220px-Gola_Gong

Gola Gong, Sastrawan yang Mengubah Banten

            Siang itu, matahari begitu terik. Sepulang mengantarkan istriku, aku pergi ke Gramedia di Solo Grand Mall (SGM). Bila sebagian besar remaja, muda-mudi dan anak muda ke Mall dengan gaya yang begitu indah atau sedap dipandang mata, aku malah belum mandi. Tapi tak masalah, tak mandi tidak membatalkan puasa. Waktu itu, Senin (20/6/16) sekolahku libur. Guru dan muridnya libur, biasanya di sekolah full-day, gurunya masuk terus, jarang liburnya. Kebetulan, karena puasa mungkin gurunya pun libur.

            Liburku kugunakan untuk mengantar istri yang guru juga sibuk masih mengurus raport murid-muridnya. Setelah dari Homeschooling Kak Seto (HSKHS), aku bergegas ke SGM. Sepeda kuparkir di toko buku Toga Mas. Setelah lihat-lihat buku di Toga Mas, aku memutuskan belum bisa membeli buku-buku disana. Beberapa diantaranya buku baru karya Kahlil Gibran yang diterbitkan ulang oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Ada juga buku Emha Ainun Najib yang berjubel, dan tak ketinggalan buku Haruki Murakami Norwegian Wood. Semua buku-buku itu, tak kubeli, aku perkirakan ongkos di dompetku. Tentu saja ini berbeda sebelum aku berkeluarga, aku sering sembarangan dalam membeli buku. Dan akibatnya, lapar harus ditahan, dan untunglah banyak teman-teman peduli meminjamiku uang.

            Setelah sampai di lantai tiga, naik eskalator, aku pun sampai di toko buku Gramedia di Grand Mall. Sepi, pengunjungnya waktu itu, sepuluh orang tak ada. Termasuk aku, banyak buku-buku diobral murah, karya Linda Christanty pun yang bertajuk Seekor Anjing Mati di Bala Murghab  pun dijual dengan harga murah. Ada juga buku karya teman penulis Solo mbak Sanie B Kuncoro Sayap Cahaya, pun dijual dengan harga murah. Begitulah nasib buku, begitu tak populer, tak ada yang melirik, mengulas, membahasnya, jadi semakin murah. Karya Arswendo Atmowiloto Keluarga Cemara terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2013 pun harus turun drastis harganya.

            Setelah memanjakan mata, aku pun menemukan buku yang karena sampulnya tak begitu cerah, harus jeli memandangnya. Buku itu berjudul Menggenggam Dunia  karya Gol A Gong. Gol A Gong atau dulu biasa ditulis Gola Gong, adalah nama pena dari Heri Hendrayana Harris. Buku itu aku beli bersama buku-buku lain, diantaranya adalah buku Imaji Cinta Halima karya Novriantoni Kahar.

            Buku Menggenggam dunia inilah yang kemudian mengenalkanku kepada sosok Gola Gong. Sosok ini begitu menarik, dan menantang. Bayangkan, di masa kecil saja, di usia sekolah dasar, ia sudah melahap dongeng H.C.Andersen seperti Gadis Kecil dan Korek Api, Jack dan Kacang Ajaib, Tudung Merah. Ia juga melahap buku-buku komik seperti Cinderella, Bawang Putih dan Bawang Merah, Kisah 1001 malam, Putri Salju, dan Pangeran Kodok, Sangkuriang, maupun Malin Kundang. Sedang film favoritnya seperti Tarzan, Zorro, Batman dan Robin, Superman, The Lone Ranger. Bacaan dan film-film itulah yang kelak mempengaruhinya ketika ia besar.

            Dari riwayat kelahirannya yang semula dianggap mitos, ia pelan-pelan menampiknya dengan membaca (pengetahuan), dan agama. Di kalangan orang jawa, bila seorang bayi ari-arinya dibuang di Sungai, biasanya ia akan menjadi petualang, dan memiliki jiwa petualang. Benarlah, ketika Gola Gong besar, ia pun telah mengelilingi nusantara, dan berkunjung ke 8 Negara asia. Meskipun ia menyatakan tak ada hubungannya dengan ari-ari yang dibuang ke sungai. Bapaknya ikut membentuknya dengan mengirimi kartu pos. Mari kita simak pengakuannya di buku otobiografinya. “Saat kecil, Bapak sering membelikan aku kartu pos. Jika sedang ada rapat dinas—sebagi guru atau ketua harian KONI Serang—ke Bandung, Cirebon, Yogya, Medan, Palembang, dan Surabaya, Bapak mengirimiku kartu Pos Candi Borobudur, Jam Gadang, Gedung Sate, dan Jembatan Ampera. Aku bercita-cita mengunjungi tempat-tempat di kartu pos itu. Bahkan walaupun belum pernah ke luar negeri—kecuali pergi berhaji ke Mekkah—Bapak mengirimiku kartu pos Pegunungan Himalaya Nepal, Menara Eiffel Perancis, Big Ben London, dan Piramida Mesir. Dan ternyata cita-citaku terwujud. Setelah aku jadi pengarang sejak 1989-2011, seluruh kota di indonesia sudah aku kunjungi”(h.74).

            Membaca petualangan dan kisah Gol A Gong memang membuat kita terpacu dan terpecut. Bagaimana tidak, ia yang diwaktu kecilnya pernah patah tangan, dan harus diamputasi bisa menjadi penulis dan membuat Rumah Dunia sebagai rumah yang menyemai literasi. Bersama rumah dunia itu pula, ia menjadi orang yang menggerakkan literasi di Banten yang sebelumnya dikenal sebagai Jawara, dukun, santet dan ilmu klenik.

            Setelah puluhan tahun ia melihat Banten yang dicitrakan negatif, Gol A Gong melalui rumah dunia, melalui kata-kata, ia merubah itu semua. Banten pun berubah pelan-pelan. Ia Gol A Gong muda, dengan kesadaran kritisnya ingin menampik mitos yang distereotipkan oleh kebanyakan orang itu. Ia pun membaca sejarah Banten, dan akhirnya menemukan sesuatu yang tak berubah dari Banten, utamanya dalam hal literasi.

            Ia merasa pemerintah di Banten tak mempedulikan urusan literasi, bahkan toko buku di waktu itu, bisa dibilang tidak ada. Buku-buku bacaan di sekolah hanya buku pelajaran, gedung sekolah yang banyak rusak, dan dugaan korupsi. Akhirnya benar pula, dugaan korupsi itu kemudian mencuat saat KPK menjatuhi hukuman Atut Gubernur Banten kala itu.

            Daya kritis Gol A Gong pun sudah tertanam sejak dini, meski ia memiliki cacat tubuh di usia dini, ia pun tak putus asa. Dengan modal mesin tik dari bapaknya, ia pun berniat menjadi pengarang. Kita bisa menyimak dialog yang menyentuh antara bapak dengan anak. Bapak Gol A Gong waktu itu bertanya : “ kamu mau jadi apa?,Saat berkeluarga nanti, kamu akan menafkahi anak dan istrimu dengan apa?” tanya bapak. Aku bangga punya beliau sebagai Bapak,karena beliau tak pernah berkata seperti ini : “Kamu itu udah cacat, nggak kuliah lagi! Mau jadi apa kamu?”. Aku jawab,”Mau jadi pengarang!”. “Yakin kamu bahwa profesi pengarang bisa menjadi profesi yang menguntungkan dan menjamin masa depanmu?”. “Insya Allah,dengan ridho Bapak dan Emak,”. Ayahnya pun menjawab “baik, kamu harus membuktikan kepada kami”. Gol A Gong pun menimpali “Tapi, aku butuh modal. Mesin tik”. Lantas bapak membelikan aku mesin tik jinjing dengan cara mengkredit. Saat itu tahun 1988, harganya Rp.150.000,00. Bapak berpesan, “Kamu harus membayar mesin tik ini jika sudah jadi pengarang!”.

            Sejak itu pula, Gola Gong membuktikan kalau ia bisa menjadi pengarang. Novelnya Balada Si Roy pun menjadi novel laris (1989-1994), kemudian dari hasil royaltinya buku Cinta-Mu seluas Samudra (2001-2008), ia pun membeli tanah yang kemudian menjadi Rumah Dunia. Rumah Dunia semula ia bangun beserta istri dan dua anaknya, tapi kemudian banyak relawan yang ikut membantu dan membesarkan Rumah Dunia.

            Diantara nama-nama yang ikut membesarkan Rumah Dunia diantaranya Ibnu Adam Avicena yang waktu itu mahasiswa IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten setelah menyelesaikan S-2nya di Leiden, Belanda. Kini ia jadi dosen di IAIN SMHB Banten dan presiden Rumah dunia periode (2000-2015). Ada juga Endang Rukmana yang menyabet juara I UNICEF Award for Indonesian Young Writer(2004), dan sudah menerbitkan belasan novel best seller. Yuanita Utami, menyabet UNICEF Award for Indonesian Young Eriter(2005), Oizink La Aziza kini menjadi redaktur opini koran lokal Radar Banten. Adkhilni M.S  sejak awal oktober menjadi duta besar Mesir, Jaya Komarudin buruh migran di Dubai yang menulis buku Tamasya Ke Masjid. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

            Semula Rumah Dunia dibangun dengan dana dan hasil royalti dari Gol A Gong. Dengan semakin banyak dan tumbuh pesatnya Rumah Dunia sebagai kawah para pegiat literasi, dan kesenian, Rumah Dunia pun mulai mendunia dan dikenal publik. Banyak program seperti perpustakaan keliling pun bisa berjalan dengan dukungan banyak pihak seperti bapak Imam B Prasodjo dari Nurani Dunia. Gramedia, Mizan, Kompas, dan banyak pihak yang lainnya termasuk Radar Banten, dan alumnus Rumah Dunia.

            Kini, orang kalau menyebut Banten tak sekadar menyebut hal yang berbau Jawara atau klenik, dan ilmu hitam lainnya. Kini, orang pun mulai menyebut Banten sebagai gempa literasi. Orang kini mulai mengenal Rumah Dunia sebagai rumah perubahan, rumah membaca dan menulis. Banyak pula karya-karya dilahirkan dari sana. Ia pun seperti membuktikan apa yang dirintis oleh Gola Gong. Lewat katalah aku hidup. Hidup lewat katalah yang aku ingin tiupkan kepada orang-orang putus asa. Aku hidup dimana-mana, di setiap sudut kota di Indonesia lewat novel-novelku. Dengan kata-kata Aku genggam Dunia.

            Gol A Gong membuktikan, kerja literasi adalah kerja hidup, kerja yang tak sekadar kerja kepenulisan dan kerja membaca, ia pun menggerakkan lebih dari itu, literasi juga berarti berbagi, memberi, dan tanpa pamrih. Ia juga memberi peringatan kepada kita, bahwa kebesaran tidak dibangun dengan mudah, tetapi dengan proses yang panjang. Termasuk dalam bersastra.

 

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogpot.com  

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan