orienstasi-pengenalan-kampus-mahasiswa-baru

Iklan Layanan Mahasiswa

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan.”

Kata-kata yang terpampang di atas lembar tengah sebuah buku catatan binder yang berada paling atas di antara tumpukan buku-buku bekas di salah satu sudut sebuah gudang kosong. Buku itu membelah terbuka dan sampulnya menggantung ke bawah dengan kertas warna latar merah jambu, ditambah gambar animasi dua ekor anak beruang warna merah jambu, permen lolipop warna merah jambu, dan beberapa motif hati yang juga warna merah jambu. Dengan kop bertuliskan,”Rudi Hermawan”.

Terdengar langkah kaki berasal dari luar, terdengar semakin dekat sesaat setelah decikan suara pintu terbuka, semakin mendekat ke arah tumpukan buku.

“Ane cari sampe bak sampah, malah ketemunya di sini”.

Pria bertindik dengan jenggot lebat, rambutnya sengaja dibuat pirang walaupun warna kulitnya yang setengah gelap tidak cukup mendukung. Jaket ala geng motor dan memampang logo “Mild Ones” di bagian belakang punggung, diprediksi bernama Rudi Hermawan dan ternyata memang ia.

Rudi seperti sedang mencari-cari sesuatu di dalam buku. Lembar demi lembar kertas merah jambu ia sibakkan dengan jari-jari kasar kekar nan kokoh, sampai sibakan kasarnya berhenti pada sebuah halaman.

“Untung belom robek nih catetan nomer hempon temen-temen BEM, jadi ikut ngospek ane.. huehehe… huahaahaha…”, tawa jahatnya memecah kesunyian, sesaat ruang kosong dan gelap itu menjadi lebih kelam, hanya ada sedikit cahaya pucat yang terbatas cukup menerangi wajah keji Rudi.

Sementara Mang Udin, tetangga Rudi yang sedang asyik mengroek-orek bak sampah, samar-samar mendengar suara tawa seorang pemuda dari ruang gudang tetangganya,

“Huahaha ngospek nguahaha”, diikuti suara jangkrik dari dalam bak sampah.

***

“Eh, besok pacarku  ospek tahun ini, awas kalo diapa-apain”.

“Anaknya pak Baroto yang kasi ane nilai D juga maba, bales dendem pokoknya”, kata Rudi menyahut salah seorang rekannya dengan setengah peduli sambil mencolek-colek layar ponsel.

“Bukannya smester terakhir nilai kamu paling bagus itu emang D?”.

Rudi dengan ekpresi yang masih sama, seperti memang setengah tidak berniat menyambung  obrolan dengan orang-orang yang berada di antara barisan berjejer melingkar di sekitarnya.

“Oke temen-temen, saya rasa sudah cukup untuk hari ini, jadi yang harus dibawa maba untuk besok yakni makanan pembasmi hujan, makanan pemakan gulma, dan masing-masing sebuah kado untuk panitia. Nanti kalau ada apa-apa akan diinfokan lewat sms”, laki-laki beralmamater bebicara diikuti bubarnya barisan melingkar.

“Oh ia satu lagi”, laki-laki beralmamater seperti ingin menyampaikan sesuatu.

“Emm…”, laki-laki beralmamater tidak yakin.

“Yah”, laki-laki beralmamater mendapatkan kata-kata yang tepat.

“Jangan lupa juga untuk menyiapkan kekejian untuk hari terganas kita esok hari, huehehe… huahahahaha…”, laki-laki beralmamater tertawa jahat, diikuti semua rekan-rekan panitia ospek yang juga melakukan hal serupa. Halaman kampus yang tadinya terang tiba-tiba gelap, matahari sore seolah sejenak bersembunyi ketakutan untuk sekedar menerangi kegelapan hati manusia-manusia kejam yang sedang dibutakan jiwa psikopat itu. Sementara Mang Udin, masih mengroek-orek sampah.

***

Rudi tampak berbeda pagi ini, dengan tindik hitam tetap menggantung di daun telinganya, sekaligus model rambut bule TKI yang sedikit lebih rapi, menggunakan almamater yang mempertegas kalau dia siap menggojlok maba-maba polos di depannya menggunakan teriakan-teriakan khas kakak senior.

“URRRAAAAA!!! NAIK POHON CEPAT!! AAARRRGGGHHH”.

“MAKAN TUH TEMPE LUDAH BEKAS TEMEN ENTE!! KALO MATI ANE GAK TANGGUNG JAWAP RRAAAGGGHH!!”.

“BOTAK BOTAK DAH ENTE SEMUA, BIAR NIH KAMPUS KAYAK KERAJAAN DEDEMIT!! URRRAAAAA”.

“EH DIVISI P3K MANA!! NIH ADA ANAK SEKARAT MAKAN TEMPE!! URRRAA P3K MANA P3K!!!”, teriak salah seorang kakak senior, diantara teriakan-teriakan kakak senior divisi tatib yang sama ganasnya.

Rudi datang membawa alat gotong dengan tergopoh-gopoh. Dibantu seorang rekannya, ia mengangkat maba yang kejang-kejang dengan busa di sekujur mulutnya selepas menelan tempe yang dipungut Senior “Urra” dari bak sampah Mang Udin.

Meski kegarangan Rudi tidak diakui untuk sekedar masuk divisi tatib yang tanggung jawabnya menjaga tata tertib ospek (baca: hanya berlaku bagi maba (baca : dengan cara yang tidak terduga)). Namun terlepas dari itu, Rudi sendiri lah yang menginginkan hal demikian,  pikirnya akan membuat ia lebih leluasa untuk melakukan beberapa teknik modus ke beberapa maba perempuan yang nantinya akan banyak terkulai lemas di dalam ruang P3K. Singkatnya dia ingin menambah stok wanitanya dengan ikut menjadi panitia ospek divisi P3K. Pola pikir yang jenius.

Rudi sendiri sebenarnya sudah berstatus alumni di universitas ini, ia sengaja menghubungi rekan-rekannya yang masih aktif untuk meminta ikut menjadi panitia ospek. Sialnya, sejauh ini belum ada wanita yang masuk ruang P3K, hanya seorang laki-laki berkacamata tebal, berponi rata dengan dasi kupu-kupu hitam di kerah baju yang masuk celana sampai sebatas dada, walaupun tidak ada aturan ospek mengharuskan demikian.

“Dasar, cowok culun, Detektif Conan”, gerutu Rudi.

Senior Urra mengatakan, di dalam tempe ada seekor jangkrik yang tidak sengaja ditelan oleh laki-laki dasi kupu-kupu.

“Ente cowok kok sekarat cuma karena makan tempe!!!”, Rudi ingin terlihat punya wibawa di depan juniornya.

“Jangan kira setelah masuk ruangan ini ente bakalan  bebas, semua ruangan di universitas ini adalah ruang ospek!! Dan ente musti patuh ama senior!!  Disiplin!! Disiplin!! Disiplin!!”.

Laki –laki berdasi kupu-kupu  masih dengan ekspesi yang sama, ditambah tatapan kosong namun mulut pucatnya seperti tersenyum meringis kecut.

“Di ruangan ini, mental ente bakalan lebih tersiksa!! Jangan kira karena ente tadi sekarat terus bakalan dikasi perlakuan istimewa!! Sadar diri woy!!”.

Si laki-laki dasi kupu-kupu tetap dengan eksresi yang sama, sambil tidur terlentang di atas ranjang kasur ruang P3K di samping Rudi yang terus berkicau seolah merasa ada yang menghiraukannya.

“Eh! Diem aja ente!?? Jawab apa kek gitu!! Woy!!”.

Si laki-laki dasi kupu-kupu masih saja terlentang menatap lampu ruang P3K dengan tatapan mata kosong. Rudi mulai gelisah, kicauannya berubah menjadi…

“Aduuuh… jangan mati dong… ane gak berani masuk penjara sendirian uhuhuhuuuu”, mulut Rudi mengerenyit, raut gusar tanda kegelisahan mulai jelas terlihat dari  ekspresi bibir cemberut mengkerutkan kedua pipinya.

Ada saatnya ia menengok wajah pucat lelaki dasi kupu-kupu, untuk kembali merengek-rengek melampiaskan ketakutan. Rudi yang semakin gelisah spontan berteriak minta tolong seperti sedang terjadi sesuatu pada dirinya. Anehnya, tidak satupun respon yang ia dapatkan, setelah tiba-tiba sayup ia mendengar dari halaman suara maki-makian senior divisi tatib yang tadinya ganas, juga berubah menjadi…

“URRRAAAA AMPUUUUN UHUHUHUUU”.

“TUH TEMPE ANE AMBIL DARI MANG UDIN, URRRAAA DIA YANG SALAH UHUHUHUUU”.

“ANE BELIIN WIK BUAT YANG DIBOTAKIN URRRAAA”.

Rudi yang menyadari ada yang tidak beres, keluar langsung meninggalkan pria dasi kupu-kupu di dalam ruang P3K. Di halaman ia melihat semua panitia ospek dan maba sedang berkumpul berdiri berhadapan, seperti ada dua kubu di sana. Laki-laki beralmamater yang sebelumnya menjadi pemimpin rapat, berdiri di garis paling depan behadapan dengan seorang maba perempuan yang juga memimpin kubu yang satunya. Mereka bediri di tengah lapangan kampus yang seperti akan berubah menjadi medan perang, pasir dan debu beterbangan ditiup angin.

“Bela harga binsin, bela orang putus kuliah, bela harga pupuk, bela…”

“DIAAAAAAAM!!!”, laki-laki beralmamater berteriak sampai bola jakunnya bergetar.

“bela haga cabe, bawang, buntut sapi, susu bayi…”

“sekali lagi saya bilang, DIAAAAAAAM!!!!”, lelaki almamater kembali, menggetarkan jakunnya

“bukan buang-buang waktu dan biaya cuma untuk teriak nyuruh kita naik pohon hanya karena lupa bawa peniti, dibotakin karena rambut lebih 2cm, disuruh bawa mi instan yang mereknya makanan pembasmi hujan lah, makanan pemakan gulma lah, makanan…”

“URRAAA DIAAAAAAM”, laki-laki almamater mulai terjangkit virus “urra”.

“kami butuh pengenalan yang positif dengan universitas ini, bukan pengenalan yang mempertontonkan minimnya karakter mahasiswa di sini”, wanita di garis paling depan terus bebicara tanpa menghiraukan gertakan laki-laki beralmamater.

“Baikan jakunnya bro?”, celetuk seorang panitia dari belakang kepada ketua kelompoknya itu.

“Baikan bro”, laki-laki beralmamater baikan.

“Tapi”, laki-laki beralmamater memikirkan sesuatu.

“Yah”, laki-laki beralmamater menemukan kata yang tepat.

“Err”, laki-laki beralmamater main-main rupanya.

Sementara Rudi yang tadinya adalah pemeran utama cerita ini tapi ternyata tidak terlalu, hanya terdiam tidak berani berkata-kata diantara kerumunan panitia yang entahlah dia tepatnya ada di sebelah mana.

“Mohon maaf untuk semuanya mbak”, suara Rudi tiba-tiba terdengar mengisi jarak antara sedikit kesunyian dari suara ke suara kedua belah kubu, ternyata dia sedang berada di tengah kerumunan maba, tepatnya ditengah maba perempuan seperti baru saja melakukan beberapa teknik modus, “saya secara pribadi meminta maaf, tapi… dari semua cewek di sini, hanya mbak yang belum kasi nomer hape, jadi…”.

“Lihat! Orang seperti kakak itu yang harus kami contoh?!”

“URRAAA, KALIAN CUMA MABA DI SINI!! JANGAN BELAGU, KITA UDAH CAPEK BUAT NYIAPIN ACARA INI, RAPAT TIAP HARI, HARUS BANGUN PAGI-PAGI BUAT NYIAPIN SEMUANYA, DAN YANG KITA DAPETIN MALAH KAYAK GINI URRRAAAA”.

“Kalian pikir, hanya kalian yang melakukan semua itu?”, ditengah adu mulut yang berlangsung sengit dan tidak terlalu jelas, terpotong suara menyerupai karakter anime, laki-laki dasi kupu-kupu terpincang-pincang dengan membawa sebuah kotak kado, berjalan terlunta-lunta di tengah desiran debu perang yang berterbangan ditiup angin besar, mulutnya masih pucat ditambah minyak wajah yang menempel debu.

“Kami juga sebelum ini sudah menyiapkan perlawanan terhadap pelanggaran yang sudah kalian siapkan”, katanya seraya melempar kotak kado ke arah laki-laki beralmamater kemudian mengomandoi maba untuk segera meninggalkan lokasi ospek. Meninggalkan laki-laki beralmamater yang sedang sibuk membuka bungkusan kado dengan raut keheranan.

Kado itu berisi sepucuk kertas dengan tulisan hasil print.

“KEPUTUSAN DIEKTUR JENDERAL

PENDIDIKAN TINGGI DEPATEMEN

PENDIDIKAN NASIONAL

NOMOR 38/DIKTI/Kep/2000

TENTANG

PENGATURAN KEGIATAN PENERIMAAN MAHASISWA BARU

 DI PERGURUAN TINGGI

Memutuskan

 (kepanjangan kalau ditulis semua, ada di google kok, hehehe)”

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan