memiliki peranan dan identitas diri yang memungkinkan mereka menyampaikan dan mempertahankan gagasan-gagasannya. Mereka menjabarkan kekuatan moral, mempunyai hak mengambil inisiatif dan membuat perspektif-perspektif kritis. Tak pelak bahwa kaum muda ini sungguh menegaskan tanggung jawabnya sebagai generasi penerus bangsa. Boleh jadi penggalan sajak Chairil Anwar tentang perjuangan berikut mengafirmasinya, “…Aku suka pada mereka yang berani hidup // Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam….”

Namun, satu kesahihan argumentasi layak dikumandangkan. Pewujudnyataan semangat Sumpah Pemuda tampaknya masih menyisakan banyak persoalan. Tugas lanjutan ini bukanlah sekadar mengangkat bayonet dan menghujamkan ke lambung para kolonialis modern. Ataupun bukanlah tentang menarik pelatuk bedil, kemudian melubangi tubuh penjajah-penjajah berwajah baru. Risalah ini adalah soal menggurat asa, memaknai peristiwa dalam bingkai kekinian.

Dalam pidatonya saat peringatan Sumpah Pemuda di Surabaya, 28 Oktober 1959, Bung Karno memberikan kepada bangsa Indonesia trilogi baru. Pertama, gelorakan semangat; kedua, gelorakan lagi semangat itu menjadi kemauan; dan ketiga, gelorakan lagi kemauan ini menjadi perbuatan. Geest menjadi wil; wil menjadi daad (bdk. Soekarno, Bung Karno dan Pemuda. Kumpulan Pidato Bung Karno di Hadapan Pemuda, Pelajar, Mahasiswa, dan Sarjana, hlm. 109). Lalu, kira-kira bagaimana implementasi kekinian atas makna manifesto politik Presiden Soekarno tersebut.

Pada hematnya, memelihara semangat Sumpah Pemuda membutuhkan prasyarat generasi muda yang berpikiran terbuka, kritis, dan visioner. Saya pikir tiga kata kunci ini bisa merepresentasi sikap etis lainnya dalam konteks pemaknaan termaktub. Pertama, keterbukaan berpikir memungkinkan kaum muda memiliki amunisi ilmu pengetahuan memadai, pemahaman yang cakap akan dunia, sehingga mampu adaptatif, kreatif serentak inovatif untuk mengembangkan diri, memberdayakan lingkungan sekitarnya, dan memajukan nasionnya. Sikap terbuka ini juga memampukannya untuk melihat segala perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun suku, agama, ras, dan golongan, sebagai bagian dari kekayaan ke-Indonesiaan. Dengannya, gagasan filosof Jurgen Habermas tentang ruang publik dapat terkonfrontasikan dalam ragam sikap ini. Baginya, ruang publik (public sphere) sebagai media untuk mengkomunikasikan informasi dan pandangan-pandangan sungguh dimanfaatkan apabila adanya prinsip keterbukaan semacam ini.

Kedua, selain terbuka, para orang muda mesti kritis. Terbuka saja tidaklah cukup sebab sikap terbuka tanpa adanya kekritisan hanyalah melamurkan tujuan-tujuan kolektif. Dengannya, kita akan digiring secara bebas oleh setiap faham ataupun kepentingan-kepentingan sempit. Kaum muda berpikiran kritis supaya bisa melihat segala pengetahuan, informasi atau gagasan, dan gerak-gerik supaya dapat menafsir dan meniliknya dari sisi bonum commune. Kekritisan ini mengandaikan pula adanya sikap selektif. Jangan sampai keterbukaan diri menyebabkan lupa diri sehingga prinsip-prinsip hidup baik ternistakan begitu saja.

Ketiga, dalam keterbukaan dan kekritisan berpikirnya itu, kaum muda hendaknya menjadi pribadi visioner. Generasi penerus bangsa adalah mereka yang berpikiran jauh ke depan demi kondisi bangsa yang demokratis, sejahtera, adil, dan makmur. Tentang visi hidup, James Allen (1984-1912), penulis dan penyair kelahiran Inggris, berkata begini, “Mimpikan hal-hal besar, dan ketika Anda bermimpi, maka terjadilah. Visi adalah janji yang akan menjadikan apa Anda pada suatu hari; gambaran ideal adalah ramalan akan bagaimana Anda pada akhirnya.” Ujaran ini mengguratkan bahwa keberanian bermimpi, memiliki visi dan cita-cita hidup merupakan sebuah langkah awal untuk gerakan perubahan. Di sinilah optimisme terpatrikan. Generasi ’28 sungguh memiliki ketiga basis semangat tersebut.

Lebih dalam lagi, generasi muda yang berpikiran terbuka, kritis, dan visioner jika dan hanya jika memiliki benteng kuat pada aspek kecerdasannya. Maksudnya apa? Ya, pendidikan adalah tonggak dan dasar tak terbantahkan untuk membangun bangsa. Pendidikan harus menjadi sebuah tema serius dalam tajuk-tajuk obrolan tentang bangsa dan negara ini. Sumber daya manusia yang pagan akan membuat bangsa ini kuat dan tidak gampang dibodohi. Seringkali kita lebih fokus pada aspek sumber daya alam tanpa memperhatikan sumber daya manusianya. Oleh karena itu, kaum muda yang termaksudkan dalam risalah ini mestilah (wajib) terdidik. Ini merupakan sebuah keharusan, menjadi semacam conditio sine qua non. Sebab sikap kritis, terbuka, dan visioner itu akan terpolakan dengan baik apabila adanya dasar pendidikan yang kompatibel. Harus ada kesadaran seperti ini.

Akhirnya, Sumpah Pemuda 28 Oktober 2015 adalah momen tampan bagi perefleksian tentang peranan kaum muda bagi bangsa selama ini. Pada hematnya, masih ada banyak hal yang belum selesai. Avontur kaum muda masih panjang, ada hal-hal lindap yang harus dinyalakan kembali, persoalan-persoalan kilah yang mesti dibenarkan kembali, juga kebijakan-kebijakan ringsek yang mesti diperbaiki lagi. Bangsa ini butuh konsientisasi, sebuah penyadaran kembali. Kaum muda punya peranan penting untuk itu. Secara sumir, kaum muda Indonesia mesti tetap melanjutkan gerakan perubahan. Ada asa yang harus terguratkan, ada optimisme yang siap membakar. Jangan pernah putus asa. Mari kita urus hal-hal yang belum selesai itu.

Selamat Hari Sumpah Pemuda.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan