asal-usul-garam

Harga Sebutir Garam

Alkisah, pada zaman dahulu kala berdirilah sebuah kerajaan megah di seberang Pantai Laut Selatan Jawa. Begitu megahnya hingga semua temboknya berlapiskan emas, singgasana bertahtakan berlian dan menara yang berhiaskan mutiara-mutiara yang berkilauan hingga sinarnya selalu berkelap kelip ke seluruh pelosok negeri.Tak hanya itu mahkota sang raja pun bertahtakan intan dan permata. Masyarakat hidup damai dan sejahtera dengan kepemimpinan Raja Jayarubi yang arif dan bijaksana dan Ratu Berlian yang cantik. Kerajaan itu bernama Kerajaan Lintang Segara. Selain harta benda yang teramat melimpah, mereka dikaruniai tiga orang putri yang perparas cantik jelita. Mereka adalah Ayu Permata, Ayu Intan, dan Ayu Mutiara.

Suatu hari para putri sedang sibuk memikirkan hadiah untuk perayaan ulang tahun ayahandanya yang ke-50.

“Permata ingin memberikan ayahanda sebuah baju yang bertaburkan serbuk emas, supaya nanti terlihat berwibawa di depan rakyat. Bagaimana ?”, kata Ayu Permata sambil membawa satu kotak kayu hitam berisi serbuk emas.

“Ide yang cukup bagus Yunda,” kedua adiknya mengacungkan jempol tanda setuju.

“ Lalu apakah yang hendak kalian hadiahkan untuk Ayahanda?”, tanya Ayu Permata menyelidik kepada kedua adiknya.

“Intan ingin memberikan sebuah sepatu bertahtakan berlian, supaya nanti ayahanda selalu ingat dengan nama ibunda yaitu Berlian”, Ayu Intan terkekeh sendiri mendengar idenya yang begitu brilian menurutnya.

“Kalau Mutiara ingin mengadiahkan ayah sebutir garam, agar ayahanda menyadari bahwa di dunia ini ada hal-hal berharga selain emas, berlian ataupun yang lainnya. Bukankah selama ini kita hanya mempedulikan kilauan logam mulia itu Yunda, Dinda”, tutur Mutiara tak mau kalah dengan kakak dan adiknya.

Mendengar penuturan Mutiara, raut muka kedua saudaranya berubah, mengernyitkan dahi seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Mereka berpikir bahwa tindakan Mutiara tersebut melecehkan derajat ayahandanya sebagai seorang raja. Namun Mutiara tak bergeming, kokoh berdiri pada pendiriannya. Dia akan memberikan garam tersebut sebagai hadiah luar biasa untuk sang raja, ayahandanya.

Tibalah hari perayaan ulang tahun raja, semua orang di kerajaan itu diundang dalam pesta megah tujuh hari tujuh malam. Semuanya bergembira ria dalam pesta perayaan itu, tak ada pembedaan kelas, apakah mereka dari golongan bangsawan atau dari golongan rakyat biasa. Semua bercampur baur merayakan ulang tahun sang raja. Mereka membawa hadiah dari tambang mereka masing-masing untuk rajanya. Ada yang menghadiahkan batu permata terindah, mutiara raksasa, emas, dan perhiasan lain yang sejenis.

”Terimalah persembahan dari kami Baginda!”, salah seorang warga yang membawa sebongkah berlian.

“Terima kasih rakyatku, sungguh hadiah yang indah”, wajah raja berbinar, mengamati dengan teliti berlian hadiah dari rakyatnya tersebut.

Demikianlah hadiah satu per satu diterima oleh raja dengan senang hati. Tak mau kalah dengan rakyatnya, ketiga putri pun membawakan berbagai hadiah untuk ayahandanya. Hadiah tersebut juga diterima dengan wajah senang melebihi kesenangan ketika mendapat hadiah dari rakyat. Namun wajah bahagia itu berubah tatkala membuka hadiah dari Ayu Mutiara.

 “Garam! Mengapa kamu memberikan hal tidak berguna seperti ini putriku ? Tidakkah kamu tahu bahwa ayahmu ini adalah seorang raja dari kerajaan yang kaya raya. Hal seperti ini sungguh mempermalukan ayahanda”, tutur raja dengan wajah merah padam.

Ayu mutiara pun memberikan penjelasan mengapa dia menghadiahkan garam itu kepada ayahandanya. Namun amarah amarah ternyata lebih berkuasa.

“Ananda adalah seorang putri dari kerajaan yang kaya akan emas dan berlian. Tak pantas melakukan hal seperti ini. Segerlah menyesali perbuatanmu, atau para dewa akan murka”, tutur raja penuh murka di singgasananya.

“Ananda tidak pernah bermaksud demikian ayahanda, maksud Ananda hanyalah …..”, suara Ayu Mutiara terhenti oleh teriakan yang tak pernah dia sangka sebelumnya.

“Cukuuuuuuuuup!” Raja semakin gelap mata mendengar penuturan sang putri yang selama ini disayanginya.

Akhirnya raja mengusir Ayu Mutiara dari istana kerajaan Lintang Segara. Rasa kecewa dan sedih yang mendalam dirasakan Ayu Mutiara ketika hendak meninggalkan tempat yang selama ini membesarkan dirinya. Bukan karena meninggalkan semua kemewahan ini Mutiara bersedih, melainkan kegelapan hati ayahnyalah yang begitu melukai perasaannya. Tanpa sempat menyampaikan maksud baiknya, putri Ayu Mutiara telah terusir dari negerinya.

Seluruh istana merasa sedih dengan kepergian Ayu Mutiara. Tak terkecuali kedua saudaranya yang tak bisa berbuat apapun melihat kepergian saudaranya tersebut. Tinggallah Ratu Berlian meronta-ronta kepada raja untuk menarik ucapannya tersebut. Namun raja tak bergeming, pantang untuk menarik ucapannya sendiri.

Sejak Ayu Mutiara terusir dari istana, dia tinggal di sebuah gubuk kecil di dalam hutan yang hampir tak tertembus matahari. Pakaiannya hanya kain kemben yang ia bawa dari istana. Makanan pun hanya berupa buah-buahan hutan dan ikan yang terkadang berbaik hati, menyerahkan dirinya untuk ditangkap. Ayu Mutiara merasa kesepian karena tak ada satupun manusia yang dapat ia ajak berbicara. Satu-satunya teman yang ia miliki adalah burung merpati yang selalu menemaninya kemanapun ia pergi.

Hari-harinya hanya ia habiskan untuk berdoa siang dan malam, berharap agar ayahandanya segera sadar memahami maksud hatinya dulu memberikan garam. “Wahai Dewa, bukakanlah pintu hati ayahandaku”, doa itu terus dia rapalkan, berharap dewa akan segera mengabulkan segala keinginan hatinya.

Bagai gayung bersambut, doa Ayu Mutiara terdengar oleh Sang Empu-nya Hidup. Para dewa akhirnya menghukum negeri Lintang Segara, semua garam yang ada di Kerajaan Lintang Segara sedikit-demi sedikit menghilang tanpa sebab. Awalnya penduduk tidak merasakan perubahan  yang berarti. Namun setelah beberapa tahun tak ada garam di negeri tersebut, kesehatan masyarakat mulai menurun. Banyak warga yang lehernya membesar bagai lesung padi, juga banyak yang mengeluhkan lemas dan tidak bertenaga. Raja pun kebingungan menghadapi masalah ini. Semua orang pintar telah ia panggil, namun tak ada yang dapat mengembalikan garam-garam itu seperti semula.

Suatu malam, terusiklah tidur raja karena mimpi yang beberapa hari menghantuinya. “ Ayahanda, ayahanda,” rintihan Ayu Mutiara telah meruntuhkan dinding gelap dalam hatinya.

 “Oh betapa bodohnya aku, putriku hanya ingin menyelamatkanku dari gelapnya kesombongan dan harta. Sedangkan aku mengusirnya? Dewa ampuni aku!”, suara raja menggaung di dalam ruangan, membangunkan ratu yang kemudian memeluknya erat.

Sejak hari itu raja terus termenung, berpikir bahwa penyebab musnahnya garam-garam dari negeri ini adalah karena kesalahannya mengusir Ayu Mutiara. Raja merasa keegoisannya telah membuat semua rakyatnya menderita. Kemudian tergugahlah hati sang raja untuk mencari Ayu Mutiara. Beliau menyusuri setiap daerah di negerinya, mulai dari pondok-pondok tepi sungai, pelosok desa hingga pasar-pasar. Namun Ayu Mutiara belum dapat ia temukan keberadaannya.

 Raja hampir putus asa karena tak jua menemukan putrinya, tetapi beruntunglah dia karena bertemu dengan petapa sakti yang menunjukkan keberadaan Ayu Mutiara.

“Putrimu berada di hutan, segeralah temukan dia, putrimu sangat menderita selama ini”, kata sang petapa yang sekejab menghilang, meninggalkan sang raja yang tertegun antara sedih sekaligus bahagia.

Raja semakin menyesal karena selama ini mengusir Ayu Mutiara, putri tercintanya. “Andaikan aku tak berbuat bodoh, pasti putriku tak akan menderita seperti ini”, sesalnya. Raja pun melajukan kudanya menuju hutan tempat putrinya tinggal. Setelah beberapa jam perjalanan, sampailah raja di sebuah hutan yang sangat lebat, yang mataharipun enggan untuk menembusnya. Hanya terasa hawa dingin menusuk tulang, membuat hatinya semakin ngilu.

Raja terus mencari keberadaan Ayu Mutiara, putri yang telah dia usir dengan tangannya sendiri. Sampai tibalah raja di sebuah gubuk bambu beratap rumbia yang sudah reot kaki-kakinya. Dia melihat sosok yang sedang terbaring lemah, dengan tubuh kurus, dan hanya mengenakan kemben yang sudah lusuh. Betapa teriris-iris hati raja melihat keadaan putrinya yang begitu memprihatinkan.

“ Maafkan ayahanda, Mutiara. Ayahandamu ini begitu gelap hatinya sehingga tak mampu menjangkau niat baikmu memberikan kado yang berharga itu. Andai saja ayah mendengarkanmu dulu, pasti musibah ini tak melanda negeri kita, tak akan menyengsarakan rakyat dan tentu tak akan menyakitimu seperti ini ”, ucap sang raja lirih tak berdaya.

Ayu Mutira tak mengerti maksud ayahandanya. Dia sama sekali tak mengerti musibah apa yang ia maksud, musibah apa yang telah menyengsarakan rakyatr, musibah apa yang telah membawa ayahandanya menelusuri hutan belantara ini.

“Musibah apa yang Ayahanda maksud? Ananda tak mengerti?”, tanya Mutiara.

Raja akhirnya menjelaskan apa yang terjadi pada negerinya. “ Semenjak kau meninggalkan istana, seluruh negeri menjadi bersedih, garam-garam di negeri kita menghilang dengan tiba-tiba. Semua penduduk terserang wabah penyakit. Jadi Ayahanda minta, ananda segera pulang ke istana dan mengembalikan keadaan seperti semula.”, pinta raja.

 “Mutiara tak pernah melakukan apapun pada negeri kita ayahanda, apakah mungkin dewa murka kepada negeri kita”, kata Mutiara.

Tak lama berselang Raja Jayarubi dan Putri Ayu Mutiara kembali ke istana. Seluruh kerjaan menyambut kedatangan Putri Ayu Mutiara. Mereka berharap dengan kedatangannya dapat mengubah kembali negeri Lintang Segara menjadi damai dan sejahtera seperti dulu. Raja pun terus berdoa meminta ampun kepada dewa agar negeri mereka kembali seperti semula, seperti ketika garam tersedia melimpah untuk kebutuhan sehari-hari. Ajaib, tak lama setelah itu keadaan kembali normal. Berangsur-angsur dapur mereka mulai mengepul, berisi garam untuk memasak. Kehidupan menjadi kembali normal.

Sejak saat itu Raja Jayarubi selalu menghargai apapun yang beliau miliki.  Beliau tak pernah lagi menyepelekan hal-hal kecil dalam hidupnya, termasuk garam. Raja menyadari bahwa seberapa kecil nilai suatu barang akan tetap berguna bagi kehidupan kita. Seperti rantai, apabila hilang salah satu mata rantainya maka akan putuslah rantai itu. Demikian pula dalam rantai kehidupan manusia, tak akan ada hal yang diciptakan sia-sia.

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan