besar makan kecil

Antara Janji Palsu, Mythomania dan Speech Legacy

Terlepas dari persoalan substantif yang sedang dialami oleh para pejabat publik, politisi bahkan seniman dalam konstelasi saling-sengkarut tujuan politik dan kepentingan masing-masing ada satu fenomena yang menarik yaitu mudahnya mengumbar janji di depan publik. Awalnya saya pribadi melihat fenomena mengumbar janji ini hanya sebagai guyonan komoditi politik semata. Namun semakin lama makin digandrungi dan menjadi hal yang lumrah untuk dilakukan.

Masih segar di ingatan kala Amien Rais berhajat jalan kaki Jakarta-Jogyakarta, niatan potong kemaluan Ahmad Dhani, sesumbar gantung diri di Monas Anas Urbaningrum, terjun bebas dari Monas Habiburokhman, dan yang paling anyar janji potong kuping H. Lulung baik yang diucapkan langsung atau melalui kicauan di media sosial. Faktanya, hingga saat ini, tidak satu pun dari janji-janji tersebut terlaksana. Alhasil, tidak sedikit masyarakat diberi suguhan polemik, pro-kontra antara si penutur dan si penuntut janji. Secara aspek hukum positif tentu tidak ada dasar untuk menuntut si-empunya janji untuk merealisasikan janjinya meski publik kadang sering mempertanyakan hal tersebut sebagai bentuk konsistensi antara ucapan dan perbuatan. Namun apakah ini murni persoalan ingkar janji semata? Tentu tidak. Sebuah ucapan akan mengalami pemaknaan yang berbeda apabila telah menjadi konsumsi publik. Apalagi yang menuturkan adalah para elite politik dan public figure tentu akan memiliki dampak psikokultural dan sosiopolitik yang berbeda. Meskipun, bisa saja si penutur hanya bercanda atau guyon saat mengucapkannya.

Entah apa yang ingin disampaikan oleh para elite politik dan public figure di negeri ini. Mereka seakan lupa bahwa ada jutaan generasi muda dan anak-anak yang sedang melihat setiap bentuk teladan baik melalui media televisi atau online. Begitu cepatnya persebaran informasi tanpa terasa telah membentuk pola diskursus dan speech acts anak-anak kecil yang cepat meniru apa yang dilihat dan apa yang disaksikan. Akhir-akhir ini, tidak sulit telinga kita untuk mendengar anak-anak usia sekolah dasar atau menengah memiliki kecenderungan mengumbar janji misal “potong kuping gue kalo ga percaya”, “nih gue berani loncat dari monas kalo gue bo’ong” dan bentuk-bentuk ujaran lain yang bermuara pada “omong kosong”.

Dalam tradisi penggunaan bahasa (language in use) sebenarnya sangat lumrah menggunakan properti metafora dan makna konotatif untuk bermaksud berbohong atau menguatkan argumentasi. Namun, fenomena mengumbar janji oleh para elit politik dan public figure belakangan ini seolah-olah melegitimasi bahwa membuat janji palsu itu cukup gampang. Mengungkapkan sebuah janji di hadapan publik yang hampir tidak mungkin dapat dilakukan menjadi trend dan hal yang biasa dilakukan tanpa beban, tanpa perasaan takut dan tanpa perasaan menyesal ataupun bersalah. Pertanyaan mencuat apakah ini speech legacy yang ingin dibangun oleh para elite politik dan public figure di republik ini? Apakah warisan gaya berbahasa ini yang hendak diwarisi bagi jutaan anak-anak bangsa yang akan menggantikan mereka di masa yang akan datang?

Mythomania?

Persoalan sudut pandang dan perbedaan ideologi membuat seseorang dapat membuat pertahanan dalam dirinya dengan cara apapun termasuk gaya berbahasa yang digunakan. Upaya untuk mempertahankan sebuah perspektif dan opini terkadang menyeret seseorang untuk mengungkapkan janji-janji yang hampir tidak mungkin dapat ia penuhi. Fenomena mengumbar janji-janji irasional yang sedang marak bisa jadi merupakan penciri myhtomaniacs.

Mythomania pertama kali ditemukan oleh seorang psikiater beranama Fedinand Dupre pada tahun 1905. Mythomania adalah kebohongan yang dilakukan seseorang bukan dengan tujuan menipu orang lain melainkan membuat dirinya sendiri percaya bahwa kebohongan yang dia buat adalah nyata. Yang membedakan mythomania dengan kebohongan biasa adalah si penutur sering tidak sadar bahwa dia sebenarnya sedang berbohong dan menceritakan khayalan yang ada dalam kepalanya. Jika kita perhatikan, para pembuat janji saat menuturkan hajatnya berada dalam kondisi sadar penuh (full of awareness), paham apa yang diucapkan, dengan siapa ia menuturkannya dan dalam konteks apa. Perilaku umbar janji yang mengancam keselamatan diri sendiri seolah-olah mengkonfirmasi definisi Dupre tentang mythomania.

Speech Legacy

Sebagai bangsa yang besar investasi generasi muda sejak dini adalah modal utama untuk memastikan keberlangsungan hidup bangsa. Fenomena umbar janji bisa jadi memberikan pengaruh negatif bagi peradaban sebuah bangsa terutama generasi muda yang masih paternalistik menjadikan public figure sebagai salah satu teladan, baik teladan berbuat atau berucap. Tidak terbayang apabila di masa yang akan datang membuat janji palsu adalah hal yang biasa. Momentum ini juga harus menjadi renungan yang reflektif bagi elite-elite politik dan tokoh-tokoh publik kita bahwa dalam politik sekalipun ada nilai edukasi yang harus ditanamkan.

Indonesia adalah bangsa besar dengan nilai-nilai religius dan kearifan lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tujuan pendidikan nasional yang tidak hanya mendidik pada tataran kognitif tapi pada aspek afektif tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada institusi sekolah dan kampus. Ada teladan yang menjadi sumber belajar paling efektif untuk pembentukan karakter yang mulia dan berbudi pekerti luhur. Teladan yang baik terlihat dari satunya perbuatan dan ucapan (unity of action and speech) bukan sebaliknya. Teladan ini bisa berasal dari orangtua, guru, public figure, masyarakat dan elit politik yang hampir setiap hari dilihat oleh anak-anak dan generasi muda di seluruh Nusantara ini melalui media massa. Jika pendidikan kita masih menganut falsafah ing ngarso sung tulodho maka marilah beri warisan speech legacy yang baik dengan tidak mengumbar janji serampangan.

 

, ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan