hari-raya-idul-fitri

Hari Raya di Dermaga

Tinggal menghitung hari saja lebaran akan tiba. Euforia bagi setiap yang merayakannya semakin terasa. Banyaklah yang dilakukan, salah satu yang menjadi tradisi adalah menyiapkan kue-kue khas lebaran. Begitu pula dengan Sulastri, wanita berumur enam puluh tahun ini telah jauh-jauh hari menyiapkan berbagai pernik lebaran mulai hidangan tahan lama seperti kue-kue keju atau nastar hinga mengecat rumah biar tampak lebih segar. Maklumlah, di hari raya nanti Sulastri akan menerima banyak tamu ke rumah mengingat dia adalah yang dituakan di kampungnya. Selain itu, kehadiran anak-cucu yang datang dari berbagai daerah akan menambah keramaian di rumah Sulastri. Maka pantas saja jika Sulastri ingin rumahnya terlihat lebih asri di moment penting tersebut.

Sulastri mempunyai lima orang anak yang semuanya berada di Pulau Jawa kecuali si bungsu Arini. Sulastri sendiri dahulunya adalah orang Jawa , namun karena berjodoh dengan orang Padang maka jadilah ia penduduk sana selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Maka tidak heran jika sekarang anak-anaknya berada di Pulau Jawa dan bekerja di sana. Sebab setelah lulus SMA Sulastri mengirim semua anaknya untuk berkuliah di Pulau Jawa. Jika ke empat orang kakaknya mendapat jodoh orang Jawa, maka lain halnya dengan Arini. Arini rupanya ditakdirkan Tuhan untuk menemani ibunya yang sudah sepuh di Padang. Arini mendapat jodoh orang Padang pula.

Arini menikah dengan Hisyam, anak lurah yang dijodohkan dengannya. Pernikahannya dengan Hisyam berjalan harmonis. Namun sayang, setelah empat tahun membina rumah tangga keduanya tak kunjung dikaruniai keturunan. Berbagai cara telah mereka tempuh, mulai pengobatan alternatif hingga dokter kandungan. Namun rupanya Tuhan belum juga memberi kepercayaan kepada mereka berdua untuk menimang momongan. Akhirnya, pada satu waktu Hisyam mengutarakan niatnya untuk pergi ke Pulau Jawa dengan tujuan ingin menemui seorang ahli pengobatan alternatif yang konon sudah sangat terkenal mampu menyembuhkan orang yang sulit punya keturunan. Awalnya Arini merasa sangsi, kenapa harus pergi sejauh itu? Lebih-lebih Hisyam melarang Arini untuk ikut serta, alasannya satu karena pengobatan alternatif tersebut hanya akan mengobati pasangan prianya saja.

“Kamu tunggu saja di sini, paling lama seminggu nanti aku dah balik lagi sini. Jika lebih dari seminggu mungkin aku mampir di rumah salah satu kakakmu.” Kata Hisyam waktu itu. Arini pun mulai menghilangkan kesangsiannya. Lagi pula benar, jika masih merasa tidak yakin dengan apa yang dikatakan Hisyam tentang kebenaran pengobatan alternatif itu, Arini bisa menelopon kakak-kakaknya.

Maka pergilah Hisyam berlayar ke Pulau Jawa. Di dermaga Arini melepas kepergian Hisyam. Arini melihat lambaian Hisyam terus berkibar hingga di batas pandangannya. Hisyam lenyap di tengah Samudera, sementara Arini terus berdo’a agar perjalanan suaminya selamat sampai tujuan dan bisa segera kembali pulang.

Dua hari kemudian Arini menerima telepon dari Hisyam bahwa sekarang dia sudah berada di Pulau Jawa bahkan sedang berada di rumah Aminah, kakak tertua Arini. Tentu saja Arini sangat senang mengetahui keadaan suaminya baik-baik saja. Arini meminta Aminah agar mau menemani Hisyam saat menjalani pengobatan nanti , namun sayangnya Hisyam malah melarang Aminah dengan alasan tidak mau merepotkan. Hisyam bilang bahwa dia akan mengajak temannya saja yang pekerjaannya tidak sesibuk Aminah. Arini pun percaya dan terus berdo’a agar ikhtiar suaminya dalam upaya mendapatkan momongan segera dikabulkan Tuhan.

Seminggu sudah berlalu, tiba-tiba Hisyam tak dapat dihubungi lagi. Aminah yang di Pulau Jawa pun mengaku tak lagi dikunjungi Hisyam. Arini meminta Aminah agar mendatangi tempat pengobatan alternatif itu, namun setelah ditelusuri alamat yang diberikan Hisyam bukanlah sebuah tempat pengobatan alternatif melainkan perkampungan biasa. Di sana tidak ada praktek pengobatan buat membantu orang-orang yang sulit punya keturunan. Di sana pun tidak ada orang yang bernama Ustadz Zaenal yang diceritakan Hisyam kepada Aminah sebagai pemilik tempat pegobatan alternatif tersebut. Maka jelaslah sudah bahwa Hisyam telah berdusta. Lalu kemana dia? Sebuah pertanyaan yang bertahun-tahun tidak pernah terjawab. Pertanyaan yang membuat otak Arini berjalan tak karuan hingga terkadang dia terpenjara dalam sepi, bahkan di saat lebaran sekalipun.

“Sebentar lagi kakak-kakakmu datang, mungkin tiga hari sebelum lebaran. Sekarang akan semakin tambah ramai karena Arya bertambah lagi anak. Kamu punya keponakan baru, Rin!” Ucap Sulastri sembari membenahi toples-toples kue di lemarinya.

“Bahagianya Kak Arya bisa punya anak lagi. Aku yang berharap punya anak malah kehilangan suamiku.” Terlihat gurat sendu di wajah Arini.

“Sudah lima kali lebaran Hisyam tak datang. Orangtuanya pun sepertinya tak mau menghiraukan jika ibu minta tolong mereka untuk mencarikan Hisyam. Bahkan sepertinya mereka sudah tidak mau mendengar kita bertanya tentang Hisyam lagi.”

“Ya, bu! Sepertinya lebaran kali ini akan sama seperti lebaran sebelum-sebelumnya. Jika kita berkunjung ke rumah keluarga Hisyam untuk bersilaturahmi pintu rumah keluarga Hisyam tidak akan pernah terbuka untuk kita padahal kita tahu di dalam terdapat banyak orang. Mustahil tidak ada yang tahu kalau kita datang.”

“Biarkan saja, Rin! Mungkin bagi mereka kamu bukan anak mantunya lagi. Dan ibu juga bukan besan mereka lagi. Yang penting kita tidak berbuat salah pada mereka. Hisyam yang meninggalkanmu hingga bertahun-tahun, harusnya mereka yang datang ke sini dan meminta maaf atas kesalahan puteranya itu.”

“Tapi..bu…kira-kira Hisyam pergi kemana ya bu? Aku masih takut terjadi sesuatu pada dia.”

“Sudahlah, Rin! Tak usah dipikirkan. Sebentar lagi hari raya, lebih baik kamu menata pikiranmu agar bisa merasakan kegembiraan bersama saudara-saudaramu nanti. Ingat, tidak dari suamimu, maka kasih sayang akan datang dari sisi yang lain, dari ibu, dari kakak-kakakmu atau mungkin…dari pria lain. Kamu ini masih muda, ibu yakin kamu akan lebih bahagia lebih dari bersama Hisyam.”

Mendengar nasihat ibunya Arini mengangguk. Mau tidak mau dia memang harus seperti itu meskipun jauh di sudut hatinya pengharapan akan kembalinya Hisyam ke dalam pelukannya tak pernah pupus.

****

Suara takbir bergema sejak semalam tadi, tidak pernah berhenti hingga sholat ied tiba. Hari ini semua umat muslim merayakan hari besarnya. Di hari ini suka cita meraih kemenangan atas perjuangan sebulan lamanya menahan haus, lapar dan segala sesuatu yang dilarang agama. Anak-anak akan bersimpuh memohon ampun dan maaf dari orangtuanya, para istri akan bersimpuh di hadapan suami-suaminya. Yang jauh akan saling bertelepon saling mengucap kata maaf, yang dekat akan saling berkunjung bersalam-salaman membebaskan segala kesalahan.

Seperti biasanya, rumah Sulastri ramai oleh sanak keluarga dan tetangga. Mereka mencicipi satu persatu hidangan yang disajikan. Gelak tawa terdengar dari setiap sudut rumah itu. Semua terasa begitu ceria. Namun di sudut lain, Arini yang terlihat lebih cantik dengan gaun warna putih tampak termenung. Pandangannya kosong ke depan. ke arah jalan kecil di mana biasanya Hisyam memarkir motornya jika tengah berkunjung ke rumahnya. Ya, dulu Arini sangat senang jika malam Minggu Hisyam datang menyambanginya. Motor hitam yang waktu itu disebut keluaran terbaru menjadi andalan Hisyam untuk mengajak Arini jalan-jalan sebentar, sederhana saja mereka hanya keluar membeli dua porsi martabak coklat kesukaan Arini dan martabak kacang hijau kesukaan Sulastri. Namun itu dulu, dulu sewaktu Arini dan Hisyam masih berstatus tunangan.

Arini menutup matanya, mencoba melupakan apa-apa yang bersangkut paut dengan Hisyam. Ini adalah hari raya, dia harus bergembira seperti yang lain. Arini tidak akan membiarkan suka cita di rumahnya ternoda oleh air matanya. Air mata yang sebenarnya sudah hampir tumpah jika tak segera Arini tahan.

“Rin, nanti sore setelah acara silaturahmi selesai kita akan bermain ke pantai yang sebelah selatan itu. Kita makan-makan di sana.” Kata Fachri, kakak ke tiga Arini.

“Kenapa tidak besok saja. Hari ini kan masih hari raya?” Tanya Arini seraya menggigit kecil kue nastar buatannya.

“Besok kita mau kunjung ke rumah saudara yang lain. Lagian kalau sore hari di hari raya pantai terlihat ramai tapi tidak terlalu berdesak-desakan, jadi gak takut kehilangan anak.”

“Ah, Kak fachri ada-ada aja. Masak anak sendiri hilang, ya diawasin donk!”

“Lah kan kalau tempatnya penuh sesak susah juga ngawasin anak-anak main, apalagi keponakannmu itu aktif-aktif banget.”

“Ya..ya..Aku ikut aja, mau sore mau besok ke pantainya terserah Kak Fachri deh!”

Sore di pantai sebelah selatan kampung Arini terasa begitu bersahabat. Cuaca tidak panas namun terlihat sangat terang. Seperti dikatakan Fachri, di sana terdapat banyak pengunjung namun tidak berdesak-desakan. Lain halnya jika dua tiga hari setelah lebaran, pengunjung akan membludak. Maka tidak heran sering terdengar berita anak hilang.

Di pantai itu, Arini menemukan satu tempat di mana empat tahun lalu di sana terlihat lambaian tangan Hisyam. Lambaian itu seperti terpaku abadi di tiang-tiang penyangga dermaga. Di dermaga itu tidak hanya kapal yang terikat, tapi juga cinta Arini. Perlahan Arini menapaki dermaga yang sepi itu. Pandangannya menembus ujung laut. Dia berharap hari ini saat hari kemenangan tiba akan datang satu kapal terakhir membawa penumpang dari Pulau Jawa. Dan di antara penumpang itu akan ada Hisyam di sana. Tapi sayang, berjam-jam di sana tak satu pun kapal yang menepi. Pengharapan Arini ibarat menanti bulan di siang hari, sia-sia dan mustahil.

Arini membalikkan badan, dia hendak pulang. Kali ini untuk terakhir kalinya dia akan membuang pengharapan itu untuk selamanya. Biarlah nama Hisyam lenyap terbawa ombak, tidaklah perlu dipatri dalam hati. Arini melangkah meninggalkan dermaga, perlahan-lahan. Ada rasa sedih tak terperi ketika dia sadar bahwa pada akhirnya dia harus ikhlas melepas semua kenangan tentang Hisyam. Pikiran Arini melayang, kosong. Lalu akhirnya suara gemuruh dari segerombolan orang yang baru tiba di dermaga untuk mengambil foto bersama di sana membangunkan Arini dari pikiran kosongnya. Arini terkaget, rupanya sekarang dia berada di tengah-tengah satu kelompok keluarga.

“Permisi, saya mau lewat!” Ucap Arini kepada seorang lelaki yang berdiri membelakanginya dan sedikit menghalangi jalannya. Lelaki itu rupanya tidak mendengar, dia asyik mengarahkan seorang anak kecil dan seorang perempuan yang akan dipotret olehnya.

“Permisi…saya mau lewat. Maaf…!” Ucap Arini sekali lagi. Lelaki itu kemudian menyadari bahwa dia telah menghalangi Arini. Dia pun segera membalikkan badan ke arah Arini berada. Lalu, pandangan lelaki itu menepi di wajah Arini, demikian juga dengan pandangan Arini yamg tertambat di muka lelaki itu. Dan untuk sejenak mereka terpaku. Arini sedang terjebak dalam rasa tidak percaya, sedangkan lelaki itu terjebak pada rasa kaget luar biasa. Apa yang dilihat Arini kali ini tidaklah salah, bahwa lelaki yang di hadapannya adalah Hisyam. Arini tidak sedang bermimpi, di dermaga ini di tempat dulu di mana dia mengantar kepergiam Hisyam, Arini kembali menemukan Hisyam.

“Hisyam…..” Ucap Arini lirih. Beberapa detik lalu dia mengubur nama Hisyam di lautan, tapi kali ini rasa rindu kembali membuncah. Arini langsung menghambur ke arah Hisyam, dia peluk lelaki itu. Di dada Hisyam air mata Arini tumpah. Semakin kuat pelukan Arini terasa, tapi kemudian perlahan Hisyam mendorongnya ke arah luar.

“Sudah, Arini…” Bisik Hisyam.

Arini menghentikan tangisnya. Dia merasa tidak percaya kalau lelaki yang masih dia anggap sebagai suaminya itu memperlihatkan sikap yang teramat dingin. Hisyam enggan dipeluk. Hisyam seolah tak punya rasa rindu buat Arini.

“Kenapa? Aku terus menunggumu selama ini.” Tanya Arini dengan sisa tangis yang masih terlihat.

Hisyam tidak menjawab. Dia melirik ke arah anak kecil yang datang berlari ke arahnya.

“Ayah, kok aku sama ibu belum difoto juga sih? Ayo donk kan dermaga ini sangat indah kalau sore hari.” Pinta anak perempuan disertai rengekan manjanya.

Hisyam tampak mengangguk ke arah anak itu. Lalu dia mengendongnya.

“Maaf, Arini..! Ini anakku. Dan yang di sana itu…istriku!” Hisyam melihat ke arah seorang wanita yang sedang berdiri melihat ke arah laut.

“Jadi ini jawabannya, Hisyam? Dasar pengkhianat!” Raut emosi tergurat jelas di wajah Arini. Hisyam tak menjawab, dia hanya menunduk. Membisu.

Arini kemudian berlari menjauhi dermaga. Apa yang terjadi hari ini benar-benar telah mengoyak hatinya, menikam detak jantungnya. Tidak disangka kunjungan ke dermaga di hari raya malah membuat luka yang nyaris tak ada obatnya. Benarlah apa yang diikhtiarkan Hisyam ke Pulau Jawa untuk mendapat keturunan memang terbukti adanya. Kini Hisyam telah mempunyai keturunan tapi bukan dengan pengobatan alternatif, melainkan dengan menikahi perempuan lain. Pantas saja saat itu Arini tak diperbolehkan ikut serta dengannya ke Pulau Jawa. Ya, Arini baru memahami itu sekarang.

Dan Hisyam, dia masih terpaku menatap kepergian Arini dari hadapannya. Lalu di palung hatinya yang terdalam dia berkata, “Arini, maafkan aku! Semua ini terjadi karena skenario orangtuaku. Demi keturunan mereka telah mempersiapkan jodoh yang lain untukku.”

BACA JUGA:

,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan