humor-ala-slavoj-zizek

Humor ala Filsuf

Di negeri kita, humor begitu laku. Saking lakunya, hampir di setiap acara televisi kita, ada program humor. Meminjam kata-kata Zizek, Tuhan adalah pelawak utama. Kesimpulan Zizek ini diambil setelah membaca cerpen Isaac Asimov “Jockester”. Di cerpen itu pula dikisahkan penjadian manusia dari kera.           

Humor bukan hanya membutuhkan pikiran. Di dalam humor, terkandung pemikiran yang brilian. Seorang pelawak, tentu saja seorang pemikir yang jitu. Tak hanya dituntut membuat seseorang tertawa, tetapi juga dituntut untuk membawakannya dengan mimik dan ekspresi yang bagus. Kita bisa melihat bagaimana humor nampak menyelipkan pemikiran pada produk iklan. Saat pertama melihat, kita tidak bisa langsung tertawa, tetapi memerlukan cernaan pikiran meski hanya sekejap.           

Hal itu pula yang akan kita dapati ketika kita membaca buku Zizek ini yang diberi judul Mati Ketawa cara Slavoj Zizek (2016). Semula, kita memang diajak untuk menyerap apa yang sebenarnya ditulis oleh Zizek, tetapi di akhir narasi, kita baru akan menemukan letak humor ala Slavoj Zizek tersebut. Kita bisa menyimak contoh humor ala Zizek di bawah ini :

Fungsi Repetisi paling bagus dicontohkan oleh guyonan lama dari era sosialis tentang politisi Yugoslavia yang sedang berkunjung ke Jerman. Ketika kereta melewati sebuah kota, ia bertanya pada pemandunya : “Kota apa ini?”. Si pemandu menjawab : “Baden-Baden”. Si politisi tersinggung : “ Aku bukan orang bego—kau tidak perlu memberitahuku dua kali!”

Kita tahu, Baden-Baden memang nama sebuah kota di Jerman. Dan persepsi politisi sebenarnya salah sangka, ia mengira Si pemandu menganggapnya bodoh. Humor di atas memang lucu, bila dicermati lebih jeli.           

Kita juga bisa menyimak bagaimana pembuka obrolan bisa menjadi humor yang apolitis. Simaklah kisah humor berikut :

DALAM SEBUAH BANYOLAN yang luar biasa tolol (dan apolitis dari Rusia era Soviet, dua orang yang tidak saling kenal duduk di kompartemen kereta yang sama. Sesudah lama berdiam-diaman, yang satu tiba-tiba bertanya pada yang lain : “Pernah ngentot dengan Anjing?” Kaget, yang satunya menjawab : “Belum—Anda?” Tentu saja tidak. Menjijikkan. Aku bertanya cuma buat membuka percakapan!”(h. 36).           

Zizek memang mengajak kita terpingkal-pingkal sembari berfikir. Buku humor ini menyangkut pelbagai topik, tak hanya tentang Zahudi, Kristus, tetapi juga tentang Tuhan dan politik. Simaklah betapa tema Yahudi bisa membuat kita tertawa. ADA GUYONAN Yahudi lama yang disukai Derrida, tentang sekelompok orang Yahudi di sinagog yang mengakui secara terbuka kedhoifan mereka di mata Tuhan. Pertama-tama seorang rabbi berdiri dan berkata : “ Ya Tuhan, hamba tahu hamba tak ada artinya. Hamba bukan apa-apa!” Sesudah ia selesai, seorang pengusaha kaya berdiri dan berkata : “ Ya Tuhan hamba ini juga tak ada artinya, terobsesi dengan kekayaan duniawi. Hamba bukan apa-apa!” Sesudah pemandangan ini, seorang Yahudi biasa dan miskin ikut berdiri dan berkata : “Ya Tuhan, hamba bukan apa-apa”.  Si pengusaha menyenggol rabbi lalu berbisik sambil mencela : “ Kurang ajar sekali! Siapa sih orang ini! Berani-beraninya ikut mengaku bukan apa-apa juga!” (h.51).

Kocak dan Serius           

Meski tampak serius, humor Zizek sebenarnya banyak menampilkan adegan kocak. Adegan kocak itu lebih sering bertema yang menyinggung tentang Tuhan dan Sex. Maka tak heran, buku ini di bandrol di sampul belakang dengan tanda khusus untuk yang berumur 21 tahun ke atas.           

Kita bisa menyimak bagaimana Zizek menampilkan guyonan yang sebenarnya sudah jamak kita tahu tentang seks berikut ini :

NAMUN DEMIKIAN, ini baru satu sisi dari paradoks falus, kebalikannya ditampilkan lewat teka-teki humor. “ Benda apa yang paling ringan di muka bumi?—Falus, karena itu satu-satunya benda yang bisa diangkat hanya dengan pikiran”. Ereksi bergantung penuh padaku, pada pikiranku (seperti lelucon : “Benda apa yang paling ringan di dunia?. Penis, karena satu-satunya benda yang bisa diangkat dengan pikiran!”), tetapi sekaligus juga sesuatu yang aku sama sekali tak bisa mengontrolnya (bila suasana hati tidak tepat, seberapapun bulat kehendakku ereksi tidak bakal tercapai—itu sebabnya , bagi Santo Agustinus, fakta bahwa ereksi itu tak terkontrol oleh kehendak merupakan hukuman Ilahi atas kepongahan dan kelancangan manusia, atas hasratnya menjadi penguasa alam semesta”.           

Buku ini memang tak berkehendak membuat pembaca berkerut keningnya. Tetapi buku ini mengajak kita melamun sembari tertawa terkekeh-kekeh. Bila humor tak ada dalam diri manusia?, tentu saja tak ada kata, Dan Tuhan pun tersenyum. Buku ini, bisa jadi salah satu contoh bagaimana lawakan ala filsuf.

 

*) Penulis adalah tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan