buku-iman-dan-hati-nurani

Iman dan Hati Nurani

Sejatinya, apa peran para pemuka agama? Apakah tugas mereka hanya mengurusi perkara langitan semata? Menjadi soalkah baginya urusan duniawi yang fana? Berjarakkah dia dengan pergumulan nyata manusia dikesehariannya? Terkait letaknya dalam masyarakat, memang banyak tanya yang bisa dilahirkan dari sosok yang mendaku sebagai wakil Tuhan ini. Jabatan ilahinya menggelitik rasa penasaran atas peran serta tanggung jawabnya dalam realitas sosial. Kita beruntung karena buku ini (setidaknya) memberi sebuah sudut pandang untuk menjawab pertanyaan di atas.

Pengarang buku ini bernama Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Nama ini mungkin tak akrab di telinga. Kita lebih mengenalnya dengan nama Franz Magnis Suseno. Pria kelahiran Eckersdorf, Silesia, Polandia, 26 Mei 1936 dikenal khayalak sebagai filsuf, agamawan, sekaligus budayawan. Setidaknya itu ditunjukkan lewat banyak karya tulisnya yang berbicara di seputaran wacana ini.

Selain rajin melansir banyak karya tulis di berbagai harian, begawan filsafat ini juga dikenal sebagai pejuang kerukunan antar umat beragama. Bersama dengan Alm. Gus Dur, ia giat berperan sebagai juru damai dalam setiap gesekan yang dipicu kebencian karena keyakinan. Jadi ruang kerjanya bukan hanya di perpustakaan dan rumah ibadah, tapi juga di lapangan nyata kehidupan.

Buku ini dikeluarkan oleh Penerbit Obor pada Februari 2014. Jujur saja, sampulnya tak seindah isinya. Walau berusaha meringkas gagasan utama, tapi kulit muka buku ini tidak terlalu elok dilihat mata. Paduan warnanya kurang apik tertata. Tapi apalah arti bungkus. Bukankah orang bijak pernah berkata, “Jangan hakimi buku dari sampulnya”?

Ada banyak hal yang membuat bacaan ini nyaman untuk diresapi. Pertama, ukuran huruf dalam buku sangat pas. Kadarnya tidak terlalu besar atau kecil. Kedua, penataan pemikiran Romo Magnis. Gagasannya dikemas dengan  runtut dan rapi. Itu memudahkan pembaca dalam memahami buah pikiran yang dihidangkannya . Ketiga, bahasanya pun mudah dipahami. Walau mengupas permasalahan rumit, pengarang berhasil meringankan penyampaiannya. Hal ini tentu menjadi satu alasan kenapa bacaan ini empuk untuk dinikmati.

Karya tulis ini tidak terlalu tebal. Di dalamnya banyak berisi pandangan teologis Romo Magnis tentang persoalan yang dihadapi Indonesia. Misalnya, tentang keberagaman agama, peran Gereja dalam pembangunan masyarakat, berbagai kajian perihal bertukar pikiran tentang ateisme, dan berbagai usaha Gereja dalam menjawab tantangan zamannya.

Banyak pemikiran bernas di buku ini. Terkhusus dalam wacana perdamaian antar agama, seperti hubungan antara agama Kristen dan Islam di Indonesia. Dengan gagasan, ide, dan pengamatan yang cermat, beliau berhasil menempatkan posisi tiap agama demi mewujudkan ketenteraman dan kerukunan di Indonesia. Semangat cinta kasih menjadi nyawa utama sikap dan pandangan Romo yang senang naik gunung ini.

Romo Magnis sangat bernyali membicarakan satu wacana yang cukup rawan dibicarakan di wilayah agama-agama, yaitu tentang jalan menuju surga. Sudah lazim, jika isu keselamatan akhirat menjadi barang “haram” untuk dibicarakan. Itu dikarenakan sifat eksklusifnya dalam setiap kepercayaan. Seluruh agama di Indonesia sangat tertutup untuk isu ini. Alasannya karena semua agama berpijak pada sebuah keyakinan bahwa hanya jalannya yang terbenar. Itulah yang menjadikan isu ini selalu dihindari karena berpeluang lebih besar menimbulkan percekcokan.

Namun, di tengah situasi khusus ini, Romo Magnis menawarkan sebuah pandangan tentang jalan menuju nirwana. Bisa disebut, pilihan yang disodorkannya melampaui batasan agama. Dalam upaya ini, beliau tetap menjaga keselarasan keyakinan teologis yang dipercayainya. Artinya, dalam usahanya memberi pembenaran bahwa agama lain pun disediakan Tuhan keselamatan yang sama; dia sendiri tidak mengkhianati kemurnian ajaran agamanya. Itu dibuktikan lewat konsistensi argumentasinya yang berlandaskan ajaran kitab suci. Beliau tidak terjebak seperti para pemikir bebas yang ugal-ugalan menciderai kesejatian suatu ajaran agama dalam upaya mendirikan perdamaian. Disinilah pengalaman dan kedewasaan teologis Romo Magnis disuguhkan dengan cara yang apik.

Tidak hanya bersuara di seputaran agama, lelaki yang sudah beruban sempurna ini, juga piawai berinteraksi dengan cabang ilmu lain, seperti fisika, sejarah, dan biologi. Dia mempercakapkan bidang ilmu yang dikuasainya (filsafat dan teologi) dengan disiplin lainnya. Tanggapannya pun cukup tajam dalam menyikapi “tuduhan” mereka yang dialamatkan pada agama. Lewat kumpulan tulisan ini, kita bisa menikmati kekayaan khasanah ilmu pengetahuan sekaligus kematangan intelektual Romo yang mahir berbahasa Jawa ini.

Tentu saja buah pikiran Romo Magnis sangat cocok untuk direnungkan dalam suasana Indonesia saat ini. Akhir-akhir ini, marak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. Itu yang membuat suasana damai serasa menjauh dari ibu pertiwi. Lewat kumpulan buah pikir tokoh Katolik ini, setidaknya kita punya dasar untuk menyikapi dengan terang dan tenang kenapa serta bagaimana perdamaian itu diwujudkan di bumi Nusantara.

Romo Magnis, lewat buku ini, setidaknya memberi panutan bagaimana potret “sempurna” seorang agamawan.  Seorang yang bergelut dalam dunia rohani semestinya tidak saja hanya berkutat memikirkan perkara langitan, yang mengawang-awang, dan tidak terkait dengan kenyataan manusia sesehari. Dia juga harus merenungkan kerumitan urusan-urusan masyarakat luas dan sekaligus menawarkan jalan keluarnya. Disitulah keutuhan seorang imam bisa dirasakan kehadirannya oleh masyarakat luas.

Walau mengambil sudut pandang teologi Katolik, bukan berarti buku ini tidak bisa dibaca oleh pemeluk agama yang lain. Buah tangan pria berusia 80 tahun ini, tetap bisa dinikmati oleh mereka yang bukan Katolik karena tema yang diangkat dekat dengan keadaan yang sedang kita hadapi secara umum. Artinya, bacaan ini melampaui sekat-sekat keagamaan karena berangkat dari keresahan dan keprihatinan bersama.

Buku ini cocok digunakan sebagai permulaan bagi mereka yang menaruh minat pada kegiatan dengar pendapat antar umat beragama. Setidaknya ini bisa digunakan sebagai pegangan awal dalam memahami bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap keberagaman dan kerukunan umat beragama di Indonesia.

Perdamaian itu tidak turun dari langit tanpa upaya dan kerja keras untuk menciptakannya. Romo Magnis lewat buku ini bisa dijadikan panutan. Dia memberi contoh bahwa imam juga tenggelam dalam pergumulan masyarakat nyata. Disiplin ilmunya digunakan sebagai alat untuk menjelmakan dunia yang damai. Peran keimamannya tidak hanya mengurusi manusia “di sana, tapi “di sini” juga.

, , , , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan