gunung-dan-nilai-moralitas

Gunung: dari Rahim Moralitas Menuju Eksploitasi

“Kebijaksanaan liarku menjadi bunting

di kesunyian gunung-menggunung ;

di atas bebatuan kasar inilah ia melahirkan anak termudanya” – Sabda Zarathustra

Penggalan ucapan diatas merupakan monolog Zarathustra, tokoh spiritual dalam buku Sabda Zarathustra (Pustaka Pelajar : 2010) mahakarya seorang filsuf bernama Friedrich Nietzchie. Ungkapan tersebut menggambarkan gunung sebagai tempat kehamilan kebijaksanaan sang tokoh spiritual tersebut. Gunung bagi Zarathustra adalah rahim dari kelahiran ajaran moralnya yang kelak mengalir ke lembah tempat masyarakat tinggal.

Dugaan ini tidak salah. Zarathustra memang telah lama menepi di gunung dan bertapa. Buah pertapaannya adalah ajaran hidup bernama Ubermensch yang berarti manusia unggul. Ajaran ini, meski sempat diacuhkan, menjadi sangat terkenal dan berpengaruh melahirkan pemikiran post-modernisme dan dekonstruksi.

Konsep Ubermensch miliknya mampu membangkitkan Bangsa Jerman yang dipimpin oleh Aldof Hitler beserta pasukan NAZI di kemudian hari. Selama perang dunia, karyanya telah dicetak sebanyak 100.000 eksemplar untuk dibaca para tentara NAZI. Ironisnya, Nietzchie harus rela, tidak sempat mengetahui kepopulerannya akibat penyakit gila dan kematian.  

            Meskipun ajaran kebijaksanaan Zarathustra berbuah kekejaman NAZI, gunung tetaplah rahim moralitas. Hal ini dapat kita lihat jika menelaah tradisi bertapa yang dilakukan oleh orang-orang suci di gunung-gunung. Kelahiran agama, moral, maupun putusan penting yang berkaitan dengan nasib suatu bangsa tidak terlepas dari kehadiran gunung sebagai tempat sakral kelahirannya. Oleh karena itu gunung disucikan oleh manusia di berbagai belahan dunia.

Sebut saja Muhammad SAW, sebelum pengangkatanya menjadi rosul, ia telah menyepi dalam Gua Hira yang berada di Jabal (Gunung) Nur. Selama kurun waktu yang panjang, ia  merenung dan meminta petunjuk hingga Jibril turun membawa wahyu pertama Alquran yang kelak menuntun masyarakatnya. Gunung tempat turunnya wahyu tersebut dijuluki oleh masyarakat arab sebagai gunung yang bercahaya (Nur). Hal itu disebabkan karena ia membawa cahaya penerang yaitu agama Islam.

Gunung turut menjadi saksi atas turunnya sepuluh perintah yang terkenal dalam kepercayaan religi Bangsa Yahudi. Wahyu ilahi tersebut diterima oleh Musa setelah bertapa selama empat puluh hari di Gunung Sinai Mesir. Dikisahkan bahwa Tuhan “turun” langsung menemui Musa di gunung tersebut. Gunung pun dianggap sebagai tempat turunya malaikat maupun Tuhan karena ia “dekat” dengan atap langit ; tempat segala hal yang ilahi.

Gunung tidak hanya menghubungkan manusia dengan Tuhan dan malaikat. Gunung mempunyai kaitan erat dengan awal mula sejarah manusia itu sendiri. Gunung Adam’s Peak di Sri Langka menjadi contoh dalam hal ini. Gunung ini dikeramatkan oleh pemeluk Islam, Kristiani, Hindu, Budha, dan suku asli Sri Langka. Gunung ini dianggap sebagai tempat pertama turunnya Adam dari surga.

Memang terdapat jejak telapak kaki besar yang terletak di puncak Adam’s peak. Telapak tersebut dipercaya milik Adam saat pertama turun ke bumi. Langkah sejarah manusia di bumi pun dimulai dari gunung tersebut. Gunung membuka epos besar perjalanan umat manusia, layaknya peran gunungan dalam kesenian wayang membuka cerita Mahabarata dan Ramayana.

Peralihan dan Degradasi

            Fungsi Gunung tidak hanya berhenti pada membidani kelahiran narasi agung pedoman hidup manusia. Ia juga terus menjaga dan memperbaharui arah kehidupan manusia sebagaimana ia memperbaharui bumi dengan letusan abu vulkaniknya. Gunung pun juga menjadi titik perjalanan spiritual manusia menuju pencerahan. Gunung Kailash di Tibet adalah contohnya.

            Kailash ramai dikunjungi peziarah dari berbagai pemeluk agama hingga saat ini. Gunung berbentuk piramida dengan salju diatasnya ini dikeramatkan oleh umat Hindu, Budha, dan agama tradisional Tibet. Para peziarah terus mengunjungi Kailash untuk melakukan ritual ibadah dengan cara mengelilingi gunung tersebut. Pola ini mirip cara umat muslim mengitari Ka’bah. Para peziarah pun mendapatkan kebahagiaan hidup setelah melalui perjalan ziarah yang begitu berat.

            Bangsa kita pun mengenal gunung sebagai tempat sakral dan tempat bertanya. Bangunan petilasan serta tempat-tempat pertapaan para resi menjadi bukti. Letusan gunung dipercaya oleh masyarakat Indonsia sebagai kritik atas kemrosotan moral manusia maupun sebagai pertanda akan kejadian yang besar. Masyarakat pun mengidentifikasikan gunung dengan tokoh-tokoh sakti nan arif yang selalu memberi petuah pada persoalan manusia dalam kesenian wayang.

            Para pemimpin bangsa kita sering berziarah ke gunung-gunung tertentu untuk meminta “petunjuk” guna memimpin bangsanya. Gunung Lawu, tempat Brawijaya V moksa, menjadi tempat yang sering dikunjungi tokoh politisi nasional. Namun, saat ini gunung mengalami perubahan fungsi dari rahim moralitas menuju ekploitasi alam dan objek hiburan.

            Budaya industri dan konsumerisme telah mengubah wajah gunung yang sakral menjadi rusak dan amoral. Kita bisa menengok nasib gunung-gunung yang dieksploitasi kekayaan alamnya. Hutan-hutan di sekitar punggung gunung ditebangi melahirkan longsor, banjir, dan keringnya mata air. Kita juga turut diresahkan dengan proyek pengeboran gunung untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTB). Gunung pun menjadi tempat kelahiran bencana dan musibah bukan kebajikan moral.

            Gunung tidak lagi menjadi titik peziarahan spiritual maupun permenungan sejak dijadikan sebagai obyek wisata. Bahkan tidak jarang menjadi lokasi prostitusi. Para pengunjung gunung memang bukanlah peziarah di gunung Kailash. Mereka juga bukan pula tokoh bangsa, raja jawa, politisi, maupun pertapa. Mereka hanya tahu bersenang-senang bukan mencari kebijaksanaan hidup.

Para pendaki gunung pun hanya menanti sunrise di puncak, bukan menanti Tuhan maupun malaikat yang mendatangi Muhammad dan Musa. Kita tidak bisa mengharapkan kitab, wahyu, maupun suhuf-suhuf yang mencerahkan kekacauan Bangsa Indonesia dari para pendaki. Kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi tentu tidak bisa diselesaikan dengan foto-foto selfie maupun bungkus mie instan yang mereka bawa turun.


Penulis adalah mahasiswa aktif Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Bahasa Inggris. Penulis Merupakan Aktifis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan