imaji-cinta-halima

Imaji Cinta Halima: Pergumulan Cinta dan Agama

Apakah cinta memiliki agama?. Dalam kisah kehidupan agama samawi misalnya, cinta semula tak memiliki agama. Mari merujuk pada kisah percintaan tertua antara Adam dan Hawa. Adam dan Hawa adalah pelajaran kisah cinta manusia pertama kalinya. Jatuh cinta tak memerlukan agama. Datangnya risalah, datangnya agama, justru setelah Adam turun ke bumi. Di saat itulah agama kemudian hadir kepada manusia, hadir sebagai penyeru, sebagai ajakan, sebagai teladan, sebagai jalan.           

Begitu pula jatuh cinta, jatuh cinta semula memang perkara hati. Dan dalam hati seorang yang jatuh cinta, biasanya agama kemudian dipikirkan ketika ia sadar. Saat itulah, orang sering menyebut bahwa seorang yang jatuh cinta itu adalah seorang yang gila, sinting, dan sebagainya. Tapi benarkah agama tak memiliki campur tangan, atau tak ada dalam dimensi cinta seseorang?

Bolehlah kita merujuk pada Rumi. Jalaluddin Rumi, adalah seorang filsuf pencinta. Ibnu Arabi pun dikenal sebagai seorang sufi yang membincangkan cinta. Mabuk, seorang sufi tentu berbeda dengan seorang yang jatuh cinta kepada lawan jenis. Kita bisa melihat bagaimana seorang Darwis menari. Saat ia menari, ia bukan sekadar berputar, tetapi kita bisa melihat keindahan di sana. Kita jamak mendengar dalam sebuah hadist bahwa bila seorang yang sedang mencapai puncak ma’rifat, maka tangannya menjadi tangan Tuhan, ucapannya menjadi firman-Nya.           

Agama sendiri sebenarnya memberikan banyak tata cara, tuntunan, dan pedoman hingga rambu-rambu dalam urusan cinta ini. Hubungan antar sesama manusia ini, diharapkan menjadikan manusia menjadi tenang, tenteram, dan bahagia. Kata terakhir ini menjadi harapan dan impian setiap pasangan yang menjalin hubungan cinta.           

Kita bisa menyimak bagaimana kisah seorang yang jatuh cinta kemudian tak bernasib bahagia di puisi-puisi Novriantoni di buku puisi Imaji Cinta Halima (2013). Sebut saja tokoh Farah, yang belajar di Pakistan. Di Pakistan ini pula Farah kemudian bimbang antara mengenakan jilbab atau tidak. Ketika menghadapi para lelaki di sana yang mengumbar mata mereka, Farah pun resah. Bismillah, cadar bulat dikena/” Masih menggoda dan mengundang fitnah?”/ terperanjat Zakiah ditanya/ “Bukan engkau yang menggoda, Farah!/ tingkah merekalah yang perlu dibina/ hasrat mereka yang kurang berbudaya” (Mata Yang Menembus Cadar)           

Nampak sekali di puisi ini, penyair ingin mengisahkan bagaimana urusan agama kemudian berbenturan bukan hanya dengan praktik kebudayaan yang justru berkebalikan. Nafsu, dalam hal ini justru menjadikan seseorang terbelenggu, meski agama sudah mengaturnya. Kita bisa melihat kasus Farah, meski Farah sudah berjilbab di negara yang mayoritas muslim, tetapi Farah tak menyangka bagaimana polah orang-orang di sana utamanya kaum lelakinya justru semakin beringas.           

Singkat cerita, Farah pun menikah untuk menghindari fitnah dan menghindari godaan. Tetapi apa daya, pernikahan yang diimpikan akan membawa kebahagiaan pun akhirnya kandas ketika Saiful, pujaan hati Farah justru ditangkap oleh kepolisian daerah sana karena Saiful dicurigai menjadi seorang teroris. Saat kekecewaan membuncah, ditengah hadirnya seorang bayi, Farah pun kemudian memutuskan untuk berniat kembali ke Indonesia. Perlahan, dilepasnya cadar yang ingkar/ disingkapnya paras yang mawar/ Keduanya tak kuasa lagi berkata apa/ hening lunglai dalam keharuan senja.           

Di akhir sajak ini, terasa sekali kesan penyair menampakkan emosionalitas si tokoh untuk dijadikan contoh atau potret bahwa ada praktik agama yang kemudian ditanggalkan karena dianggap tak sesuai lagi dengan gejolak hati. Saat ketegangan emosionalitas seseorang berpadu dengan realitas jiwa yang tersiksa, agama kemudian menjadi tak menenangkan. Padahal, praktik agama memerlukan kepasrahan, ketundukan.           

Di puisi kedua, kita juga menyimak bagaimana persinggungan konflik batin personal, dihadapkan kepada kepatuhan dan ketundukan pada agama. Kisah berikutnya adalah kisah tentang Kartika yang beristrikan Ustad. Pak Ustad yang semula tak kondang, kemudian menjadi tenar. Kita bisa menyimak di puisi berjudul Demi Dakwah Halalan Toyyiba : Hari demi hari, pamor Ustad semakin tenar/ kala berdakwah tiba, harmoni keluarga mulai diumbar/media menguntit jengkal demi jengkal/ infotaimen gencar pula menyiarkan keluarga ideal/ Pemburu gosip bertanya apa saja/ “ Soal poligami Award, apa tanggapan Anda?”/ “Poligami sepenuhnya syar’i tak terlarang/ award-award-nya yang agak mentereng!”           

Akhirnya Kartika pun dipoligami, semula Kartika menerima, tetapi lama-kelamaan ia tak mampu menghadapi gejolak hatinya. Dan akhirnya Kartika pun menemukan kejernihan. Kita bisa membaca bagaimana Kartika menemukan dirinya kembali setelah jatuh jiwanya dipoligami. Seperti terlahir kembali/ akhirnya terjumpa si jati diri/ Sejak berpikir secara jernih/ terbantu Kartika meninggalkan perih/ Tak mudah memang bangkit kembali/ tapi perkawanan kini pun mulai hangat lagi/ semua menyalakan ide mandiri/ setelah lama dikubur bakti. Berbagai wacana ia geluti/ pelbagai keahlian diasah kembali/Berbagai kisah ia resapi/ pelbagai inisiatif dia jajaki/ Sampai terjumpa kata kunci : istri bukan hamba suami/ istri berkata dan akan perkasa: asal keluar dari sarang junjungannya. Meskipun semula Kartika menanggung derita akibat ketidakpedulian suami, dan kecemburuan yang ditanggungnya, akhirnya Kartika kembali menemukan jati dirinya.            

Kelima puisi esai yang ditulis oleh Novriantoni Kahar menunjukkan gejolak yang berbeda-beda di setiap tokohnya. Kahar tak hanya mengangkat sosok perempuan di puisi esainya, tetapi juga menelisik ke dalam batin si tokoh dan mengungkapkannya ke dalam puisi. Kita pun meresapi ketragisan Noura, yang akhirnya mati bunuh diri. Noura memutuskan mati, demi cintanya kepada kekasihnya yang beda agama.           

Baca juga Dua Puluh Tiga Penyair Kondang Berpartisipasi dalam Penyusunan Buku Puisi Esai

Di puisi Imaji Cinta Halima kita juga menyimak kisah Halima, sang majikan yang justru tertarik kepada Deden. Ia justru mengandaikan kebahagiaan bersama Deden ketika menerima takdir disiksa dan dianiaya justru oleh suaminya yang sering main tangan di negerinya Saudi Arabia. Buku puisi ini ditutup dengan kisah cinta Yusuf dan Sofia yang ditolak ayahnya.           

Buku Imaji Cinta Halima ini memang sarat pesan dan permenungan tentang kisah cinta dan pergumulannya dengan agama. Buku ini menyiratkan bahwa ketangguhan personal yang kelak membawa seorang mencintai dengan tulus, saat ketulusan diuji dengan persinggungan agama, kita dituntut untuk tak lekas pasrah dan menyerah.           

Meski dikemas dengan gaya pantun yang enak dibaca, dari segi estetis, buku puisi ini tetap masih belum mampu memuaskan pembacanya. Pembaca seolah belum menemukan metafor apik yang dihadirkan di puisi ini. Boleh jadi inilah yang menjadi catatan puisi esai, ia tak hanya dituntut untuk kreatif menyajikan puisi yang berdiksi bagus, tetapi juga pesan yang membuat pembaca terkesan.

*) Penulis adalah Pengelola doeniaboekoe.blogspot.com, tuan rumah Pondok Filsafat Solo

, , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan