inspirasi menulis

Inspirasi Menulis dari Rhenald Kasali: ‘Angle Positif’ Pemberitaan

inspirasi-menulis-angle-positif

Ilustrasi diambil dari widhawati.blogdetik.com

Portal Berita Buku – Mencermati para wartawan yang melakukan reportase bencana alam yang melanda beberapa wilayah Indonesia akhir-akhir ini, Rhenald Kasali menyampaikan kritik bagaimana sebuah reportase semestinya disampaikan. Memang dalam kasus ini, obyek sorotan adalah wawancara wartawan dengan warga. Meski demikian, kritik ini juga perlu diperhatikan terutama jika Anda menulis artikel untuk tujuan pemberitaan. Apa kata Rhenald Kasali?

Berikut adalah petikan kicauan Rhenald Kasali di twitter dengan suntingan seperlunya guna memperjelas maksud yang ingin disampaikannya.

Angle Positif Pemberitaan

Hampir semua reporter TV selalu mengatakan, “mereka belum menerima bantuan”. Atau, sambil menyorongkan mikrofon, pertanyaannya selalu: “apakah sudah menerima bantuan?”

Sikap ini mirip dengan pertanyaan reporter pada keluarga yang kena musibah kecelakaan, “apakah ada firasat atau mimpi sebelum kepergian almarhum? Sikap reporter seperti ini mungkin hanya kebiasaan saja, dan mungkin saatnya diubah karena membentuk perilaku.

Dalam sebuah siaran BBC, setelah bencana Tsunami di Jepang, saya melihat liputan yang menunjukkan suami istri bekerja keras memperbaiki rumahnya. Reporter TV tak menanyakan “apakah sudah terima bantuan?” atau sejenisnya, melainkan “apa yang sedang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Kita harus segera rapikan rumah, karena semua orang sedang mengalami hal yang sama, sama-sama susah. Mereka melanjutkan begini: “Kalau kami bisa cepat urus diri sendiri, memperbaiki yang bisa dikerjakan, maka kami bisa cepat menolong orang lain.” Pancingan pertanyaan reporter seperti ini mencerminkan sikap media terhadap bencana, -yang akhirnya membentuk karakter bangsa.

Sikap pertama mencerminkan kekesalan terhadap sikap pemerintah yang “tidak responsif”, “kurang peduli”, “tak ada koordinasi”, namun sekaligus (pernyataan tersebut-red) pressure (tekanan-red) terhadap aparatur negara yang lamban, dan sekaligus bisa membentuk sikap masyarakat yang  ” menunggu dibantu”, atau “menuntut dibantu”, “merasa sangat susah”, bahkan ” (menganggap-red) bencana adalah sebuah ketidakadilan.

Lebih lanjut, dapat membentuk karakter “Semua ini terjadi bukan karena saya”. Padahal kita juga punya kontribusi penting terhadap akibat yang menimpa kita.

Bencana alam adalah suatu kehendak alam, tetapi respon yang kita ambil ditentukan cara berpikir kita, (dan-red) menentukan akibat-akibat terhadap kita selanjutnya. Pembentukan sikap positif terhadap bencana adalah modal besar bagi kemajuan bangsa, karena dari situlah kita dapat melihat apakah suatu bangsa yang mengharapkan “nasibnya berubah” tetap “melakukan hal yang sama ber-ulang-ulang” atau (bangsa itu-red) “melakukan perubahan untuk mendapatkan hasil atau nasib yang berbeda”.

Saya melihat warga tak ingin kena banjir, tetapi tak mau pindah & tak ada yang mau memindahkan mereka dari lokasinya yang menjadi langganan banjir. Pemerintahnya sama saja, ingin banjir hilang, tapi tetap memberikan ijin pembangunan perumahan di rawa-rawa resapan air.

Menarik disimak juga barang-barang apa saja yang dibawa pengungsi saat kebanjiran. Di Jakarta yang dibawa adalah bantal & kardus bekas. Di Manado, kita lihat kasur lipat yang dibungkus plastik. Bagaimana di daerah lain?

Kita tak bisa mengatakan warga Manado korban bencana lebih kaya dari warga Jakarta. Apa yang dibawa & apa yang dipersiapkan mncerminkan sikap (yang-red) dibentuk dari cara berpikir. Anda kaya bukan karena jumlah uang, tetapi sikap terhadap uang. Miskin juga bukan tak punya harta, tapi sikap terhadap kemiskinan.

Respons terhadap musibah juga mencerminkan sikap, apakah kita menjadi lebih kreatif, atau menunggu tanpa kejelasan. Siapa yang mau melakukan cHaNgE? Apakah kita menyalahkan orang lain terhadap musibah yang menimpa kita, ataukah kita instrospektif?

Sikap itu juga ada dan dibentuk oleh reporter-reporter yang masih sangat belia: apakah memprovokasi kesalahan orang lain, atau mengajak keluar dari masalah. (Itu-red) juga dibentuk para editor seniornya: mngambil angle yang “lemah”, complainer & tak mau berubah, atau angle lain yang bisa menjadi role model bagi masyarakat.

Carilah angle yang membuat bangsa ini percaya diri & bangga, yang menunjukkan perilaku heroisme, kreatif, positif, minimal mau menolong diri sendiri. Pertanyaan positif dimulai dari angle positif, jurnalisme heroisme, sudut pandang editor. Tanpa itu tak akan keluar reportase berkarakter.

, , , ,

Tinggalkan Balasan