pengantar-filsafat-itu-mudah

Filsafat Itu Seperti Makan Krupuk

Mengapa di jaman sekarang masih ada orang yang “alergi” terhadap filsafat. Anehnya, kelompok yang alergi terhadap filsafat itu justru hadir di kalangan mahasiswa. Komentar mereka cenderung sinis saat melihat temannya membaca buku filsafat. “Wah, bacaannya berat”. Saya tak tahu, apakah mahasiswa memang lebih dekat dengan kultur berceloteh.

Tak heran, ketika media sosial menyediakan ruang yang begitu luas bagi mereka untuk mengomentari apapun, tanpa harus berfikir. Barangkali itulah tabiat yang mesti kita hindari. Kita jadi sering berkomentar tanpa berfikir.

Apa yang menyebabkan kita begitu mudah untuk menanggapi sesuatu di era media sosial seperti sekarang ini? Saya menduga bukan hanya karena kecepatan informasi yang begitu bertumpuk dan saling bertabrakan, tetapi kita tak memiliki filter untuk menyaring semua informasi yang masuk ke kita. Mengapa kita tak memiliki penyaring atas segala informasi yang masuk ke kita? Jawabannya adalah karena kita tak memiliki modal pengetahuan.

Modal pengetahuan itu kita dapat dari membaca. Saya rasa ketika mahasiswa yang alergi filsafat membaca buku Dr. Harry Hamersma, mereka akan merasa senang berfilsafat.

Buku ini dicetak ulang berulangkali. Bahkan sejak tahun 1981. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas. Filsafat tidak menyelidiki salah satu segi dari kenyataan saja, melainkan apa–apa saja yang menarik perhatian manusia (h.10). Mari kita kutip pengertian filsafat yang paling umum. Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berarti “cinta akan hikmat” atau cinta akan pengetahuan.

Menurut  Dr. Harry, orang berfilsafat karena tiga hal yakni keheranan, kesangsian dan kesadaran akan keterbatasan. Dari ketiga hal itu kemudian manusia menemukan pengetahuan yang tak terbatas.

Orang terlampau mengandalkan filsafat sebagai suatu pengetahuan yang rumit dan ruwet karena dipenuhi dengan istilah-istilah baru. Seperti epistimologi, ontology, dan aksiologi. Ketika memasuki istilah-istilah ini, kita sudah memasuki cabang filsafat. Epistimologi misalnya diartikan sebagai pengetahuan tentang pengetahuan. Artinya, di dalam epistimologi, kita akan membincangkan kemungkinan pengetahuan, tentang batas-batas pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis pengetahuan. Ada dua aliran tentang proses pengetahuan yakni rasionalisme dan empirisme (h.20). Rasionalisme mengajarkan akal budi merupakan sumber utama pengetahuan, sedang empirisme mengajarkan pengetahuan berasal dari pengamatan inderawi, bukan dari akal budi.

Sedangkan ontology disebut sebagai metafisika umum. Ontology membincangkan segala sesuatu sejauh itu “ada”. Ontology diartikan sebagai pengetahuan tentang pengada-pengada, sejauh mereka ada (h.25). Di dalam ontology, kita cenderung membincangkan segala sesuatu yang bersifat ada. Sehingga tak memungkinkan membicangkan segala sesuatu di luar yang “ada”. Tentu saja kita bisa menilik pengertian tentang “ada” melalui para pemikir filsafat sebelumnya seperti Heidegger, Kant, atau Hegel.

Setelah panjang lebar kita mengawali pembicaraan filsafat, ternyata filsafat memang tak sesederhana yang kita bayangkan. Sebagaimana saat kita makan “krupuk”. Kata makan krupuk itu tak bisa disebut sebagai makan krupuk, sebelum orang melakukan kerja berulang-ulang seperti memegang krupuk dengan tangan, menggigitnya dan mengunyahnya dengan giginya.

Saya rasa seperti itu pula filsafat, kita memerlukan kerja yang berulang pula, seperti membaca buku yang berkaitan dengan filsafat, membacanya, menimbang-nimbangnya dalam pikiran, dan barulah kita memahami apa itu filsafat.

Marilah kita akhiri tulisan ini dengan segala yang sederhana tanpa harus menyederhanakan. Sebagaimana di awal, filsafat adalah cinta akan hikmat. Sesuatu bila tanpa didasari cinta, maka ia tak bisa sepenuhnya meresap dan mendalam. Begitu pula filsafat, filsafat didasari cinta, sehingga seorang yang ingin berfilsafat mesti mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk menemukan pengetahuan, menemukan kebenaran.

Kita bisa menyimak kalimat sederhana dari Karl Popper di bukunya The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy  : “Semua orang adalah filsuf, karena semua mempunya salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada orang yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup ini akan berakhir. Mereka tidak menyadar bahwa argument yang sebaliknya juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa—kalau hidup tidak akan berakhir—hidup tanpa harga, dan bahwa bahaya hidup akan selalu hadir, yaitu bahwa kita dapat kehilangan hidup, sekurang-kurangnya ikut menolong untuk menyadar nilai dari hidup” (Karl Popper, 1975:55).

Saya rasa anjuran Dr. Harry Hamerssma ada benarnya ketika kita kurang puas tentang pengertian dan paparan tentang filsafat di buku ini, kita boleh membaca buku-buku filsafat yang lain, baik pengantar filsafat ataupun buku filsafat yang ditulis oleh para pemikir filsafat yang ada.

Buku ini patut dijadikan rujukan bagi semua orang yang hendak belajar filsafat. Setidaknya buku tipis ini melingkupi tak hanya pengertian, cabang filsafat, sejarah, hingga alasan mengapa kita memerlukan filsafat dalam hidup ini.

Bila kenyataannya belajar filsafat itu tak semudah makan krupuk seperti judul tulisan ini, maafkanlah saya telah membuat pikiran dan kening anda berkerut.

 *) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan