willem-iskander-tokoh-pendidikan

Guru Menurut Willem Iskander

Siapakah pelaku utama pendidikan di sekolah? Setidaknya ada dua jawaban besar untuk pertanyaan ini. Ada yang bilang, pelaku utamanya adalah murid. Alasannya sederhana. Muridlah yang jadi sasaran pendidikan. Berhasil-tidaknya penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh hasil akhir kualitas dari murid yang dididik.

Tapi, ada juga yang berpendapat lain. Guru disebut-sebut sebagai aktor utamanya. Pepatah yang mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, setidaknya memberi gambaran peran penting guru. Gurulah yang menjadi nahkoda sebagai penentu kemana bahtera pendidikan berlayar.

Diskusi tentang ini ternyata kompleks juga, sekompleks perdebatan, “Duluan mana, telur atau ayam?” Namun, kita biarkan saja begitu. Tulisan ini tidak bertujuan untuk masuk dalam perdebatan itu. Tulisan ini berasumsi, bahwa guru dan murid, adalah sama-sama penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Keduanya tak bisa dipisahkan satu sama lain. Hubungan diantara keduanya (mungkin) adalah simbiosa. Simbiosa mutualisma.

Tulisan ini akan menyasar tentang guru. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pernah suatu masa, guru sangat mendapat perhatian dari seorang tokoh pendidikan. Tokoh pendidikan itu bernama, Willem Iskander. Siapakah Willem Iskander? Apa perannya dalam sejarah pendidikan di Indonesia? Bagaimana pandangannya tentang guru? Apa relevansi pemikirannya pada dunia pendidikan sekarang ini?

Willem Iskander, si Jenius yang Mati Muda

Jika ditanya, “Siapakah tokoh pendidikan di Indonesia?” Saya yakin, kebanyakan diantara kita akan menjawab, “Ki Hajar Dewantara”. Tanggal 2 Mei, sebagai hari kelahirannya, kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Nama Ki Hajar Dewantara tersohor, bukan hanya karena pemikirannya dalam dunia pendidikan, tapi juga karena terobosan-terobosannya, seperti mendirikan sekolah Taman Siswa.

Adakah diantara kita yang mengenal Willem Iskander? Atau setidaknya, pernah mendengar tentangnya? Jika belum pernah, Anda serupa dengan saya. Saya pun tak pernah mendengar nama ini sebagai salah satu tokoh pendidikan di Indonesia. Sampai ketika buku, “Inspirasi Kebangsaan dari Ruang Kelas”, tulisan St. Sularto hadir di hadapan saya.

Daoed Joesoef, mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1978-1983, dalam pendahuluan buku ini menyebutkan, Willem Iskander adalah salah satu tokoh pendidikan yang jenius, tekun, gigih, dan juga imajinatif (hlm. 1). Dia disebut sebagai pionir Pendidikan Bumiputera, jauh sebelum Kartini, Ki Hajar Dewantara, dan tokoh pendidikan lainnya.

Willem Iskander lahir dengan nama asli Sati Nasution. Dia anak seorang bangsawan yang lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Panyabungan, ibu kota Asisten Residen Mandailing Angkola, Sumatera Utara. Namanya kini diabadikan sebagai nama salah satu jalan sepanjang 2 km, yang membelah Panyabungan, ibukota Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara.

Sati Nasution berganti nama jadi Willem Iskander, seiring dia masuk agama Kristen. Peristiwa itu terjadi di Arnhem tahun 1858. Informasi ini (kepindahan agama), menurut berbagai sumber yang diwawancarai St. Sularto, masih diragukan kebenarannya, alias simpang siur. Namun, hampir semua sumber tidak membantah kalau dia berganti nama menjadi Willem Iskander (berikutnya Willem).

Walau juga dikenal sebagai sastrawan, tapi tidak banyak ditemukan karya sastra yang dihasilkan oleh Willem. Salah satu karya sastranya yang cukup terkenal adalah puisi bernada satiris yang terkumpul dalam “Si Bulus Bulus Si Rumbuk Rumbuk” (Lurus, Tulus, Muakat). Karya ini pernah dilarang untuk dibacakan oleh pemerintah Belanda karena dianggap menyulut semangat pemberontakan dan kemerdekaan.

Sejak muda, semangat untuk memerdekakan sudah ada pada diri Willem. Setidaknya ini terlihat ketika dia menggunakan semua uang warisannya untuk menebus budak agar mereka terbebas dari kewajiban kerja paksa.

Dia tergolong manusia jenius. Itu dibuktikan oleh statusnya sebagai guru termuda di seluruh Hindia Belanda waktu itu pada usianya yang masih lima belas tahun. Sejarah juga mencatat bahwa Beliaulah orang pertama dari Sumatera yang pernah belajar di Belanda.

Namun, usia Willem Iskandar tidaklah panjang. Dia berusia hanya sampai 36 tahun. Akhir kematian Willem Iskandar pun cukup tragis (bunuh diri). Walau demikian, diusianya yang cukup singkat, Willem disebut-sebut berhasil menumbuhkan kesadaran pentingnya pendidikan bagi masyarakat Mandailing, utamanya guru.

Arti Penting Guru

Untuk memahami arti penting guru, pertama kita harus pahami terlebih dahulu arti pendidikan menurut Willem. Dalam kondisi keterjajahan, Willem melihat pendidikan sebagai sarana untuk memerdekakan. Bukan lewat senjata, pendidikan adalah sarana yang dipilihnya untuk berjuang. Willem berkeyakinan, hanya lewat ilmu pengetahuanlah, bangsanya (rakyat Mandailing) bisa merdeka.

Pandangan ini sebenarnya tidak terlalu mengherankan, mengingat tokoh-tokoh besar beraliran humanis yang mempengaruhi pemikirannya. Sebut saja yang paling terkenal adalah Eduard Douwes Dekker, penulis novel yang tersohor itu, Max Havelaar (1820-1887). Pandangan humanis yang mendukung ide emansipatoris dan menjunjung kebebasan menjadi cikal bakal pemahamannya tentang pendidikan yang memerdekakan.

Guru sangat penting baginya. Menurut Beliau, “satu guru yang pintar akan menghasilkan setidaknya seratus murid yang pintar. Satu guru yang bodoh akan menghasilkan setidaknya seratus murid yang bodoh”. Mendidik guru yang bermutu sebanyak-banyaknya adalah gagasan pencerahan terpenting yang didasari konsep kejuangan Willem (hlm. 47). Dengan kata lain, Willem berkeyakinan bahwa guru adalah aktor kunci dalam sistem pendidikan.

Dengan visi inilah, Willem dengan yakin mendirikan sekolah guru pertama untuk Bumiputera dengan nama Kweekschool Tanobato pada tahun 1862. Sekolah itu bukan saja hanya sebagai pusat ilmu pengetahuan, tapi juga sebagai pusat kebudayaan. Dia berkeyakinan bahwa guru bukan hanya bertugas sebagai penerus atau pemelihara, tapi juga sebagai pengubah budaya yang egaliter, sadar historis, dan demokratis. Guru, menurut Willem, adalah aktor pembangun sumber daya manusia. Selain itu, guru dianggapnya sebagai pemegang tongkat estafet pelaksana cita-cita pembaruan.

Relevansi Pemikiran Willem Iskander dalam Dunia Pendidikan Sekarang

Baru-baru ini, dunia pendidikan kita tercoreng oleh peristiwa penganiayaan guru di Makasar (tempo.co, 11/8/2016). Belum lagi peristiwa orang tua melaporkan guru ke Polisi hanya karena guru mencubit muridnya (republika.co, 10/6/2016). Ragam peristiwa ini seolah menunjukkan kepada kita betapa guru tidak lagi dilihat sebagai profesi mulia. Guru tidak lagi dilihat sebagai seorang yang perlu dihormati. Guru, kini, seolah jadi sebuah profesi yang tak berarti.

Pemikiran Willem Iskander tentang arti penting guru, setidaknya menarik kesadaran kita kembali tentang peran penting guru. Guru adalah agen perubahan yang seharusnya dihormati setiap kebijakannya, bukan dilecehkan dengan aniaya atau dilaporkan ke Polisi.

Tapi disisi lain, Willem yang menempatkan guru pada posisi paling tinggi dalam dunia pendidikan, juga harus menggugah kesadaran guru. Guru harus lebih sungguh-sungguh dalam menjalani panggilannya. Seperti kata Daoed Joesoef, tugas mendidik adalah tugas paling kompleks karena berhadapan dengan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling kompleks dari segala ciptaanNya. Oleh karenanya, kesungguhan dan cinta kasih guru kepada muridnya, dalam penyelenggaraan pendidikan, pun harus dihormati dengan integritas dan budi pekerti yang luhur.

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan