buku-media-darling-ala-jokowi

Jokowi Sang Media Darling

Jokowi adalah fenomena. Belum ada presiden di negeri ini yang begitu hebat menyedot perhatian masyarakat di Indonesia seperti Jokowi. Jokowi memikat bukan hanya karena sepak terjangnya yang cepat. Tetapi juga membuat publik tertarik padanya. Ketertarikan itu bukan hanya karena jokowi menjadi media darling, tetapi juga karena apa yang ia lakukan memikat dan menarik perhatian publik.

Terobosan-terobosannya sampai sekarang masih terngiang dalam ingatan kita. Seperti terobosannya dalam menata PKL. Jokowi mampu mendobrak opini publik bahwa merelokasi PKL tak selalu dengan kekerasan. Sewaktu menjadi wali kota solo, Jokowi juga membuat kebijakan yang menarik para wisatawan yang mampu menyedot perhatian dunia bahwa solo memiliki potensi besar. Salah satu tinggalan kebijakan Jokowi itu adalah event atau kalender Kota Solo yang berisi kegiatan yang bersifat nasional maupun internasional. SIPA misalnya mampu menyedot perhatian publik solo sebagai kota budaya.

Apa yang menjadikan Jokowi menjadi seperti sekarang? Salah satunya adalah kekuatan media. Jokowi telah menjadi media darling. Pada buku karya Retno Wulandari (2014) yang bertajuk Media Darling ala Jokowi , kita akan menelusuri dari pengertian, serta bagaimana Jokowi menjadi media darling.

Memang banyak buku yang bermunculan tentang Jokowi tak hanya biografi Jokowi, yang ditulis salah satunya oleh Albertheine Indah. Begitu juga buku tentang kepemimpinan ala Jokowi, dan bahkan novel yang mengangkat kisah Jokowi. Buku ini boleh dibilang melengkapi tentang tema “Jokowi”. Kalau teman saya yang juga sejarawan  muda Heri Priyatmoko bilang “tema Jokowi bakal tak habis sampai lima tahun ke depan, hehehe”. Dalam hati benar juga, buktinya sampai sekarang, masih banyak buku yang mengangkat tema Jokowi.

Salah satu yang menjadikan Jokowi menarik sampai sekarang adalah foto. Jokowi sadar diri dan memahami kekuatan visual (foto). Ada tiga tahap dalam mencermati foto menurut Barthes : Pertama, pengalaman memilih atau memperhatikan foto-foto tertentu dari sejumlah foto yang dijumpai. Kedua, pengalaman tertarik pada unsur-unsur tertentu dalam foto. Tiga, pengalaman terpaku pada satu titik paling penting dalam foto.

Menurut penulis, Jokowi pandai menggunakan kekuatan visual. Ia bisa membangun momen yang bersifat eyes catching sehingga mampu menimbulkan getaran bagi yang melihatnya. Getaran inilah yang selalu diingat oleh yang melihatnya. Ada getaran, ada ingatan. Oleh karena itulah, ia selalu terbuka terhadap fotografer. Hal ini karena Jokowi sadar kekuatan visual itu.

Kedua, mengapa Jokowi disukai media, adalah karena ia menganggap media sebagai mitra. Ia teramat akrab dengan wartawan, bahkan bercanda dan blak-blakan. Karena itulah, media justru suka, tak seperti selama ini, bila seorang telah menjadi pejabat, ia justru hati-hati terhadap media. Ketiga, Ia juga terbuka terhadap urusan pribadinya, sehingga media merasa senang dan tak ada jarak dengan Jokowi. Keempat, ia mampu mengambil momentum yang membuat media tertarik untuk mengikuti segala aktifitasnya. Seperti tatkala deklarasi calon wakil presiden yang menggunakan rumah Si Pitung dan simbolisasi dengan mencium sang saka merah putih.

Ada enam kekuatan yang menurut penulis bisa dilihat dari sosok Jokowi. Pertama, aksesibilitas yang begitu mudah yang diberikan pada media. Kedua, Jokowi memiliki empati kepada media. Ketiga, Jokowi menunjukkan empati kepada warganya. Keempat, autentisitas. Jokowi itu autentik, ia tidak dibuat-buat. Apa yang diucapkannya, juga merupakan yang ia kerjakan. Ia sadar, bahwa ucapannya di media juga menuntut tanggungjawabnya sebagai personal maupun sebagai pemimpin. Kelima, Jokowi tidak suka berpolemik. Inilah yang terlihat tatkala Jokowi justru dihina habis-habisan oleh Bibit Waluyo yang waktu itu menjadi Gubernur. Dengan menjawab ejekan pak Gubernur dengan kata-kata singkat “Ya, biarlah, saya ini orang bodoh, biar saya banyak belajar” saat menanggapi pembangunan Mall di bekas pabrik gula sari petojo. Keenam, positioning. Kemampuan Jokowi menempatkan dirinya di depan media yang jarang dimiliki oleh tokoh lain.

Ada hal-hal yang mendorong personal branding yakni ada lima macam yaitu rajin, konsisten, relevan, menarik, dan menjadi diri sendiri (h.77). Itulah yang selama ini juga dilakukan oleh Jokowi. Selain itu, Jokowi juga menjaga pluralisme, toleransi, melayani, membangun kepercayaan, dan juga komunikatif.

Jokowi juga mencitrakan diri sebagai sosok yang sederhana. Karena itulah, tak hanya para perancang busana, tetapi juga teman-temannya menganggap ia begitu sederhana. Hal itu ia tampilkan dengan baik saat ia memimpin, misalnya tak mengambil gajinya, sampai dengan memakai mobil yang murah buatan anak SMK.

Menjaga personal branding tentunya tak selalu enak. Bila ia terkena masalah sedikit, bila ia tak mampu mengatasi, maka dengan segera ia akan jatuh. Kita tentu belajar banyak dari fenomena Mario Teguh motivator yang super itu. Ketika terkena masalah sedikit, ia tak memiliki kemampuan untuk menggiring media. Ia juga tak pandai dalam mensiasati persoalan pribadinya. Karena itulah, ia tak menjadi personal branding, bahkan brand yang ia bangun justru jatuh.

Berbeda dengan Jokowi, tatkala ia mencitrakan dirinya sederhana dan merakyat, maka ada resiko bukan hanya dari lawan politiknya tetapi tatkala ia membuat kebijakan yang dinilai tak populis oleh rakyat. Contoh ketika ia menaikkan BBM, ia rela untuk tak populis, dan mampu mengatasi masalah tersebut, sehingga popularitasnya tak jatuh. Begitu pula tatkala pergantian kabinet (reshuffle), menurut survey, pamornya jatuh, dan kini, setelah reshuffle berjalan, Jokowi sepertinya mampu menggiring dan meyakinkan publik bahwa ia masih baik-baik saja dan mampu mengatur negara ini dengan baik.

Pembaca boleh saja berontak dan sepakat dengan pendapat saya ini, Jokowi terbukti mampu mengkondisikan dan mengatur para pengkritiknya dengan cara yang lihai. Lihatlah mahasiswa yang mengkritik kebijakannya ke istana negara, setelah mereka makan-makan dan berbincang dengan Jokowi, selesai sudah permasalahan yang dituntut mahasiswa. Kini, tak ada lagi demonstrasi yang terlihat kritis terhadap kebijakan-kebijakannya.

Jokowi dalam hal ini, ia menggunakan segenap potensinya untuk memimpin negara, tanpa kisruh dan protes. Ia pun sadar resiko dan apa yang terjadi di masa presiden sebelumnya (SBY). Itulah mengapa, ia selalu tak berhenti membangun citra melalui foto, gambar, dan juga televisi. Kita tak lupa ketika ia begitu ndeso dan terlihat tak lancar ketika di acara KTT G-20 menyampaikan pidatonya. Pidatonya yang kontroversial itu yang justru menjadikan Indonesia sebagai makanan empuk bagi investor asing dikritik oleh berbagai fihak. Dan jokowi memang terkesan baik-baik saja dan tak mempermasalahkan hal itu. Boleh jadi, Jokowi tak ingin terlihat pusing, capek dan lelah di hadapan media. Ia menjaga betul agar ia tak tertangkap kamera dalam keadaan ekspresi yang tak menguntungkan yang dibaca publik.

Bicara media darling tak melulu mesti masuk ke dalam partai politik, menjadi pejabat, atau tokoh publik. Kita juga bisa membangun media darling kepada teman-teman kita dengan menjaga kepercayaan mereka dan meyakinkan mereka, bahwa kita memiliki kemampuan yang lebih pada suatu bidang. Nah, di sini, melalui menulis, sebenarnya kita juga belajar menjadi media darling. Apalagi di era sekarang, internet dan media elektronik bisa dijadikan tempat bagi kita untuk membangun jalan popularitas dan kreatifitas.

Di saat orang bisa menggabungkan antara popularitas dan kemampuan kreatifitas saat itulah, ia akan menjadi media darling. Tentu saja dibekali sikap-sikap humanis lainnya seperti simpatik, empatik, dan tanpa pamrih. Ternyata, menjadi seorang media darling, sosok yang disukai media tak selalu mulus, jalannya panjang, dan bila kita tak hati-hati bisa menjadi boomerang kita, dan menjatuhkan kita.

*) tuan rumah Pondok Filsafat Solo, Pengelola doeniaboekoe.blogpot.com

, , ,

Belum ada tanggapan.

Tinggalkan Balasan