Janji Demokrasi

Sejak pagi tadi, Dul Majid duduk gelisah. Ia harus menyediakan uang operasi. Jika tak tersedia dua ratus juta, sang Ibu tak dioperasi. Begitu kata dokter yang menangani. Mau tak mau, Dul Majid mencari cara mendapatkan uang sebesar itu. Padahal, andai rumah dan tanahnya dijual, takkan cukup buat bayar operasi.

“Datanglah ke lapangan setelah ashar. Di sana ada Pak Dullah,” ucap Samin meyakinkan.

Dul Majid tak menggubris. Ia tahu, kepala desa yang dipilihnya setengah tahun lalu itu tak bakalan bisa memberinya bantuan. Seandainya belasan juta saja, tak apa. Ini sudah ratusan juta.

“Cobalah, Jid. Daripada kamu diam begini, uang tak bakal datang sendiri.”

“Percuma, Min. Kamu tahu sendiri, bagaimana kepala desa itu sekarang?”

“Ai, bukan begitu. Nanti ada Pak Kus. Calon Gubernur itu.”

Dul Majid menoleh.

“Nanti setelah ashar, Pak Kus berorasi. Datang saja. Pasti dibantu.”

Dul Majid mengangguk. Kali ini, ia tersenyum menang. Ia yakin, calon gubernur yang digadang-gadang bakal menang ini pasti membantu.

***

Datanglah Dul Majid ke lapangan di dekat kebun tebu itu. Orang-orang sudah penuh sesak di bawah terop yang sengaja disediakan. Anak-anak kecil juga digandeng bapak ibunya.

“Pakai ini, Jid,” seru Samin yang tengah menyodorkan kaos warna putih. Tertulis nama salah satu partai dengan wajah Pak Kus di depan.

Dul Majid mangguk-mangguk. Ia tak perlu membuka baju yang tengah dikenakan sekarang, cukup merangkap kaos yang diberikan Samin barusan.

Tiba-tiba suara sirine terdengar dari kejauhan. Amat ramai dengan gas sepeda motor. Benar saja, iring-iringan mobil polisi di depan, serta anak muda yang knalpot sepedanya dimodif besar-besar, berada di depan sebuah mobil hitam mengkilat. Berbagai bendera dengan aneka macam juga berkibar. Orang-orang yang semula duduk di bawah terop, langsung berdiri menyambut.

“Benar-benar calon pemimpin yang patut ditiru. Pak Kus datang pukul tiga tepat,” seru Asnawi yang berdiri di depan Dul Majid.

Sebelum suara sirine berhenti, pintu mobil hitam tadi dibuka. Keluarlah seorang lelaki dengan kaos putih, mirip yang dikenakan orang-orang sekarang. Tangannya melambai-lambai. Menyapa orang-orang. Orang-orang riuh memanggil Pak Kus. Calon gubernur yang digadang-gadang bakal menang.

Setelah Pak Dullah mengucapkan selamat datang di pentas pangggung, lalu diakhiri seruannya memilih Pak Kus sewaktu pencoblosan Minggu depan. Sang Kades menyilakan Pak Kus berorasi.

Dengan semangat menggelora, orang-orang mendengarkan ceramah Pak Kus. Ada yang sambil berdiri, ada pula yang sambil menggendong sang anak di bahunya.

“Kalau saudara-saudara memilih saya di pentas demokrasi nanti, saya janji setiap kepala keluarga mendapat beras dua puluh kilogram setiap bulan. Uang jaminan kesehatan dan anak-anak pasti sekolah sampai kuliah.”

Riuh tepuk tangan terdengar. Orang-orang sangat semangat mendengarkan janji calon gubernur.

“Jalan menuju desa ini saya perbaiki. Saya akan aspal jalanan ini, agar saudara-saudara tidak lagi susah menuju kota.”

Lagi-lagi gemuruh tepuk tangan terdengar.

“Ini bukan sekedar janji. Tapi, memang akan terbukti.”

“Bagaimana caranya membuktikannya, Pak?” entah suara siapa yang nyeletuk. Sepertinya anak SMA. Beberapa orang langsung mendatangi anak tadi. Sedang Pak Kus yang gelagapan, langsung tersenyum mendengar ucapan anak tadi.

“Ah, baiklah. Anak tadi sangat cerdas. Sebagai penerus bangsa, kita perlu anak seperti tadi. Harus kritis. Dan soal membuktikan, baiklah saudara-saudara. Sekarang siapa di antara kalian yang punya masalah, akan saya selesaikan sekarang juga,” tantang Pak Kus.

Orang-orang menoleh tak karuan. Samin yang duduk di samping Dul Majid, mengangkat tangan temannya itu. Dul Majid sendiri menoleh kebingungan ke arah Samin.

“Ya, baik. Lelaki di pojok, silakan maju ke depan.”

Dul Majid masih bingung. Samin mengangguk meyakinkan. Akhirnya Dul Majid berjalan ke depan. Meskipun sebenarnya dia tak yakin apa yang bakal diucapkan.

Setelah disalami orang-orang terutama Pak Kus, Dul Majid disodorkan mikrofon untuk bercerita. Kakinya gemetar. Bibirnya terasa kelu tak bisa berucap.

“Cerita saja. Tak apa,” bisik Pak Kus di telinga.

Dengan terbata-bata, Dul Majid akhirnya cerita perihal sakit yang diderita sang ibu. Juga kebutuhannya terkait uang dua ratus juta. Orang-orang yang mendengarkan cerita pilu Dul Majid, menatap haru. Mereka tahu, satu-satunya keluarga yang tersisa hanyalah ibunya. Sedang bininya sudah lama kabur saat mengetahui Dul Majid bangkrut akibat ditipu. Sedang anaknya yang masih berusia delapan bulan, meninggal sebulan lalu gara-gara telat dirujuk ke rumah sakit.

“Masalah yang dihadapi Dul Majid, akan saya tuntaskan sekarang. Setelah acara ini selesai, saya akan datang langsung ke rumah sakit, dan akan bayar lunas semuanya.”

Orang-orang bertepuk tangan. Sedang Dul Majid jatuh pingsan mendengar penuturan sang calon gubernur. Ia tak menyangka, ibunya bakal dioperasi.

Benar yang dijanjikan Pak Kus. Ibu Dul Majid akan dioperasi. Pihak rumah sakit juga tak meminta uang serupiah pun. Bahkan, kamar sang Ibu juga pindah ke ruang yang lebih luas. Ada pendingin, televisi bahkan kamar mandi. Beda dengan sebelumnya yang berjejer dengan pasien lain, tanpa ada fasilitas apapun kecuali ranjang tempat pasien.

Orang-orang turut bahagia. Mereka percaya, Pak Kus adalah pemimpin yang tak ingkar janji. Kini mereka sibuk menyiapkan pesta demokrasi. Besok, mereka akan mencoblos di lapangan.

Dul Majid yang tak lagi tegang, kini berjalan lebih gagah dari biasanya. Ia tak menyangka, Tuhan benar-benar menyiapkan skenario tak terduga. Ia berjalan ke arah kotak suara, lalu dengan yakin melubangi gambar Pak Kus. Tepat di lubang hidung lelaki yang konon baru umrah seminggu lalu itu, Dul Majid tersenyum.

Usai mencoblos, orang-orang tak ada yang beranjak. Mereka mengikuti penghitungan suara, dan menunggu hasil hitung cepat yang disiarkan secara langsung di salah satu televisi swasta. Mereka yakin, Pak Kus pasti menang.

Hitung-hitungan suara berlangsung riuh. Kejar mengejar antara Pak Kus dan lawannya terlihat ketat. Sayangnya, mendekati akhir pilihan, suara Pak Kus mulai merosot. Grafik yang tercantum tidak naik-naik.

Orang-orang berharap cemas. Mereka berdoa Pak Kus yang menang. Sebab mereka sudah mendapat bukti, bagaimana janji Pak Kus akan terealisasi jika benar-benar terpilih. Selain Dul Majid yang memang dibantu, tadi pagi mereka juga menerima amplop berisi uang seratus ribu. Katanya, uang itu bukan serangan fajar. Melainkan bukti kalau Pak Kus akan mensejahterakan rakyatnya ke depan. Sebelum terpilih saja orang-orang sudah diberi banyak uang, apalagi setelah dipilih. Pasti lebih banyak. Begitu kata Pak Dullah saat membagikan uang.

Dan akhirnya hitung-hitungan suara selesai. Pak Kus kalah di kabupaten sebelah. Selisih suaranya pun cukup tinggi. Mencakup lima ribu suara. Orang-orang pulang dengan kecewa. Terlebih, Dul Majid yang merasa hutang budi. Ia menyayangkan, bagaimana pemimpin yang begitu baik seperti Pak Kus, kalah di pesta demokrasi.

Sembari berjalan ke rumahnya, ia memikirkan cara bagaimana mengucapkan terima kasih kepada Pak Kus. Ia ingin menyemangati calon gubernur yang kalah itu, agar terus semangat menjalani hidup. Ya, Dul Majid ingin menyurati Pak Kus. Ia pun berlari-lari ke rumahnya, ingin menulis surat untuk Pak Kus.

Sesampainya di depan rumah, justru Dul Majid mendapati perangkat desa termasuk Pak Dullah. Wajah mereka cukup sinis. Tak ada lagi senyum seperti saat menyalami Dul Majid di panggung. Orang-orang ini langsung mengusir Dul Majid dan ibunya. Tanah dan rumahnya diambil paksa. Katanya, yang membayar uang operasi sang Ibu bukan Pak Kus. Katanya juga, yang membayar itu Pak Dullah dan perangkat desa. Dan uang itu akan diganti kalau Pak Kus menang di pentas pilkada.

BACA JUGA:

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan